Oleh: Kelvin Aldo
Bagi sebagian pelajar memimpikan kehidupan kampus adalah kemewahan yang begitu luar biasa, bagaimana tidak beberapa tahun lalu diwarung kecil di gang sempit ditengah kota bengkulu terdapat sekolah kecil yang tak berbeda gambaran sekolah laskar pelangi versi kotanya berkumpul sekelopok pelajar yang lagi bolos sholat ashar sambil berdiskusi terkait bagaimana kehidupan pasca sekolah, seorang teman bernama andhika berujar bahwa ia tidak akan melanjutkan ke bangku kuliah karena kendala biaya, dan temannya bernama dery berujar bahwa dia akan mengikuti tes masuk tentara atau polisi karena baginya berseragam dan disebut sebagai abdi negara begitu gagah karena selain masa tua terjamin para calon mertua begitu menyukai calon mantu berseragam yang dicap sebagai abdi negara.
Cerita tentu belum selesai sampai sana karena satu kelompok ini terdiri dari 6 orang sahabat terdiri dari 4 laki laki dan 2 perempuan, si abdu berujar “sayo kuliah kereno wak yang nguliahkan”, nyeletuk dengan santainya yolanda : caknyo sayo dak akan kuliah nikah kek dery be diokan abdi negara sambil tertawa, ayumhia salah satu teman menjawab kalau dery lulus test bukan kau yol kelasnyo yol lah pasti perawat sambil tertawa lepas. Mending kau ikut aku kuliah jadi perawat be, yolanda membalas celetukkannya kuliah kesehatan mahal cik puluhan juta lokak gaek jual truck untuk aku kuliah kerjo apo lagi gaek.
Cerita singkat diatas adalah kejadian nyata beberapa tahun lalu saya bersama dengan para sahabat waktu semasa sekolah sekitar tahun 2016 an awal saya sengaja mengunakan momen itu sebagai kebangaan pernah kenal dengan mereka sekaligus relate dengan apa yang akan saya tulis di alenia selanjutnya.
Kehidupan kampus merupakan kesempatan emas bagi pelajar pasca menempuh pendidikan pasca sekolah menegah atas bagaimana tidak Staf Khusus Wakil Presiden Bidang Reformasi Birokrasi dan Pendidikan Mohamad Nasir, mengungkapkan Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi di Indonesia baru mencapai 34,58 persen, Angka tersebut tertinggal dari negara tetangga seperti Malaysia yaitu hampir 50%, dan Singapura 78%, Sementara negara tetangga kita Malaysia itu sudah dekat 50%, Singapura 78%.
Disini penulis tidak akan berbicara tentang apa yang akan mahasiswa dapatkan di ruang kelas karena kalau itu yang menjadi patokan tentu penulis akan mengusik dosen dosen nakal yang malas mengajar dan rajin menitip tugas dan gerak cepat mengambil gaji dan tunjangan diakhir bulan.
Kita sepakati saja ya siapapun mahasiswa yang aktif dan terlibat pada kegiatan organisasi kampus baik kejurusan, minat bakat maupun pada bidang tertentu kita labelkan saja mereka sebagai mahasiswa aktivis walaupun semua orang punya pandangan dan tafsir mengenai aktivisme.
Aktivis identik dengan, membaca, diskusi, kajian, konsolidasi, aksi, seminar beda buku dan kritisme kali ini penulis akan mencoba mengkritisi kehidupan para aktivis walaupun tidak secara personal yang di bedah, Pengalaman yang didapat oleh sang aktivis dari berbagai kegiatan di luar kelas, ilmu dan pengetahuan dan pengalaman dari berbagai kegiatan ekstra inilah yang dinilai berpengaruh tentang cara berpikir dan masa depannya.
Diorganisasi seorang aktivis terbiasa aktif berkomunikasi dan bekerja sama dengan banyak orang dalam mengerjakan banyak hal baik indoor maupun outdor, antar lembaga, organisasi hingga pemerintahan sehingga menuntut mereka untuk berbicara didepan banyak orang guna menyampaikan ide dan gagasannya yang tidak langsung melatih rasa percaya diri dan kemampuan publik speaking, management diri, leadership dan lainnya.
Dunia kampus seharusnya merupakan dunia yang membebaskan orang per orang untuk menjadi diri sendiri dan berkumpul dengan orang-orang yang sepaham dengan ideologi besar mahasiwa yang anti pragmatisme.
Menjadi elit mahasiswa memiliki pengaruh yang cukup diperhitungkan di tataran sesama, tentu dapat menjadi modal utama untuk dipertimbangkan dalam menentukan kebijakan kampus baik bagaimana proses penerapan sistem belajar mengajar yang ideal dikelas, pengangaran dana, penelitian, pengembangan minat bakat peringanan biaya kuliah serta bantuan kepada mahasiswa yang membutuhkan.
Menjadi seorang aktivis artinya bukan bersikap seperti seorang politisi yang rebutan mencari panggung wewah menunggu kedatangan tamu dewa ketika datang mencium punggung tangannya, berharap dalam sambutan sang rektormemeberikan pujian bahwa ia sang aktivis contoh teladan bagi angkatan dan mahasiswa lainnya.
Dalam keseharian sibuk bergelut dengan proposal kegiatan dan diam ketika kampus membuat aturan yang mencengkram gerakan mahasiswa karena takut beasiswanya dihentikan dn gosong tawaran s2 nya.
Menyandang gelar aktivis sungguh bukan pekerjaan mudah Jabatan ialah tentang bermamfaatan dan Ambisi seorang aktivis mestinya bukan tentang posisi melainkan legacy, bukan diam ketika ada saudaranya yang terpaksa berhenti kuliah karena ketidak mampuan membayar biaya kuliah dikarenakan pendemi melanda seluruh dunia malah kampus seperti menutup mata tentang biaya kuliah.
Banyaknya kesibukan organisasi disetiap setiap struktur dan jabatannya memiliki fungsi dan masa jabatan tersendiri, tak sedikit hal ini menimbulkan permasalahan tersendiri, baik program kerja prioritas yang belum terkerjakan memberikan tantangan tersendiri. Sistem pengambilan keputusan musyawarah mufakat memberikan warna tersendiri dalam pengambilan keputasan namun akan tidak menyenangkan jika ada campur tangan post power syndrome dalam kepengurusan dimana seharusnya pengurus yang sudah kadaluarsa atau tidak menjabat masih ingin terlibat membuat keputusan baik program kerja dan hal hal yang diangap perlu.
Mantan aktivis yang sudah tidak menjabat hendaknya menyibukkan diri dengan aktivitas yang bermanfaat Jika masih ingin terus berkiprah di dunia organisasi, maka ia bisa mencari organisasi lain yang bisa menjadi tempat baginya untuk terus aktif berkontribusi.
Sudahlah kita bermimpi tentang utophia aktivisme gerakan mahasiswa sejatinya kampus ialah mesin produksi penghasil tenaga kerja yang siap kerja dengan Gaji UMR yang cukup beli rumah subsisdi pemerintah kerja pukul 07.00 dengan kemeja putih yang indah.
Diakhir kalimat penulis menyarankan kepada generasi z agar tetap berdiri tegak dengan indenpendensi dan menjaga intelektual kritis tanpa memandagan siapupun, kapanpun termasuk intervensi dari pihak kampus, Tanpa mengharapkan keuntungan apapundan dan dari siapun, jika itu yang dijadikan landasan maka yakinlah gerakan mahasiswa akan kembali pada puncak pengharapan.