Konflik Agraria dan Keadilan Sosial Bagi Rakyat

Keadilan tanpa kekuatan adalah hampa, kekuatan tanpa keadilan hanyalah merupakan kekerasan. Mungkin kata-kata itu yang penulis sajikan untuk pembuka tulisan ini.

Berbicara tentang keadilan, hal itu merupakan dasar negara kita tercinta yakni Pancasila dan tertuang jelas pada Pembukaan UUD 1945.

Namun, dewasa ini banyak rakyat merintih menangis dan meminta keadilan baik dari penguasa serta para penegak hukum. Padahal keadilan merupakan nilai cita luhur yang semestinya dijunjung tinggi oleh pemangku kebijakan.

Banyak kasus dan konflik yang terjadi dikalangan masyarakat, letak duduk perkaranya adalah untuk mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya.

Seperti halnya kasus konflik Agraria di Bengkulu, mulai dari Konflik PT. Pamorganda, PT. DDP eks PT. BSS. Yang mengakibatkan masyarakat berunjuk rasa untuk mendapatkan keadilan. Hampir semua konflik yang terjadi diakibatkan persoalan penyerobotan lahan dan tumpang tindih perizinan. Mulai dari ekspansi perluasan baik menggunakan izin resmi dari pemerintah maupun dari perantara makelar tanah. Akhirnya konflik lahan tidak dapat dielakan saat kepentingan masyarakat terpecah sebagai bentuk dukungan dan juga penolakan dari kehadiran masing-masing perusahaan.

Meskipun perusahaan telah diwajibkan baik secara hukum maupun standar industri kelapa sawit untuk mendapatkan persetujuan masyarakat, tidak semua perusahaan melakukan upaya tersebut, sehingga masyarakat merasa bahwa mereka dicurangi atas tanah mereka.

Perusahaan cenderung mengandalkan tokoh masyarakat yang seringkali tidak mewakili anggotanya, tidak memberikan informasi yang lengkap atau keliru terkait dampak-dampak dari pembangunan perkebunan, menggunakan intimidasi oleh preman, atau kurangnya transparansi pembayaran kompensasi ke masyarakat.

Padahal tujuan dari berdirinya sebuah perusahaan adalah sebagai sumber penghasilan atau pendapatan masyarakat. Sebagai penyedia lapangan pekerjaan pendukung dan penunjang pendidikan, meningkatkan pemasukan dan devisa negara, meningkatkan produktivitas, nilai tambah, dan daya saing, serta memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri.

Untuk mengatasi konflik Agraria, berikut hal-hal yang dapat dilakukan :

Hukum Timbal Balik

Masyarakat ingin ada timbal balik yang lebih baik dari manfaat perkebunan kelapa sawit: misalnya, masyarakat menginginkan pembagian keuntungan yang lebih atau implementasi skema plasma yang lebih baik.

BACA JUGA:  Kenapa Manusia Harus Melatih Nalar Kritisnya?

Selain itu, masyarakat juga menuntut kompensasi yang lebih baik atas tanah mereka yang hilang, meminta (sebagian) dari tanah mereka dikembalikan, dan meminta perusahaan agar lebih banyak berkontribusi kepada masyarakat lokal dalam hal peluang kerja dan manajemen buruh yang lebih baik.

Pola ini menunjukkan juga bahwa pada umumnya masyarakat tidak menginginkan perkebunan untuk hengkang secara keseluruhan. Sebaliknya, mereka ingin mendapatkan timbal balik yang lebih baik atas tanah yang telah mereka kontribusikan untuk pembangunan perkebunan sawit.

Penegakan Hukum

Perlu dibentuk lembaga mediasi atau desk resolusi konflik di tingkat provinsi atau kabupaten; meningkatkan kapasitas pihak berwenang di tingkat lokal dalam menyelesaikan konflik secara baik; pemerintah lokal agar bisa menjatuhkan sanksi kepada perusahaan yang tidak kooperatif dalam penyelesaian konflik.

Selain itu perlu penegakan hukum yang lebih profesional dan terhindar dari tekanan informal dari aktor bisnis.

Peran Pemerintah Kabupaten

Harusnya pemerintah kabupaten yang lebih memiliki peran strategis dalam mencegah dan menyelesaikan konflik. Sebab hampir semua wewenang evaluasi berada di pemerintah kabupaten.

Pemerintah kabupaten bisa mengevaluasi, apakah perusahaan tersebut telah memberikan manfaat kepada semua pihak, artinya perusahaan untung, masyarakat sejahtera dan ekonomi maju. Hal ini karena yang memberi izin itu di kabupaten, sebab punya areal. Evaluasi pemda ini yang paling strategis dan itu sah secara hukum.

Semua aturan dalam perkebunan sudah ada, tinggal dijalankan. Perangkatnya juga sudah ada, tinggal dikerjakan. Kabupaten bisa memberi teguran kepada perusahaan. Tapi perusahaan juga harus dilindingi, sebab telah ada izin. Jika tidak ada izin, kabupaten bisa beri sanksi tegas.

Dirangkum dari berbagai sumber

Penulis: Anasril Azwar
Alumni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Bengkulu

Editor: Freddy Watania