Memahami Budaya Populer Melalui Fenomena “TikTok”

Oleh : Abdurahman

Bagaikan langit
di sore hari
Berwarna biru
Sebiru hatiku

Sejak kepopuleran TikTok meningkat, bagi anda yang aktif di media sosial, membaca potongan lirik lagu “Bagaikan Langit” ciptaan Melly Goeslaw di atas tidak akan lagi sama dengan versi orisinalnya.

Dalam pikiran anda, bayang-bayang bunyi “tet” akan selalu mengikuti setelahnya, bersama empat ekspresi berbeda dari orang-orang yang ikut meramaikan fenomena “Bagaikan Langit” versi TikTok ini sebagai padanan wajib.

Awal tahun 2020 bisa dianggap sebagai titik balik bagi TikTok menjadi semakin populer di kalangan pengguna media sosial di Indonesia, karena sebenarnya eksistensi aplikasi asal Tiongkok ini sudah ada sejak tahun 2018.

Resmi dirilis pada tahun 2016, TikTok mulai masuk dan dikenal oleh publik di Indonesia dua tahun setelahnya, tetapi dengan nasib yang jauh berbeda dengan apa yang dialami sekarang.

Di tahun awalnya, TikTok justru mendapatkan respons negatif karena setidaknya dua hal. Pertama, karena cap sebagai aplikasi perusak moral.

Publik menilai banyak konten video yang ada dalam TikTok cenderung vulgar, sehingga memiliki potensi memberikan pengaruh negatif kepada penggunanya yang saat itu didominasi oleh remaja. Banyaknya protes bahkan membuat pemerintah sempat memblokir aplikasi itu.

Kedua, karena cap sebagai aplikasi alay. Bagi anda yang aktif di media sosial tentu tidak asing dengan sosok Bowo TikTok. Kasus meet and greet berbayar Bowo yang saat itu dianggap sebagai selebriti oleh kalangan remaja pengguna TikTok dianggap publik sebagai perilaku yang berlebihan (alay).

Ditambah dengan persona yang dia tampilkan dalam video TikTok yang sekali lagi dianggap melebihi perilaku wajar remaja seharusnya.

Dua stigma negatif itu sudah cukup membuat sebagian besar publik pengguna media sosial di Indonesia enggan untuk mencoba TikTok.

Hal itu membuat TikTok  gagal eksis di Indonesia, apalagi pasca kasus pemblokiran oleh pemerintah (Kemeninfo), gaung TikTok seperti hilang dari peredaran di dunia maya.

Kondisi itu bertahan setidaknya sampai dengan akhir tahun 2019, karena entah ada angin apa, di awal tahun 2020 TikTok mulai digunakan oleh banyak tokoh publik.

Trendsetter yang berbeda direspons berbeda pula oleh publik. Ketika TikTok mulai banyak digunakan oleh selebriti nasional, selebgram, selebtwit, juga youtuber, aplikasi yang dahulu “dijauhi” oleh publik ini pun mulai banyak diminati, nasibnya 180berbeda dengan nasibnya dahulu.

Hasrat mereka yang dahulu sebenarnya ingin mencoba TikTok namun terhambat rasa enggan karena stigma negatifnya mendapatkan jalan keluar.

Ada alasan bagi publik yang sebelumnya enggan menggunakan bahkan sampai melakukan perundungan baik untuk aplikasinya ataupun trendsetter-nya, seperti Bowo, untuk bisa mencoba TikTok setelah aplikasi itu mulai digunakan oleh banyak tokoh publik.

Tidak disangka, sensasi bermain video musik singkat itu disukai, membuat ketagihan, dan menular, membuat aplikasi itu populer dan semakin eksis di kalangan pengguna media sosial di Indonesia.

Hegemoni TikTok di dunia maya membuat aplikasi ini menjelma menjadi bagian dari budaya populer. Indikasi atas itu bisa kita lihat dari beberapa hal, yaitu:

TikTok digunakan oleh hampir semua golongan masyarakat

Dari anak muda sampai orang tua, pekerja kantoran sampai ibu rumah tangga, tokoh politik dari menteri sampai kepala daerah, tokoh masyarakat dari agamawan, sastrawan, seniman, serta tokoh publik seperti selebriti nasional, selebgram, selebtwit, juga youtuber, videonya pernah kita lihat berseliweran di media sosial.

Hal itu menjadi satu bukti bahwa TikTok adalah salah satu produk budaya yang dikenal dan disukai oleh publik, setidaknya sekarang.

BACA JUGA:  Kopi dan Kemerdekaan

Luasnya golongan masyarakat yang berhasil diraih melampaui sekat-sekat pembatas yang ada, seperti: suku, agama, identitas kedaerahan dan negara, kelas sosial, hingga nilai tradisi dan budaya setiap kelompok dalam masyarakat.

Keberhasilan TikTok menjangkau hampir semua golongan masyarakat secara tidak langsung memberikan legitimasi sosial bahwa aplikasi itu sudah menjelma menjadi bagian dari budaya populer.

TikTok Melampaui sekat-sekat sosial budaya yang membagi masyarakat

Seperti yang sekilas sudah saya singgung sebelumnya, TikTok adalah sebuah fenomena yang melampaui sekat-sekat pembatas.

Tidak bisa dipungkiri bahwa apa yang sudah saya sebutkan sebelumnya, mulai dari agama sampai dengan nilai tradisi dan budaya melahirkan in-group dan out-group yang membuat kita mengenal konsep “kami” dan “mereka”.

Ada banyak perbedaan di antara masing-masing identitas itu yang tidak bisa diterima oleh satu sama lain.

Misalkan saja agama, ada hal-hal dari ajaran Kristen yang tidak bisa diterima oleh orang-orang muslim, sama seperti ada hal-hal dari ajaran Islam yang tidak bisa diterima oleh orang-orang Hindu, dan seterusnya.

Pun ada sesuatu yang tidak kita terima sebagai orang Indonesia dari Amerika, Arab, atau bahkan Malaysia. Secara antropologis pasti ada unsur kebudayaan dari out-group yang tidak kita terima atau sepakati.

Tetapi budaya populer tidak memandang itu semua, dia justru mampu meminggirkan semua perbedaan dan diterima secara luas oleh semua golongan masyarakat. Suka atau tidak begitulah TikTok sekarang.

Orang dengan agama apapun serta warga dari negara manapun tidak segan lagi membuat video musik singkat yang sedang ramai di dunia maya itu.

Dengan berbagai variasi gerakan yang dipadukan dengan musik, TikTok mampu membuat publik merasakan candu.

TikTok bukan merupakan produk budaya yang fundamental dan penting

Kebanyakan budaya populer bukan berasal dari budaya yang fundamental dan penting, itu yang membuat dia bisa diterima lebih luas mencakup hampir semua golongan masyarakat.

Tetapi, hal itu membuat budaya populer selain mudah diterima secara luas, juga mudah ditinggalkan.

Walaupun tidak ada patokan waktu yang pasti berapa lama sebuah sebuah produk budaya populer bertahan, tetapi pola yang ada cenderung sama.

TikTok hanya satu dari banyak fenomena yang pernah ada sebelumnya. Kita ambil contoh kemunculan pendahunya yaitu Instagram, ada kemiripan pola yang sama di antara dua aplikasi media sosial itu.

Instagram dengan berbagai tren di dalamnya, seperti berbagai hastag challenge-nya, atau ketika dia merilis fitur instastory.

Dengan berbagai inovasi itu, Instagram pernah mencapai titik tertinggi eksistensinya di dunia maya, sebelum statusnya itu mulai dibayang-bayangi oleh TikTok, walaupun Instagram masih tetap digunakan sampai sekarang.

Kurang lebih begitulah siklus budaya populer. Karena bukan berasal dari budaya yang fundamental dan penting, produk budaya semacam itu akan dengan mudah datang dan pergi.

Walaupun ada beberapa pengecualian bagi produk budaya populer tertentu yang bisa memberikan pengaruh cukup signifikan terhadap masyarakat, seperti dalam film, musik, dan beberapa jenis produk budaya lain.

Walaupun budaya populer bukan berasal dari budaya yang fundamental dan penting, fenomena itu bukan berarti tidak penting untuk dipelajari dan dipahami.

Karena hari ini, banyak pihak yang secara langsung atau tidak langsung menggunakan berbagai produk budaya populer sebagai media untuk menyampaikan hal yang justru fundamental dan penting.

Jadi konten apa yang sudah anda upload ke TikTok hari ini?