Tanggamus, WordPers.ID – Dalam iklim demokrasi yang sehat, keterbukaan terhadap audit publik adalah pilar utama dalam memastikan integritas pengelolaan keuangan negara, termasuk pada level pemerintahan pekon (desa), Minggu (15/6/25).
Namun realitasnya, yang terjadi di Pekon Gunung Tiga, Kecamatan Pugung, Kabupaten Tanggamus justru menunjukkan hal sebaliknya sebuah resistensi yang sistemik terhadap transparansi.
Pada Rabu, 11 Juni 2025, Inspektorat Kabupaten Tanggamus mengirimkan tim audit investigatif ke pekon tersebut sebagai tindak lanjut atas laporan masyarakat terkait dugaan kuat terjadinya praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Pemeriksaan ini dipimpin langsung oleh auditor senior Bu Ningsih dan dilakukan di balai pekon setempat.
Namun, sebagaimana sering terjadi dalam birokrasi desa yang feodalistik, pemeriksaan tersebut menemui tembok kekakuan struktural. Kepala Pekon (HJR), beserta tiga pejabat kunci pengelolaan APBDes Juru Tulis, Kaur Keuangan, dan Kaur Perencanaan secara kolektif tidak menghadiri proses permintaan keterangan.
Absennya mereka tidak bisa ditafsirkan sebagai kebetulan administratif, melainkan sebagai bentuk penghindaran sistematis terhadap akuntabilitas publik.
“Sangat kami sayangkan, pihak-pihak utama yang seharusnya hadir memberikan keterangan justru tidak menunjukkan itikad baik,” ujar Bu Ningsih melalui kanal komunikasi WhatsApp kepada media.
Ketidakhadiran pejabat pekon dalam proses audit bukan semata pelanggaran prosedural, tetapi menjadi refleksi atas krisis etik dan rendahnya literasi integritas dalam birokrasi lokal.
Di tengah geliat reformasi tata kelola desa pasca-Undang-Undang Desa, masih banyak aktor pemerintahan pekon yang mempersepsikan kewenangan sebagai kekuasaan absolut, bukan sebagai mandat rakyat yang harus dipertanggungjawabkan secara terbuka.
Pemeriksaan ini mengungkap adanya indikasi serius: di antaranya, dugaan tidak dibayarkannya SILTAP (penghasilan tetap) kepada sejumlah aparat pekon selama delapan bulan di tahun 2024.
Hal ini bukan sekadar keterlambatan administratif, melainkan mencerminkan disorientasi anggaran dan miskompetensi pengelolaan fiskal.
Ironisnya, aparat yang seharusnya menjadi pelayan publik justru mengunci diri dari audit dan pengawasan, seolah merasa memiliki imunitas terhadap regulasi.
Bu Ningsih memastikan bahwa pemeriksaan belum selesai. Pihaknya akan melanjutkan proses audit secara objektif dan tidak menutup kemungkinan menggunakan metode alternatif investigatif yang tidak diungkapkan secara terbuka, demi menggali keterangan dari pihak-pihak yang hingga kini masih memilih sikap diam dan menghindar.
“Kami akan kembali ke Pekon Gunung Tiga. Dan kami siap menggunakan pendekatan lain bila tetap tidak ada itikad baik dari pihak-pihak yang dibutuhkan keterangannya,” tegasnya.
Ia juga menambahkan, bahwa hasil akhir pemeriksaan akan dikomunikasikan secara resmi melalui Sekretaris Inspektorat, setelah seluruh rangkaian proses selesai dan dievaluasi secara menyeluruh.
Kasus di Gunung Tiga hanyalah satu dari banyak wajah buram birokrasi desa yang kerap tertutup terhadap kritik dan pengawasan. Situasi ini menunjukkan bagaimana feodalisme administratif masih bertahan dalam struktur pemerintahan tingkat bawah, dengan aparatur pekon seringkali berperilaku seolah-olah pekon adalah entitas privat, bukan ruang publik yang wajib terbuka terhadap audit keuangan dan etika.
Kepala pekon yang absen dari audit bukan hanya bersikap tidak kooperatif, melainkan sedang memperkuat narasi bahwa abuse of power dan denial of accountability adalah kelaziman yang tak tersentuh hukum.
Dalam konteks demokrasi lokal, penghindaran terhadap audit publik adalah bentuk perlawanan terhadap prinsip-prinsip dasar good governance: transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik.
Jika penguasa pekon menutup pintu bagi audit, maka publik harus membuka mata lebih lebar. Ketertutupan bukanlah simbol kekuatan, tapi cermin dari sesuatu yang hendak disembunyikan. Tugas masyarakat dan media adalah terus menyoroti agar kekuasaan tidak tumbuh dalam kegelapan.
“Ini belum selesai. Ini baru awal,” tulis Bu Ningsih.
Dan publik menunggu: apakah pemerintahan pekon bisa benar-benar bersih, atau justru menyimpan pekatnya korupsi yang rapi terbungkus dalam kekuasaan kecil.
( Davit Segara )
















