Oleh: Radius Setiyawan (Sosiopreneur) – Founder Pulampu Indonesia dan Peneliti Sosial-Humaniora
Beberapa hari lalu publik dibuat geram dengan aksi tidak beradab seorang Ferdian Paleka, seorang youtuber asal Bandung. Sebuah aksi nge-prank beberapa transpuan dengan memberikan bingkisan berisi sampah. Hal tersebut sontak membuat banyak netizen geram. Setelah beberapa hari menghilang, akhirnya dia ditangkap dan dijebloskan ke penjara.
Kejadian di atas mengingatkan saya pada suatu agenda Youth Camp antaragama di Jogja beberapa tahun lalu. Sebuah agenda yang diikuti oleh para remaja sebaya lintas agama dan gender.
Dalam agenda tersebut, panitia membuat aturan bahwa satu kamar tidak boleh dari satu daerah. Tujuannya agar saling mengenal. Ketika diumumkan, ternyata saya harus satu kamar dengan teman laki-laki yang secara orientasi seksual berbeda (gay).
Semalaman saya tidak bisa tidur karena dihantui rasa takut dan imajinasi buruk. Hebatnya, pagi itu teman sekamar saya bisa tahu. Bahwa saya tidak bisa tidur dan dia berkata, “Jangan khawatir, mas, saya tidak seperti yang mas bayangkan kok.”
Seketika itu saya merasa malu dan gugup mendengar ucapan tersebut. Ingatan atas kejadian tersebut menjadi penanda akan keterbukaan saya pada perbedaan orientasi seksual. Tentunya proses itu setelah melalui dialog dan interaksi yang panjang.
Ketika menonton video Ferdian, saya juga termasuk orang yang ikut geram. Dalam kondisi begini, kok tega-teganya ada orang berbuat bodoh begitu. Tapi seketika itu juga saya bercermin. Bukannya selama ini kita belum benar-benar menganggap orang yang punya orientasi seks berbeda adalah manusia normal seperti kita?
Kejadian beberapa tahun lalu, yang membuat saya begitu panik, penuh dengan imajinasi yang buruk, menganggap mereka adalah makhluk yang tidak normal adalah stereotip yang kerap kali masih menempel dalam diri kita.
Padahal sangat mungkin anggapan atau imajinasi yang muncul sangat tidak berdasar. Contohnya teman sekamar saya tadi. Bagaimana mungkin menganggap dia tidak normal? Wong teman saya tadi kuliah di salah satu universitas terbaik di Indonesia dengan jurusan favorit yang diidam-idamkan banyak anak muda.
Bagaimana mungkin orang tidak normal bisa meraih it? Sebuah gugatan personal kala itu. Bahwa dia punya orientasi seksual berbeda? Iya. Akan tetapi apa frasa tidak normal pantas disandangkan padanya?
Kita kerap kali mengidap cara pandang yang tidak adil terhadap kelompok minoritas seksual. Saat menonton video Ferdian, saya geram tetapi dalam diri ini mulai bertanya, bukannya selama ini praktik dan laku kita tidak jauh berbeda dengan Ferdian? Sikap fobia terhadap mereka yang berbeda bukannya telah menjalar dari ruang publik ke ruang privat kita?
Apa bedanya kita dengan Ferdian?
Ada empat argumen yang menjelaskan bahwa kita tidak jauh beda dengan Ferdian. Tentunya jika Anda bukan bagian dari keempat hal tersebut, maka Anda bukan bagian dari “kita” yang saya maksud dalam tulisan ini. Atau bisa jadi ini cuma terjadi pada saya.
Pertama, anggapan tentang ketidak-normalan terhadap transpuan. Anggapan tersebut berimplikasi pada ketidakadilan atas sikap kita kepada mereka. Dalam sebuah perjalanan mobil bersama teman kantor, kami didatangi seorang transpuan di sebuah lampu merah yang hendak mengamen.
Kondisi pada saat itu kaca jendela mobil terbuka karena salah satu dari teman sedang merokok. Ketika transpuan itu datang, tiba-tiba pada heboh dan meminta teman yang di sebelah pintu untuk segera menutup kaca jendela. Semua sepakat. “Sudah, ndak usah dikasih.”
Padahal kondisi yang sama juga kita alami pada lampu merah sebelumnya. Ketika ada seorang laki-laki tua mengamen, dengan enteng kami memberikan uang receh pada mereka.
Kondisi tersebut menjelaskan bahwa kita kerap kali bersikap tidak adil karena didorong atas anggapan bahwa mereka yang berbeda secara seksual itu tidak layak mendapat empati. Padahal normal atau tidak seorang, terutama yang berkaitan dengan seks, adalah bagian dari kuasa rezim pengetahuan.
Mayoritas menguasai definisi atas mana yang normal dan mana yang tidak. Sebuah kondisi dalam dunia ilmu pengetahuan yang telah lama mengalami perubahan. Mereka yang berbeda tidak lagi dianggap sakit atau tidak normal.
Sedangkan yang kedua, kita kerap kali melakukan kekerasan verbal (simbolik) dengan menyebut identitas mereka secara minor. Kata bencong contohnya. Kata tersebut biasanya kita tempelkan pada orang yang tidak mempunyai keberanian untuk melakukan sesuatu hal, contohnya: “Ah, bencong kamu, gitu saja gak berani.”
Selain itu, kata tersebut sering kali digunakan untuk mengasosiasikan sesuatu hal yang berkaitan dengan umpatan atau makian. Mengapa hal yang sifatnya verbal itu penting untuk jadi perhatian? Bukannya akar kekerasan itu berasal dari yang verbal kemudian beranjak pada kekerasan psikisdan berujung pada kekerasan fisik?
Sedangkan yang ketiga, meski tidak bermaksud membandingkan dengan beberapa negara maju, ruang publik di Indonesia tidak berpihak pada kelompok minoritas sexual. Dalam konteks itu sebenarnya bisa dipahami bagaimana cara pandang negara.
Harus diakui bahwa negara kerap kali belum siap menghadapi perbedaan dalam hal tersebut. Terbukti dengan rentetan kejadian persekusi terhadap minoritas seksual. Ketidaksiapan dan terkesan abainya negara didorong atas berbagai faktor.
Dari agama, hukum, psikologi, dan budaya. Bahwa ketidaksukaan atau ketidaksetujuan atas nama apa pun boleh saja ditujukan kepada para transpuan. Tetapi, sebagai bagian dari warga negara, tetap saja tak boleh mereka direndahkan dan didiskriminasi.
Apalagi Indonesia telah meratifikasi kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik lewat UU No. 12 tahun 2005. Termasuk di dalamnya ada kelompok-kelompok minoritas seksual.
Konsekuensinya, Indonesia menjunjung tinggi pemenuhan HAM lewat hak kemerdekaan, kewarganegaraan, kedudukan yang sama di mata hukum, pekerjaan, berserikat dan berkumpul, hingga hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak.
Keempat, dalam kondisi krisis seperti sekarang, kelompok transpuan masih belum dianggap kelompok rentan yang terdampak Covid-19. Implikasinya, mereka tidak perlu dibantu.
Kita bisa saksikan dalam media online maupun media sosial kita. Solidaritas warga, komunitas atau organisasi sosial masih sangat minim memasukkan transpuan dalam kelompok yang layak mendapat bantuan.
Padahal kalau boleh jujur, dalam kondisi sebelum pandemi saja mereka susah sekali mencari nafkah. Kelompok transpuan adalah kelompok rentan yang kehadirannya kerap kali dipandang sebelah mata baik oleh masyarakat maupun negara.
Perilaku diskriminatif dan pelecehan sering kali mereka dapatkan sehari-hari. Apalagi dalam kondisi sekarang. Mereka harus berjuang ekstra untuk tetap bisa bertahap hidup di tengah ketidakpastian.
Gambaran di atas menjelaskan adanya ambiguitas sikap pada diri kita. Di satu sisi kita marah pada Ferdian. Di sisi lain kita kerap kali mempertontonkan sikap tidak adil terhadap mereka yang berbeda atau minoritas seksual.
Tetapi apa pun itu, kejadian Ferdian memberi hikmah atas pentingnya membiasakan diri bersikap adil sejak dalam pikiran meskipun sulit. Mengingat sejak kecil imaji tentang transpuan sudah mendarah daging.
Semoga saja kejadian di atas membuka mata kita bahwa transpuan adalah bagian dari warga yang tetap harus dilindungi dan berhak mendapatkan rasa empati yang tulus.