Simeulue, Word Pers Indonesia – Forum Pemuda dan Mahasiswa Untuk Rakyat (Formmatur) mendesak Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh agar segera memberikan kepastian hukum Terkait kasus Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Kabupaten Simeulue.
Pimpinan Eksekutif Wilayah Formmatur Aceh Rovki Muhammad Akbar mengatakan, penanganan kasus SPPD oknum Dewan Kabupaten Simeulue yang diduga fiktif tersebut seperti tidak ada kepastian hukum dan terkesan di politisasi,
“pasalnya perkara tersebut telah bergulir sudah 2 tahun namun tidak kunjung ada penyelesaian.
“Kasus dugaan SPPD fiktif ini sudah bergulir dari 2020 lalu, jika memang sudah cukup bukti segera tetapkan tersangkanya, bila mana memang tidak cukup bukti, maka kasus tersebut bisa dihentikan sehingga masyarakat dapat melihat ada kepastian hukum terhadap perkara ini,” Kata Pimpinan EW-Formmatur Aceh dalam keteranganya kepada media, Kamis (14/07/2022).
Menurut Rovki menyangkut perkara SPPD fiktif oknum anggota Dewan Kabupaten Simeulue harus segera ada kepastian hukum, sebab setelah dilaksanakan gelar perkara termasuk kemajuan penanganannya, kini tahapan kasus tersebut telah di ambil alih pihak Kejaksan Tinggi (Kejati) Aceh.
“Sebagai bentuk penegakkan supremasi hukum yang berkeadilan maka Kajati Aceh harus segera memberikan kepastian hukum terhadap perkara SPPD oknum mantan anggota Dewan maupun oknum Anggota Dewan aktif tersebut,” Tegas mahasiswa asal Simeulue itu.
Menurutnya jika perkara tersebut telah ditangani Kejaksaan Tinggi Aceh, namun jika masih belum ada putusan resmi atau kepastian hukum serta prosesnya masih berbelit, maka dapat diduga ada pihak-pihak yang mengintervensi dan bermain dengan penegak hukum dalam perkara tersebut.
“Kejati Aceh harus segera menetapkan para tersangka terkait dugaan kasus korupsi ini, sehingga tidak menimbulkan persepsi perkara ini dipolitisasi,” Tegas mantan Sekretaris Jendral SOMBEP Aceh Barat itu.
Seperti yang diketahui sejumlah anggota DPR Kabupaten Simeulue diduga tidak melaksanakan perintah Perjalanan Dinas sehingga terdapat Kelebihan bayar SPPD.
Kemudian Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia Aceh, menemukan adanya indikasi kerugian keuangan negara dalam kegiatan tersebut yang diperkirankan mencapai Rp 2,7 miliar rupiah, (red, Wak Rimba)