Catatan penulis sejarah
Oleh: BENNY HAKIM BENARDIE
Bahasa Bengkulu adalah kesatuan bahasa yang ada di Provinsi Bengkulu, oleh karena itu, tidak satupun suku yang berhak mengatakan, bahwa bahasanya adalah bahasa Bengkulu yang paling benar.
Bahasa adalah alat untuk berkomunikasi antara makhluk satu dengan lainnya. Bahasa akan selalu berkembang tergantung pada trendy bahasa yang digunakan–Bahasa mayoritas yang digunakan atau populer, dapat dikarenakan pengaruh oleh banyak penguasa atau dapat pula dikarenakan pengaruh bahasa komunikasi perdagangan yang banyak menggunakan transaksi dalam bahasa tersebut.
Untuk itu perlu ditentukan terlebih dahulu, apa yang kita maksudkan dengan kata “Malayu” tersebut. Sebagai gambaran umum, rumpunan bahasa yang terdapat dan digunakan di Provinsi Bengkulu antara lain sebagai berikut :
1. Bahasa Ra-Hyang atau Re-Hyang (Rejang).
2. Bahasa Enggano (Pulau Perempuan).
3. Bahasa Lampung.
4. Bahasa Malayu Ippoh (Muko-muko, Lubuk Pinang, Bantal, Lima Koto, Ketahun, Pasar Bengkulu, dsb).
5. Bahasa Malayu Lembak (Tanjung Agung, Dusun Besar, Pada Dewa, dsb).
6. Bahasa Malayu Kotamadya Bengkulu.
7. Bahasa Malayu Serawai dan Pasemah (Pha-semah) yang penyebarannya meliputi Manna, Tais, Kepalak Bengkerung, Tanjung Sakti, Padang Guci, Kedurang, Kaur, dsb.
8. Bahasa Malayu Bintuhan.
Tiga komunitas bahasa, yaitu Rejang, Enggano dan Lampung tidaklah termasuk dalam kelompok rumpunan Bahasa Malayu yang dikemukakan sebelumnya. Tiga etnik ini memiliki kelompok rumpunan bahasa tersendiri, dan etnik inilah yang merupakan penduduk asli negeri Bengkulu. Sedangkan bahasa Malayu datang dan berkembang sebagai bahasa ibu dikemudian. Karena itu, sangat tidak bijak kalau etnik Rejang, Enggano dan Lampung, seakan tersingkir dari catatan sejarah Bengkulu, sementara Malayu yang merupakan etnik dan bahasa pendatang baru, tampil sebagai primadona etnik.
Ada petata petitih lama (Asli Bengkulu) yang ditulis dalam naskah kuno huruf Arab, bahasa Bengkulu pada tahun 1553 M, nama penulisnya tidak disebutkan/ditemukan atau rusak, hilang. Karena sewaktu ditemukan naskah tersebut ini telah lusuh, lapuk dan sebagian telah rusak ditelan usia. Hanya tahun penulisan yang masih nampak. Naskah ini ditemukan di Provinsi Banten Tahun 1994, berbunyi dalam alih bahasa lebih kurang sebagai berikut :
Endak Möran pa-ï Lopak,
Hendak tidü pa-ï kebiduk,
Dihulu tempek apak (bapak),
Dimuarë tempek induk,
Disitu melepekan niat.
(Naskah kuno ini nampaknya merupakan himpunan nyanyian anak laut).
Kata-kata yang terkandung didalamnya memiliki filosofis yang tinggi bermakna: Kalau hendak mencari kehidupan yang lebih baik pergilah kekota. Kalau hendak istirahat, bersantai dan menenangkan pikiran kembalilah berkumpul di tanah kelahiran, dan sedekahkanlah sebagian harta yang kamu peroleh di negeri orang, pada negeri ibu tercinta Bengkulu.
Ada empat kata-kata Bengkulu yang kita peroleh dari petata petitih ini, yaitu kata Möran, pa-ï, Lopak, dan tidü sedangkan kata lainnya sepeti kata biduk, hulu, muarë (o) diambil dari bahasa Malayu. Mungkin masih lebih banyak lagi kata-kata Bengkulu, yang penulis sendiri belum ketahui.
Berdasarkan penelitian etnolinguistik penulis dalam perbandingan bahasa asli Kotamadya Bengkulu: Bahasa Malayu Bengkulu memiliki keunikan tersendiri. Banyaknya penggunaan kata-kata yang berakhiran ö, ë, ï, bukan disebabkan oleh pengaruh bahasa Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur), dan tidak pula karena dipengaruhi bahasa Eropa, Inggris dan Belanda. Tetapi, hal ini dipengaruhi bahasa Palung, Khmer, Campa dan Khasi rumpunan bahasa Mon (Hyunan Cina) Robert von Heine Geldern, seorang sarjana ilmu purbakala berkebangsaan Austria yang mengadakan penelitian tentang “Tanah Asal Bangsa Austronesier” mengatakan, bahwa nenek moyang bangsa Austronesier selama-lamanya tinggal di daratan Asia Tenggara. Mereka ini mula-mula berasal dari daratan Cina kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi (sM). Kebudayaan beliung batu telah dikembangkan di Cina kira-kira pada 2000 tahun sebelum Masehi. Bangsa yang memiliki kebudayaan ini bergerak ke Asia Tenggara sebelum bangsa Aria menduduki Punjabi di India Utara, dan beliung batu persegi panjang ini banyak kita temukan di Hyunan dan Kansu.
John Crawfurd pada tahun 1848 dalam bukunya “On the Malayan and Polynesian Languages and Races”, meneliti kata-kata yang termuat dalam berbagai kamus mengenai bahasa-bahasa di Austronesia. Dia mencoba membandingkan antara satu dengan yang lainnya. Menurut J.Crawfurd dari 8.000 kata Malagasi terdapat 140 kata yang dapat dipulangkan pada kata Jawa dan Malayu.
Demikian juga dari 4.560 kata Selandia Baru terdapat 103 kata yang serupa dengan kata Jawa dan Malayu, dan dari 3.000 kata Marquesas terdapat 70 kata yang sama dengan kata Jawa dan Malayu. Sementara dari 9.000 kata Tagalog hanya terdapat 300 kata yang dapat dipulangkan kedalam kata Jawa dan Malayu. Sehingga J.Crawfurd mengambil suatu kesimpulan bahwa bahasa-bahasa itu tidak menunjukkan banyak kesamaan, oleh karena itu, tidak masuk dalam satu rumpun bahasa.
Koentjaraningrat memberikan komentar dalam bukunya Beberapa Metode Antropologi; Toh Crawfurd tak dapat disalahkan katanya, karena dalam waktu itu beliau tak dapat tahu bahwa persamaan kata-kata yang termasuk basic vocabulary dalam dua bahasa, cukup untuk membuktikan kekeluargaannya. Dari lima bahasa masing-masing yakni bahasa Madura, Lampung, Bali, Bugis, Kayan, dan Kisa J Crawfurd masing-masing mengambil 1.000 kata.
Dari 1.000 kata Madura kedapatan 675 kata Melayu, yang 325 asalnya dari bahasa lain: 1.000 kata Lampung kedapatan 455 kata Melayu, 545 dari bahasa lain: dari 1.000 kata Bali kedapatan 470 kata Melayu, yang 530 dari bahasa lain, dari 1.000 kata Bugis kedapatan 326 kata Melayu, yang 674 dari bahas lain: dari 1.000 kata Kisa kedapatan 114 kata Melayu, yang 944 dari bahasa lain. Dari penyelidikan kata ini yang cocok dengan bahasa Melayu kira-kira 60 persen saja.
Perbandingan Bahasa.
Sebagai perbandingan untuk melengkapi perbendaharaan bahasa dalam perbandingan bahasa di Bengkulu, penulis mencoba menggunakan berbagai sumber dan perbendaharaan bahasa antara lain sebagai berikut :
Bahasa ini oleh Dr Hamy disebut dengan Malayu kontinental sebagai contoh adalah kata Apoi, Api, Ayar, Air, Ulun, Aku . Dalam hal ini penulis (Hakim Benardie Sabrie) tidak menyebut dengan kata bahasa Malayu kontinental, tetapi menggunakan Pha-mnala-yë atau Pha-mnalä-yu, karena bahasa ini meliputi bahasa Asia, Asia Tenggara, Nusantara dan Malayu kontinental itu sendiri.
Dalam kata Bahnar yang juga serumpun dengan bahasa Campa dan Khmer terdapat kata-kata Bia, Buaya, Hmoit, Semut dan Kit, Katak, Hyang, Dewa. Kata Khmer Bong, Abang, Meas, Mas, Ne, ini, Nan, Sana, Nu, Nun. Namun dalam kata Khmer tidak terdapat kata tanya “Mana”. Kata ini kemungkinan diambil dari kata ‘mo’ kata tanya bahasa Palung, dalam bahasa ini kata tanya untuk tempat berbunyi ‘ha-mo’. Kata ini dapat pula dibandingkan dengan bahasa Krui (Kroi) yang dulu pernah juga menjadi bahasa ibu di Kotamadya Bengkulu.
Dalam bahasa Shan kata ‘Tai’ berarti mati, kata ini diadopsi kedalam bahasa Campa sehingga berubah menjadi kata matai. Akar kata ‘Tai’ mendapat awalan dalam bahasa Campa ‘Ma’ sehingga mucullah kata matai. Kata ini masih kita dengar dalam bahasa Malayu Kepulauan Riau, Bangka, Bajo, Dayak Kenya dan Katingan. Pada suku Dayak Ngaju kata ini menjadi ‘pampatai’. Suku Bantik menyebutnya ‘natei’, dan dalam bahasa Mandura kata ini menjadi ‘matek’.
Kata ini tersebar dalam cabang-cabang bahasa Polinesia, misalnya dalam bahasa Maori menyebut dengan kata ‘mate’, juga pada bahasa Samoa, Tahiti , Hawai, Tonga, Marquesas, Mangarewa dan Paumota. Dalam bahasa Aniwa kata ini menjadi ‘komate’. Kata hidup juga berasal dari bahasa Shan Cian Selatan. Kata ini masuk kedalam bahasa Ahom berbentuk kata ‘Dip’ dan dalam bahasa Campa menjadi ‘hudip’, dan dalam bahasa Jarai ‘hedip’. Dalam bahasa-bahasa daerah di Indonesia misalnya dalam bahasa Jawa, kata ini berbunyi ‘Urip’. Bahasa Lampung ‘uriëk’, Bayan ‘Udip’, Mentawai ‘Muri’, Dayak Kenya ‘Mudip’ dan dalam bahasa Penyabung menjadi kata ‘Murip’.
Dalam bahasa Khmer ditemukan kata ‘Nyi’ berarti jenis perempuan. Kata ini juga terdapat dalam bahasa Sunda di Jawa Barat yaitu kata ‘Nyi’ atau ‘Nyai’. Sedangkan dari bahasa Campa didapati kata untuk sebutan laki-laki dengan kata ‘Lakei’, dan perempuan ‘Kumei’. Sedangkan kata ‘Jantan’ berbunyi ‘Tanov’. Kata Jantan dan betina disebut ‘Binai’. Kata ‘Binai’ ini dalam bahasa Bengkulu adalah isteri (Bini). Kata ‘kumei’ itu sebenarnya berasal dari bahasa Khasi, dan dalam bahasa Jarai laki-laki ‘Rekei’.
Untuk menyebutkan jenis kelamin bahasa Indonesia menyebutnya dengan kata betina, atau dalam bahasa Indonesianya perempuan. Dalam bahasa Jawa menggunakan kata ‘bi’ artinya perempuan, yang diambil dari bahasa Mon (Hyunan Cina) yaitu kata ‘be’ beartinya perempuan. Kata ‘be’ atau ‘bi’ dalam bahasa Bengkulu artinya ibu atau bibi. Banyak sekali bahasa Mon yang masuk kedalam kata-kata bahasa Campa, Khmer, Jarai, Khasi, dan bahasa Palung di Birma Utara, sampai ke bahasa-bahasa wilayah Indonesia.
Slametmuljana berpendapat bahwa, kata perempuan dalam bahasa Indonesia itu berasal dari bahasa Khmer yaitu prapon dan bertalian dengan kata ‘wa repon’ bahasa Birma. Namun menurut penulis, kata perempuan itu berasal dari bahasa asli Nusantara yaitu Peram = Simpan, dan Puan berarti susu. Dengan demikian kata perempuan bermakna penyimpan air susu.
Dalam bahasa Sansekerta ditemukan kata ‘Stri’. Dalam bahasa Jawa kata itu menjadi ‘Estri’ artinya perempuan. Kata lânâ dalam bahasa Nahali rumpunan bahasa Munda India Selatan berubah menjadi lanang dalam bahasa Jawa. Kata ini juga ditemukan dalam bahasa Bengkulu, yaitu lanang, melanang.
Dalam bahasa Jawa baru perempuan disebut dengan kata wadon, yang diambul dari bahasa Sansekerta vadhu. Sekarang orang menggunakan kata wanita dan priya (Laki-laki) yang diambil langsung dari bahasa Sansekerta, kendati kata itu tidak ditujukan untuk jenis kelamin.
Kata Sansekerta lainya yang diambil kedalam bahasa Malayu adalah Cri artinya indah, gemilang atau berarti yang mulia . Kata wanita (Vanita) dalam bahasa Sansekerta arti yang sebenarnya adalah yang diharapkan, yang dicintai, isteri atau perempuan. Kata Campa ‘Merai’ menjadi mari. Padai menjadi padi. Takai ‘kaki’, dalam bahasa Bengkulu kita temukan kata tungkai dan kata tukük = kaki.
Dari bahasa Santali yang merupakan cabang bahasa Munda India Selatan, kita dapat bentuk kata ‘Dal’ yang artinya memukul. Daldal: memukuli. Dadal: memukul keras. Kata-kata ini dapat juga kita temukan dalam istilah kesenian Tabot. ‘Döl’= memukul, ‘Daldöl’ = memukuli, dan ‘Dadöl’ = memukul keras. Dari bahasa Criviyaya ditemukan kata ganti orang kedua, yaitu ‘Mamu’ = orang yang dihormati. Kata ini ditemukan dalam lingkungan istilah keluarga Tabot di Bengkulu.
Dalam pengupasan bahasa asli daerah ini, tidaklah adil kalau tidak mengupas sepintas tentang bahasa Criviyaya (Sriwiyaya), karena provinsi ini merupakan salah satu tetangga Provinsi Bengkulu. Di dalam piagam Kota Kapur Criviyaya ditemukan kata ‘in’ yang merupakan kata sisipan, sebagai indikator bentuk pasif kata vinunu bearti bunuh. Dalam baris selanjutnya ditemui kata niwunuh = dibunuh. Dalam bahasa Criviyaya juga ditemukan kata ngelarku = ku-gelari. Kata niwunuh atau wunuh dan ngelar tersebut, juga ditemukan dalam bahasa Serang Banten secara utuh, yaitu kata wunuh (Bunuh), dan kata ngelar = membentang.
Dr. H. Kern membuat suatu daftar kata-kata Austronesia yang telah dibandingkan dengan bahasa-bahasa lainnya. Ternyata ditemukan 30 kata yang sama antara lain sebagai berikut :
1. Tebu
2. Nyiur
3. Buluh
4. Bambu (Awi)
5. Mentimun
6. Jelatang
7. Tuba
8. Talas
9. Pisang (Punti)
10. Pandan
11. Ubi
12. Padi
13. Ikan Yu
14. Gurita
15. Udang
16. Ikan Pari
17. Penyu
18. Buaya
19. Tuna
20. Nyamuk
21. Lalat
22. Babi
23. Asu (Anjing)
24. Kutu
25. Walawa
26. Lisa
27. Laba-laba
28. Langau
29. Besi
30. Wangkang.
Dari bahasa Malayu (Indonesia) dapat kita temukan kata Selatan yang berarti: 1. Laut sempit. 2. Petunjuk lawan dari Utara, tetapi tidak terdapat dalam bahasa Campa. Masih banyak kata-kata yang belum diketahui asalnya waktu itu, misalnya saja adalah kata aku, hidup dan mati. Namun ternyata kata ‘Aku’, ‘Mau’ berasal dari bahasa Shan (Cina Selatan) yaitu kata ‘Kau’. Kata ini juga dipakai dalam bahasa Assam, Ahom, Khamti, Nora dan Aitonia. Kata bahasa Malayu ‘Engkau’ diambil dari bahasa Mon (Hyunan Cina) yaitu hekau = engkau.
Kata ‘Ini’ berasal dari bahasa Mundari India Selatan, kata ‘Itu” berasal dari kata Khasi yaitu kata ‘Tu’, mendapat imbuhan ‘i’ setelah kata ini diadopsi kedalam bahasa Mon dan Palung, bahasa Palung itai. Dalam bahasa Palung kita ketahui ada kata petunjuk sebagai berikut i-ö dan i-tay. Kata ini berubah menjadi ‘ieu’ dan ‘eta’ dalam bahasa Sunda Jawa Barat.
Kata petunjuk ini tidak digunakan dalam bahasa Palung dan Khmer. Dalam bahasa Mon, Khmer, dan Khasi menggunakan kata petunjuk ‘Ne’, dalam bahasa Ambon ‘Ine’. Kata petunjuk dalam bahasa Mundari ana dalam bahasa daerah di Indonesia berubah menjadi kata ‘Kana’ (Serang Banten), Kono (Jawa Tengah dan Timur), Sana dalam bahasa Malayu, ‘Disan’ dalam bahasa Lampung atau Batak Toba, dan ‘Disinan’ dalam bahasa Mingangkabau. Untuk kata petunjuk ‘Ani’ berubah menjadi disini. Dengan demikian ada tiga kata petunjuk di Indonesia, yaitu sini, situ dan sana.
Dalam bahasa Campa, kata petunjuk keterangan tempat mulai dengan kata ‘Ta’ atau ‘Pa’, misal ; pani, tani, sini dan panan, tanan, sana, situ. Kata ‘ka’ itu mendapatkan kata penghubung, sehingga berbunyi sebagai berikut .
Kana (dari kata petunjuk Mundari ana)
Kėnė (dari kata petunjuk Khmer ne)
Kono (dari kata petunjuk Khmer no)
Dalam rumpunan bahasa Shan dikenal kata ‘tu’, badan (Inggris : body), kata tu atau to kita kenal kembali dalam kata Tuan, tun dan dalam bahasa Sriwiyaya, Lampung, Banten dan Jawa kita kenal dengan kata ratu = raja, kata ini menunjukkan kata hormat. Untuk pengertian tubuh bahasa-bahasa di Indonesia menggunakan kata tubuh bentuk metatesis yaitu butu, disamping kata tubuh juga digunakan kata batang atau bengku sebagai mana juga dalam bahasa Kota Bengkulu.
Dalam bahasa Sulawesi kita temukan kata ‘kale’ = badan, kata ini digunakan dalam bahasa Toraja Binuang, Toraja Belanipa, Memuju, Bantaing dan Sa’dan. Sedangkan dalam bahasa Toraja Baree ditemukan kata ‘koro’ dan dalam bahasa Mori ditemukan kata ‘kroi’ artinya batang, dan dalam bahasa Bengkulu kata ‘bengku’ atau ‘bengkuk’ = ‘batang’.
Kata lain yang juga digunakan secara luas untuk menyebutkan tubuh atau batang adalah kata ganti ‘awak’ , dalam bahasa Bali kita kenal dengan kata ‘raga’ dan ‘dėwė’, sedangkan dalam bahasa Malayu Bengkulu lainnya kita kenal dengan kata ‘diri’ = tubuh atau badan sebagai kata ganti refleksif.
Dalam bahasa Penyabung, Katingan dan Pinihing ditemukan kata ‘puong’ sebagai kata ganti refleksif, kata itu masuk kedalam bahasa Jawa kuno menjadi ‘pwangkulun’ atau ‘pwanghulun’. Sedangkan bahasa Gorontalo kita temukan kata ‘pohuwa’ sinonim kata ‘awaä’ yang berarti badan.
Sedangkan kata ‘saya’ berasal dari bahasa Sansekerta dan kata ‘wafat’ berasal dari bahasa Arab. Bahasa lain yang hampir mendekati bahsa Malayu adalah bahasa Campa, dan bahasa Jarai, Margui, Khaonam. Dalam bahasa Campa ditemukan kata benda berbentuk ‘asau’ , kata ini diambil dari bahasa Khasi yaitu ‘asu’ = anjing. Bentuk semula kata ini sebagai berikut ; , Khasi dalam bahasa resmi ‘ksew’, Khasi Lingngam : ‘ksu’, atau ‘su’ dan dalam Khasi Sinteng ‘ksäw’. Bahasa Tagalog dan Iloka menyebutnya ‘aso’.
Demikian juga dalam penghitungan angka, terlihat pula dalam penggunaan bilangan 1 sampai 10 dan kata hitungan Campa ‘Klau’ (3) , dalam menghitung Campa menggunakan kata 10 + 2 (Sa puluh dua). Dalam bahasa Seputan digunakan tambahan kata ‘ma’ sehingga hitungan berbunyi ‘puru ma ruo’. Dalam bahasa Shan hitungan kesepuluh (10) disebut ‘tekau’.
Dalam bahasa Palung di Birma Utara kata kor (10} sehingga hitungan berbunyi ‘kor na ar’ berarti 10 + 2 , kata ini masuk kedalam bahasa-bahasa di Indonesia menjadi ‘kur’ seperti pada bilangan ‘likur’. Dalam bahasa Polinesia menjadi ‘tekau’ seperti hitungan ‘tekau ma rua’. Kata bilangan Austronesia seperti fitu (7} , walu (8) , siwa (9) , sedangan Campa menggunakan kata tijuh (7) , dalapan atau salapan (8) , dan semilan (9).
Terlepas dari perdebatan itu, adanya penyebaran bahasa di luar bahasa induk ke Nusantara ini jelas merupakan suatu bukti bahwa telah ada pelayaran atau perniagaan yang sampai ke negeri ini. Bahasa-bahasa itu disampaikan secara berantai atau domino kepada penduduk yang berada disekitarnya, dan satu-satunya alat transportasi laut masa itu adalah perahu layar (Jung) yang dapat dijadikan sebagai jembatan penghubung antara pulau-pulau berpenghuni.
Slametmulyana dalam buku “Asal Bangsa Dan Bahasa Nusantara“ mengatakan ; Nama Nusantara belum dikenal sebagai nama keserumpunan bahasa, namun sudah dikenal sebagai nama kepulauan antara empat benua, mempunyai pengertian yang sama dengan Austronesia. Beliau menggunakan kata Nusantara untuk menunjuk keserumpunan bahasa yang terdapat di Kepulauan Nusantara atau Austronesia.
Penulis disini hanya ingin mengatakan bahwa, apa yang dimaksud dengan “keserumpunan bahasa yang terdapat di Kepulauan Nusantara atau Austronesia“ itu sebenarnya sudah dikenal sejak lama yaitu dengan istilah keserumpunan bahasa ‘Pha-mnalä-yu’, terutama oleh pedagang Arab, India dan Cina. Kata Malayu terambil dari akar kata ‘Mnala-yë’ bahasa Ayodhya atau Ayoda sebuah kota yang terletak di Utara Pradesh Tengah bagian Timur India. Kota inilah yang disebut-sebut dalam buku Ramayana sebagai negeri keramatnya umat Hindhu.
Dengan demikian kata ‘Pha-mnala-yë’ atau ‘Pha-mnalä-yu’ memiliki makna yang sama atau sinonim dengan kata Nusantara atau Indonesia atau Archipelagic State yang juga kita kenal sekarang. Bahasa Indonesia yang kita gunakan sekarang ini jika diteliti secara luas, maka akan ditemukan adanya perpaduan bahasa (bahasa Adopsi) dari berbagai bahasa Afrika, Asia, Asia Tenggara, Eropa dan bahasa Pha-mnalä-yu itu sendiri yang telah ada dari sejak awal, telah terjadi ratus tahun sebelum Masehi (sM).
Karena itu menurut penulis penggunaan istilah Nusantara pada penyebutan rumpunan bahasa diseluruh wilayah Republik Indonesia atau Archipelagic State adalah tidak tepat, dan hanya akan semakin mempersempit ruang lingkupnya. Karena sejarah bangsa-bangsa itu sendiri telah menunjukkan bahwa sejak ratus abad telah ada perpindahan penduduk dan perdagangan secara luas di berbagai perairan Asia, Afrika dan Asia Tenggara termasuk di kepulauan Archipelagos. Pembatasan dengan istilah Nusantara itu, juga akan semakin memperjauhkan dari kenyataan (Facta) pengembangan bahasa itu sendiri serta ruang lingkupnya.
Namun kata Austronesia yang digunakan sebagai istilah untuk rumpunan bahasa di Asia Tenggara, dapat dipertegaskan disini bahwa istilah rumpunan bahasa Austronesia itu jelas lebih luas dibandingkan dengan istilah bahasa Nusantara, dan rumpunan bahasa Pha-mnalä-yu lebih luas dari Austronesia. Bahasa Pha-mnalä-yu mencakup bahasa-bahasa yang datang dari daratan Asia, Afrika, Asia Tenggara, Archipelagos dan berkembang di Indonesia. Dengan demikian penulis berpendapat, rumpunan bahasa Indonesia akan lebih tepat disebut rumpunan bahasa Pha-mnalä-yu, karena wilayah penyebaran bahasa dan etnisnya lebih memiliki ikatan histories dan emosional, baik dulu maupun sekarang.
Menurut beberapa peneliti asing, bahasa Sansekerta yang berada di Indonesia itu lebih memiliki kekhasan (kehususan) jika dibandingkan dengan bahasa negeri asalnya, seperti bahasa Urdu, Hindustan dan Tamil lainnya yang banyak bercampur dengan kata-kata Sanskrit (Sansekerta). Namun hal itu tidak tertutup kemungkinan, bahwa bahasa Sansekerta yang berkembang di Indonesia itu muncul dari bahasa sehari-hari para pelaut-pelaut India pada masa itu, yang memang terkenal banyak menyinggahi berbagai pelabuhan laut di Asia dan Asia Tenggara, yang ramai dikunjungi ketika itu. Mereka mendatangi pelabuhan-pelabuhan Jazirah Arab dan Asia yang telah maju untuk berniaga, dan perlu pula diingat bahwa di India sendiri bahasa daerah itu cukup banyak.
Di India terdapat 179 bahasa yang terpecah menjadi 544 bahasa daerah, dan bahasa itu dapat dirumpunkan menjadi 5 rumpun bahasa yaitu masing-masing:
1). Rumpun bahasa Indo-Eropa, atau rumpun bahasa Arya seperti bahasa Hindi, Banggali, bahasa Assam, bahasa Orissa, Marathi, Gujarat, Punjabi, Lahnda, Sindhi,
Kashmiri dan Sinhala. 2). Rumpun bahasa Munda, 3). Rumpun bahasa Dravida, 4). Rumpun bahasa Indo Tionghoa, dan 5). Bahasa-bahasa yang tidak dapat digolongkan ke dalam salah satu rumpunan bahasa yang ada.
Bahasa Hinddhi dipakai di United Provinces, Central Provinces dan Rajputana, sedangkan aksara yang digunakan untuk menulis mereka menggunakan dua macam; aksara Parsi dan aksara Nagari (Di Indonesia berkembang menjadi aksara Kawi atau Jawa kuno). Demikian juga bahasa banyak bercampur dengan kata-kata Parsi, bahasa ini dinamakan bahasa Urdu. Sedangkan bahasa Hindustani banyak bercampur dengan kata-kata sanskrit, dan bahasa Hinddhi ini banyak digunakan sebagai bahasa kesusastraan
Bahasa Banggali banyak terdapat di Delta Gangga dan di daerah sebelah utara dan timur. Anehnya dalam bahasa ini ialah, bahwa bahasa kesusastraannya jauh berbeda dengan bahasa yang digunakan sehari-hari, seperti seakan tidak pernah kita jumpai dalam bahasa-bahasa lainnya.
Aksara yang digunakan untuk menulis adalah aksara Nagari yang di sana-sini terdapat perubahan. Sementara bahasa Banggali dinilai termasuk bahasa tinggi, dan kesusastraannya telah berkembang sejak lama, bahasa ini juga dipakai di Assam.
Orang Punjab berbahasa Penjabi, termasuk di Punjab Timur, sebagian mereka memakai bahasa Lahnda dengan aksa Parsi. Orang Sind memakai bahasa Sindhi, aksara yang dipakai aksara Parsi. Sedangkan orang-orang Kasmir banyak berbahasa Sanskrit, disini orang muslimnya menggunakan aksara Parsi, sementara golongan Hinddhu menggunakan aksara Narada (Aksara Nagari kuno).
Dalam prasasti Prabu Siliwangi, bahasa Indonesia kuno yang digunakannya kelihatannya lebih modern dimasanya, kendati perubahannya itu sendiri tidak secara mendasar (Signifikan), artinya masih banyak istilah-istilah (kata-kata) lama yang masih digunakan dalam prasasti tersebut. Tetapi yang paling menarik dalam prasasti Prabu Siliwangi itu menurut penulis, adalah banyaknya kata-kata yang hingga kini masih tetap dipakai dalam bahasa daerah seperti Lampung Pesisir (Lampung Pemingir) misal kata Dija, Sija, Saka, Ja (Hiya), Nusa, Tiga, Lan, Ban, Pun, Bumëi, dan sebagainya.
Bahasa yang digunakan dalam tulisan prasasti Batu Tulis itu, adalah kata-kata yang umumnya banyak sekali dipakai dalam bahasa Lampung kuno. Jika hal ini benar, maka tugas selanjutnya akan menjadi pekerjaan rumah bagi para peneliti bahasa (Etnolinguistik).
Karena itulah banyak nama-nama negeri di Nusantara yang diambil dari nama tumbuh-tumbuhan / pohon, atau sebutan tempat (sungai atau penambangan emas), atau diambil dari istilah keagamaan (Hinddhu, Bhuddha, Islam dan Kristen), atau nama negeri asal penguasa pemuka agama, dan penamaan itu sekaligus sebagai bahasa. Sebagai contoh nama yang diambil dari nama tumbuh-tumbuhan adalah, Ippoh atau Ipuh (pohon yang getahnya sangat beracun) sebuah negeri yang terdapat di Provinsi Bengkulu atau negeri Ippoh di Malaysia.
Negeri yang memakai nama-nama sungai contohnya adalah Bakasi yang diambil dari kata Chandrabhaga, kata Krui (di Provinsi Lampung), Lu-Shiangshe (Sungai kejayaan atau sungai emas) di Bengkulu, dan kata ‘Bengkulu’ itu sendiri menunjukkan kata ‘batang air’ atau ‘sungai’. Di Sumatera bagian selatan anak negeri umumnya menyebut kata ‘sungai’ dengan istilah ‘batanghari’, contoh lainnya adalah nama Bhagawan Solo (Bengawan Solo) kata Bhagawan itu berarti sungai (sedangkan arti sesungguhnya adalah seseorang yang memberikan/menurunkan ilmu secara terus menerus, mengalir bagaikan mata air).
Nama negeri yang diambil dari nilai keagamaan adalah Chamara (ekor kuda) sebagai alat pengusir lalat yang sering terlihat pada patung dewa yang sedang memegang Chamara, Aksamala (Tasbih) dan Kamandalu (Kendi berisi air penghidupan ). Chamara atau Cemara banyak digunakan sebagai sebutan nama sebuah negeri di Nusantara.
Nama negeri lainnya adalah Indrapura (Kota Dewa) di Provinsi Riau, dan nama kota yang sama juga terdapat di Sumatera Barat. Sedangkan yang berbentuk peralatan keagamaan adalah seperti nama negeri Muko-muko yang diambil dari kata Maco-maco (Tempayan besar), dan Tapan (Nampan), Indramayu (Kota dewa kecantikan atau Dewa bersolek) dsb.
Makna keagamaan yang diambil menjadi nama negeri lainnya seperti Pakwan Pajajaran, kata ini terdiri dari dua suku kata yaitu Pakwan + Pajajaran. Kata Pakwan berasal dari bahasa Hinddhustan, terambil dari akar kata ‘Pakpui’ atau ‘Pa’Pui’ artinya “Melihat / mendengar sabda dewa”. Sedangkan kata Phajajaran itu terambil dari akar kata Pha + Jajar + An, kata ini dapat diartikan dengan “Gugusan Pulau” atau berjajar atau banyak pulau. Dengan demikian kata Pakwan Phajajaran berarti “Pulau Sabda Dewa atau Negeri Sabda Tuhan”. Kata itu hampir sama dengan sebutan kata Samudera Pasee sebagai Kota Serambi Mekah atau Negeri Para Wali.@