Oleh: Bagus ( President Republik SLE )
Dang Jas mengajak aku keluar dari Goa, di mana aku ditinggalkan oleh Revan dan Sandi. Tempat di mana aku mendapat pelajaran banyak tentang redap. Tentang teknik membuat alat musik tradisional masyarakat Serawai dan Bengkulu pada umumnya. Kulit kambing betina muda adalah sebagai penimbul bunyi yang paling indah untuk sebuah redap.
Dan, malam tadi lewat tanpa ada hal yang mencemaskan seperti dua malam berturut-turut sebelumnya.
Belum ada tanda-tanda kehadiran ketujuh harimau muda, ataupun salah satunya. Hingga tengah hari saat ini, aku masih bisa menikmati hari-hari dengan tenang dan damai di desa ini.
Ketika aku lagi menikmati kesendirian di rumah dang Jas, seorang remaja berkumis tipis, sekitar tujuh belas tahun, ragu-ragu masuk kamar, di mana aku berada.
“Boleh saya masuk, bang…?”
“Oh, silahkan… Ayo masuk… “
Dengan sopan dia menyalami dan menyebutkan namanya.
“Noval, bang… ” Dia menyebutkan namanya, lalu duduk di sampingku di atas tempat tidur.
“Apa nih, yang bisa abang bantu?” Pertanyaan pembuka yang salah menurutku, kesannya dia mencariku karena ada kepentingan. Padahal aku di desa ini hanyalah tamu, dan hanya beberapa hari saja.
“Tidak ada, bang, cuma mau ngobrol saja sama abang… “
Jawabnya sopan dan membuat aku malu. Siapa tahu dia ke sini hanya mau menemaniku?
“Siap! Noval tinggal di mana?” Sambil memperhatikan wajahnya, apakah aku pernah melihat dia sebelumnya atau tidak?
“Noval tinggal di depan, bang. Dari tadi memperhatikan abang, tapi baru berani sekarang.”
Tetangga dekat dang Jas rupanya.
“Kenapa ragu?” Aku penasaran.
“Selama ini, abang cuma bergaul sama kakak-kakak di atas kami. Kami takut abang tidak mau akrab sama kami.”
“Ajak-ajak saja temanmu ke sini. …”
Aku ambil kesimpulan kata ‘kami’ adalah Noval dan teman-temannya.
“Benar, bang?” Noval memastikan kalimat yang dia dengar.
“Iya!” Jawabku mantap.
Tanpa pamit remaja yang bertubuh sedang ini segera bangkit dan segera menuju rumah di seberang jalan. Tidak lama kemudian, dua remaja seumuran Noval keluar dan beberapa detik kemudian satu persatu masuk dan menyalami.
“Robin, bang… ” Remaja kurus tinggi pertama kali menyalami dan langsung mencari tempat duduk di tempat tidur Martin, anaknya dang Jas.
“Rezi… ” Yang berkumis dan bertubuh agak kekar dengan tinggi hampir sama Noval masuk kemudian dan mengambil tempat persis di sampingku.
Tidak makan waktu lama, keakraban menguasai obrolan kami. Intinya mereka ingin juga ngobrol dan berbicara tentang pemikiran seusia mereka.
Noval, Rezi, dan Robin lebih tertarik dengan dunia fotografi dan videografi, dan hasilnya memang aku kagum untuk ukuran anak pedalaman.
“Bang, kita main ke hutan yuk… “
Godaan. Ini benar-benar godaan bagiku. Kalau tujuh harimau muda, mungkin aku akan langsung mengiyakan. Tapi ini tiga anak remaja? Kalau terjadi apa-apa denganku di hutan, bagaimana?
“Sebentar, abang pikir dulu.”
Yang aku pikirkan adalah, aku sudah hari keempat di sini. Sudah melewati dua hari dari jadwal. Bagaimana dengan kegiatanku yang lain?
Wajah-wajah muda memperhatikan wajahku. Menunggu jawaban.
“Oke, baiklah. Ayo kita berangkat!”
Bersama tiga remaja yang baru aku kenal tadi, disertai oleh Martin dan Frisko, dua pemuda yang sudah akrab denganku.
Maka, aku menyusuri beberapa jalan kampung dan melewati jembatan gantung. Derik-derik baja dan besi pada jembatan yang berlantai kayu, sebagian lepas, membuat rasa yang membuat ngilu pada tulang.
Tiga remaja tadi, membuat vlog, walau sempat terganggu oleh seorang ibu yang menanyakan sesuatu. Ada keseruan yang membahagiakan pada awal perjalanan ini.
Di ujung jembatan, menyambut bentangan sawah yang luas, dan sebuah bukit sebagai latar belakang, menjadi titik fokus yang membuat panorama di depan kami sangat indah.
Melangkah cepat agar segera menuju ‘obat penenang’ bagiku ini. Ingin segera meneguk utuh keindahan yang menggodaku.
Sambil melangkah aku sempat berpaling ke belakang. Robin, Reval dan Frisko mengambil gambarku dengan hand phone di tangan mereka. Sementara Rezi melangkah mendahului di depanku.
Aku merasa jadi bintang. Bagai bintang kawakan dan sedang bekerja dengan orang-orang profesional, kadang-kadang aku harus mengikuti arahan mereka yang mengambil gambarku dari berbagai sudut. Entah siapa sutradaranya, dan entah siapa juga penulis script dari perjalanan ini.
Entah sudah berapa materi video yang telah mereka ambil, hingga kami sampai pada pinggir hutan, dan ada jalan setapak menuju bukit yang lembab karena pohon-pohon yang tinggi dan besar.
“Abang harus lihat yang kami punya di pertengahan punggung bukit di atas…” Robin membuat aku penasaran.
Semua wajah tiga remaja ini sangat semangat menyampaikan kalimat ini.
Aku penasaran.
“Ayo, bang. Hati-hati, jalannya licin dan banyak daun jelatang.”
Jelatang adalah tumbuhan yang bisa membuat kulit sangat gatal dan panas, hingga berhari-hari.
Jelas Noval sambil melangkah mendahuluiku. Aku melangkah di belakangnya diikuti oleh yang lain. Sementara itu, Rezi mendahului kami, dan Robin berada di paling belakang. Mengambil setiap adegan dalam menapaki bukit, menuju tempat yang pasti sangat menarik bagiku.
Di balik rimbunan pohon bambu dan di dekat akar sebatang pohon, aku melihat sekuntum bunga yang selalu membuat aku takjub. Rafflesia mekar dengan sempurna. Dengan merah khas beserta totol-totol khas kembang langka tersebut, aku memperkirakan maskot provinsi Bengkulu ini baru dua hari mekar. Terlihat masih segar. Ada beberapa ekor lalat beterbangan di atas bunga kelopaknya.
Saat menikmati pesona yang ada di depan mata, Tiba-tiba aku merasakan bulu kudukku meremang. Perasaanku mengatakan ada sepasang mata memperhatikan kami sejak tadi. Tapi di mana?
Aku abaikan perasaanku. Bagai reporter yang sangat pengalaman, aku memerankan peran tersebut di depan tiga kamera dari tiga remaja berbakat milik desa ini.
Ada dengusan dari binatang besar ketika tanganku dekat dengan bunga tersebut. Aku rasa kami mendengar itu, karena beberapa detik kami sempat tertegun. Tapi hanya sesaat. Saat berikutnya kami sibuk lagi.
Tiba-tiba sebuah lompatan dari balik pohon bambu mengejutkan kami semua. Seekor Harimau belang muncul di hadapan kami. Sikapnya mengancam. Mulut besarnya menyeringai memperlihatkan giginya yang tajam.
Kami tertegun. Tidak bisa bergerak sama sekali. Gemetar dan ketakutan. Mata tajamnya menatap tepat ke mataku.
Ketika kesadaran menguasaiku, perlahan aku menjauhi bunga rafflesia, takut nanti pergerakan kami akan merusak kekayaan alam ini. Dan diikuti oleh semua yang bersamaku, kecuali Rezi. Dia benar-benar terpaku. Gemetaran dengan kamera hand phone mengarah ke harimau belang yang ada di depan kami.
Merasakan aura yang ditimbulkan, ini bukan dari salah satu anggota empat harimau belang muda yang sering bersamaku. Mata tajam dan buas itu terus mengarahkan matanya ke arahku. Memperhatikan setiap gerakanku.
Grrrrrhhhh… Diiringi satu loncatan mengarah ke aarahku. Detik berikutnya aku sudah tersungkur dan berguling-guling di lereng tebing. Tersangkut di salah satu akar. Tanpa sengaja tanganku mencengkeram sebuah bulatan. Oh bonggol rafflesia sedikit lebih besar dari bola bekel, telah menjadi pegangan dan mencegah aku melorot lebih jauh lagi ke bawah.
Harimau tersebut menahan serangannya ke arahku. Masih dalam posisi bergelantungan, aku memperhatikan semua orang bersamaku berharap pertolongan. Tidak ada yang bisa diharapkan. Mereka tidak mampu bergerak sedikitpun, malah ada yang terduduk.
Takut bonggol ini tidak bisa menahanku lebih lama, tangan kananku yang masih bebas, meraih akar lain. Dan setelahnya memindahkan tangan yang mencengkeram bakalan bunga Rafflesia.
Tindakan yang salah. Ketika tanganku melepaskan pegangan awal tersebut, si harimau malah kembali menyerangku. Walau tidak melukai, tamparannya ke kepala ku membuat aku jatuh dengan kecepatan lebih cepat dari grafitasi biasa.
Harimau belang besar dan kokoh ini mengiringi kecepatan luncurku. Oh Tuhan, dia mendahului sampai ke dasar tebing dan menunggu pendaratanku di depannya.
Melihat ini aku berusaha mencari-cari pegangan. Sial! Semua yang aku pegang tidak dapat menahan kejatuhan tubuhku, dan, bluk! Mendarat tepat di antara dua kaki depan dan di bawah hidung si harimau. Aku tak sanggup melihat semua ini.
Entah dapat ide dari mana, aku ingin pura-pura mati, atau pingsan. Dan aku memutuskan untuk pura-pura pengsan saja.
Entah bingung, entah apa. Aku merasakan perubahan pada dengusan dari hidung pemangsa hebat ini. Beberapa saat kemudian aku merasakan ada sentuhan di tubuhku. Awalnya sekali, lalu dua kali.
Aku teringat dengan kucing peliharaanku di rumah. Cara mereka memperlakukan mangsa buruan yang baru saja mereka dapatkan. Sebelum di makan, mangsa tersebut akan dipermainkan lebih dulu. Jika buruan kembali bergerak, permainan akan lebih seru lagi.
Aku bergidik dan tidak ingin jadi bahan permainan tersebut. Maka aku putuskan untuk pingsan lebih lama.
Sentuhan dan cuilan kedua kaki depan harimau yang menguasai tubuhku saat ini aku rasakan berhenti. Lama aku menunggu untuk di’goda’ lagi.
Pelan-pelan aku membuka mataku, tapi segera memejamkan kembali ketika samar-samar bayangan kepala si raja hutan ini tepat di atas wajahku. Ada tetesan liur jatuh tepat di depan hidungku. Hampir saja aku bereaksi ketika aroma liur tersebut pelan masuk ke indera penciumanku.
Aku rasakan hawa panas dari hidung menerpa wajahku. Semakin lama semakin dekat. Ada lidah menjilati leherku. Dan pelan-pelan aku rasakan mulut itu membuka dan akan menggigit leherku.
Buk! Ada sesuatu mengenai tubuh harimau yang akan segera merobek leher kecilku. Buk! Buk! Entah berapa kali suara tersebut mengenai tubuh si harimau, dan suara itu telah menghentikan hasrat pemilik mulut yang masih menempel di leherku, dan menghentikan niatnya. Andai saja gangguan-gangguan itu membuat dia emosi, maka hanya sedikit menekan, giginya akan menembus kulit dan menancap dalam di kerongkonganku.
Ada suara teriakan-teriakan dari atas.
“Hus! Hus! Hus…!” Bergantian suara-suara orang-orang yang masih di atas bukit sana berusaha mengusir kucing besar. Dengan sedikit membuka mata, aku ketahui si harimau sedang duduk di sampingku. Sekali-kali kibasan ekornya mengenai wajahku, dan salah satu kaki depannya menyentuh tanganku.
Aku berfikir, dia mempermainkan aku. Kembali aku merasakan aku diremehkan. Kemaren-kemaren aku diremehkan oleh tujuh harimau muda setiap aku menanyakan sesuatu. Kemaren nya lagi aku diremehkan oleh si Caping berkapak di dalam goa.
Aku geram dan berusaha bangkit untuk melawan. Baru saja ingin bergerak, satu kaki menginjak dadaku dan langsung menghentikan niatku. Sangat berat, padahal hanya satu kaki saja.
Lebih baik kembali pingsan saja lagi.
Ada angin aku rasakan. Aku mengingat-ingat, angin ini milik siapa? Oh iya, ini angin pertanda kehadiran Rio. Salah seorang, (atau salah seekor ya?) dari empat harimau belang, anggota tujuh harimau muda.
Aku menunggu apa yang terjadi selanjutnya. Pasti ada pertarungan seru dalam memperebutkan aku. Yang satu ingin memangsa, dan satu lagi ingin menyelamatkan.
Lama menunggu. Tidak ada auman atau dengusan marah pertanda pertempuran. Hanya ada dengusan kecil, auman-auman pendek, kadang suara yang tidak jelas bagiku.
Apa yang terjadi? Aku buka mataku. Rio malah duduk di samping si pengancam. Kadang-kadang mereka menyeringai. Apakah itu bentuk senyum atau mereka sedang tertawa? Apakah sekarang mereka sedang berkomunikasi dan topiknya adalah aku?
Belum lagi aku menemukan jawaban, kaki di atas dadaku melepaskan injakannya. Sekarang aku bisa bernafas dengan bebas.
Dua harimau itu melangkah meninggalkan aku menaiki bukit dengan beberapa loncatan. Masih berbaring aku menyaksikan yang mereka lakukan.
Ketika dua harimau belang yang berbeda genre ini ke atas, membuat tiga remaja dan dua pemuda berhamburan menyelamatkan diri masing-masing dan akhirnya berkumpul bersamaku.
Dari bawah kami melihat dua harimau itu menuju dan mengitari bunga Rafflesia. Lalu duduk berdampingan bagai dua orang teman.
Rezi aku lihat masih memegang kamera dalam posisi mengambil gambar. Diikuti oleh Noval dan Robin. Sementara Martin dan Frisko duduk. Masih gemetaran.
Aku menebak-nebak apa yang harimau-harimau di atas itu bicarakan. Apakah mereka sedang merumpikan aku? Aku ge-er hehe
Entah berapa lama dua teman di atas itu bercakap-cakap, yang pasti kami di bawah sini tidak ingin meninggalkan tempat ini, terutama aku, karena aku tahu salah satu dari tubuh belang-belang itu adalah Rio.
Apakah lima orang di sampingku tahu kalau Rio adalah salah satu dari harimau itu? Aku belum tahu pasti, apakah penduduk desa sudah tahu kalau desa mereka menyimpan tujuh manusia harimau?
Melihat gelagat Martin dan lainnya, aku rasakan mereka belum tahu sama sekali. Atau mereka pura-pura tidak tahu? Aku harus mencari jawabannya selepas dari hutan ini.
Dua harimau itu lalu melangkah ke hutan lebih dalam. Dan tidak muncul lagi.
Dari arah jalan kami datang tadi, muncul Rio sebagai manusia. Bercelana pendek, khas penampilannya dan menghisap sebatang rokok. Tidak ada tanda-tanda kalau dia tadi sudah berada di sini dan telah membuat harimau yang memburu aku, melupakan buruannya.
Begitu melihat kedatangan Rio, Noval yang ekspresif segera mendatangi pemuda bersendal jepit itu dan menceritakan dengan seru atas peristiwa yang membuat dia terkencing dalam celana.
“Sayang dirhi terlambat. Lebih cepat sekitar sepuluh menit tadi, dirhi pasti ketemu dengan apa yang kami temui.”
‘Dirhi’ dengan pengucapan penekanan pada lafal ‘r’ dalam bahasa Inggris, adalah kata ganti halus bagi kata ‘anda atau kamu’ Digunakan dalam bahasa sehari-hari, baik kepada teman sebaya ataupun kepada orang yang lebih dihormati.
Noval membuka ceritanya dengan bersemangat.
“Memang apa yang kalian temui?”
Pertanyaan yang pura-pura menurutku.
“Puyang, dang! Dua ekor sekaligus! Awalnya satu ekor!”
Bagi masyarakat kampung dan pegunungan, ada larangan secara tidak tertulis, agar mereka tidak menggunakan kata ‘harimau’ secara langsung, lebih baik menyebut dengan kata ganti nenek, atau puyang, untuk menghindari bala menimpa mereka baik di hutan ataupun lingkungan. Bala yang disebabkan kemarahan si nenek, karena ketidak sopanan mereka terhadap penguasa hutan tersebut.
“Oh iya?” Lagi-lagi pura-pura. Aku tersenyum tipis.
Rio hanya tersenyum dan menanggapi dengan kalimat-kalimat pendek. Lalu duduk di sampingku sambil mendengarkan tiga remaja ini menceritakan perasaan masing-masing. Sementara Martin dan Frisko lebih banyak mengiyakan dan menanggapi dengan anggukan-anggukan.
Menyaksikan keseruan-keseruan mereka bercerita, akhirnya aku tahu kalau semua remaja dan dua pemuda ini mengalami hal yang sama, terkencing dalam celana.
“Hmmm… Ada bahan candaan nih, untuk menggoda mereka… ” Bisikku dalam hati, hehe
Peristiwa yang sangat detail tentang aku diceritakan bergantian oleh Noval, Rezi maupun Robin. Bahkan yang luput dari perhatianku selama aku ‘pingsan’ dan, akting hebatku ini tidak mereka ketahui.
Rio hanya memberikan senyum, sedikit pertanyaan, dan aku tahu ini dia lakukan agar tiga adik-adiknya ini bisa mengeluarkan pendapat mereka dengan bebas, dan berdasarkan kebenaran yang mereka alami.
“Seorang kakak yang bijak.” Pujiku dalam hati.
Saat semua orang terdiam, ada suara auman harimau lagi dari dalam hutan. Seketika semua terdiam.
“Nah, benarkan?” Ucap Rezi bersemangat!
Selain aku, semua mata memandang pada Rio. Dengan ekor mataku, aku melihat pemuda yang tinggi kurus dan berkulit putih ini, pura-pura terkejut.
“Pandai juga dia berakting… ” Aku menggumam dalam hati.
“Puyang itu tadi sedang menjaga ‘tempat sirih’ mereka.”
Rio membuka pembicaraan. Aku menduga dia akan menceritakan hasil pembicaraan ‘mereka berdua’ tadi.
Wajah-wajah di sekelilingku nampak bingung dan menunggu penjelasan lebih lanjut dari bibir Rio. Rio membuat jeda dari penjelasannya. Memancing ketertarikan adik-adiknya.
“Tapi tidak ada tempat sirih di situ tadi, dang… “
Robin menyanggah. Disambut dengan anggukan oleh yang lain.
“Bunga Rafflesia itu adalah tempat sirih para puyang. Yang menyerang kalian tadi adalah yang sedang bertugas menjaga tempat sirih mereka. Puyang takut kalian akan merusak yang sedang dia jaga.”
Rio menghentikan kalimat-kalimatnya. Kami menunggu penjelasan lebih lanjut.
“Puyang tadi sempat marah karena mewakili para puyang terhadap orang-orang yang telah merusak hutan tempat tumbuhnya Rafflesia, juga sebagai tempat mereka tinggal. Apa lagi beberapa waktu yang lalu, ada yang sengaja merusak bakalan Rafflesia, juga memotong akar sebagai tempat Rafflesia menumpang tumbuh.”
“Dari mana, dirhi tau?” Noval tidak yakin dengan yang disampaikan oleh Rio.
“Makanya baca buku, atau tanya mbah gugel, kuota jangan cuma dipakai untuk main game… ” Jawab Rio sambil mengacak-acak rambut Noval dan Rezi yang ada di kiri kanannya.
Kami mengangguk-angguk. Sedikit demi sedikit mulai paham tentang Rafflesia secara cerita kearifan lokal.
Malam hari di kamar Martin. Tidak lama setelah mandi dan berpakaian. Ketika akan menyeruput kopi, sebuah salam dan diikuti oleh tubuh milik Rezi muncul. Remaja inipun sudah mandi. Kelihatan lebih segar dan semakin gagah.
“Abang sudah mandi?” Pertanyaan sebagai pembuka obrolan.
“Sudah.” Jawabku singkat kemudian melanjutkan menyeruput kopi yang sempat tertunda.
Obrolan semakin seru setelah kemunculan Noval dan Robin. Bercerita tentang kejadian sore tadi.
“Lemparan aku tadi tepat mengenai kepalanya.” Dengan nada bangga Rezi menepuk dadanya.
“Sama, aku yang pertamakali melempar, yang menyebabkan dia melepaskan gigitannya.” Sambut Noval.
“Halah, yang kalian belum seberapa, lemparan kayu dari tanganku, membuat dia terduduk.” Robin tidak mau kalah.
“Tapi siapa yang kencing dalam celana lebih dulu?”
Pertanyaan Frisko sontak membuat Robin terdiam dan manyun. Disambut tawa oleh yang lain.
“Sudah, kita semua juga terkencing… ” Martin menyelamatkan suasana, langsung disambut oleh ketawa riuh.
“Ayo kumpulkan video masing-masing. Setelah itu kita bikin video utuh.”
Frisko sudah tidak tahan lagi mau membuat video utuh dari perjalanan kami sore tadi.
Maka, obrolan berganti dengan diskusi terhadap materi dari tiga sumber, mana yang akan terbaik masuk dalam calon untuk diedit.
Malam yang semakin membahagiakan aku. Karena satu persatu muncul Rio, Ricky, Jorghy, Sandi, Meldhan, dan paling terakhir Revan, karena dia baru saja selesai kerja.
Minus Andes, karena dia harus menyelesaikan bagian akhir kuliahnya.
Makin malam, makin seru obrolan.
Dari kamar belakang dang Jas, ada suara rebab yang menyayat. Membuat semua yang ada di kamar depan ini terdiam. Hening, lalu sambil berpandangan, terutama enam harimau muda.
Aku tahu arti pandangan itu. Aku malah cemas.
Sementara empat orang yang lagi mengedit video hanya tertegun sejenak, lalu melanjutkan pekerjaan mereka.
Alunan menyayat jiwa semakin menggenggam erat hati. Bagai di rema-remas. Suara mengandung magis oleh ketukan tangan kekar dang Jas menguasai hati kami yang pernah mengalami peristiwa di pondok sawah Meldhan.
Ada suara redap lain yang menyambut. Entah dari mana. Kemudian ada lagi yang lain. Semakin lama semakin banyak. Akhirnya memenuhi seluruh sudut desa.
Sholawat dan puji-pujian kepada yang maha Akbar, menyelinap, mengiringi alunan melodi redap dari para seniman desa ini.
Luar biasa. Selama hidup aku belum pernah menyaksikan saudara-saudara dari suku Serawai memainkan secara lengkap alat musik tradisional ini. Suara-suara yang ditimbulkan bukan dengan irama penyambutan seorang pengantin, tapi irama yang tenang. Rasanya aku akan tertidur mendengar lantunan pujian-pujian pada sang Pencipta.
Ragu aku menatap pada para harimau, berharap ada yang akan menjelaskan. Sepertinya, kembali akan sia-sia.
Hoaammm… Aku semakin ngantuk.