Byuto Bab 4 : Harimau Penjaga

Foto Oleh SLE Bagus
Foto Oleh SLE Bagus

Oleh: Bagus SLE

Dang Din mengajak aku keluar dari Goa lokasi aku ditinggalkan oleh Rival dan Diaz. Tempat di mana aku mendapat pelajaran banyak tentang redap. Tentang teknik membuat alat musik tradisional masyarakat Serawai dan Bengkulu pada umumnya. Kulit kambing betina muda adalah sebagai penimbul bunyi yang paling indah untuk sebuah redap.

Malam tadi lewat tanpa ada hal yang mencemaskan seperti dua malam berturut-turut sebelumnya.

Belum ada tanda-tanda kehadiran ketujuh harimau muda, ataupun salah satunya. Hingga tengah hari saat ini, aku masih bisa menikmati hari-hari dengan tenang dan damai di desa ini.

Ketika aku lagi menikmati kesendirian di rumah dang Din seorang remaja berkumis tipis, sekitar tujuh belas tahun, ragu-ragu masuk kamar di mana aku berada.

“Boleh saya masuk, bang…?”
“Oh, silahkan… Ayo masuk… “

Dengan sopan dia menyalami dan menyebutkan namanya.

“Norman bang… ” Dia menyebutkan namanya, lalu duduk di sampingku di atas tempat tidur.

“Apa nih, yang bisa abang bantu?” Pertanyaan pembuka yang salah menurutku, kesannya dia mencariku karena ada kepentingan. Padahal aku di desa ini hanyalah tamu, dan hanya beberapa hari saja.

“Tidak ada, bang, cuma mau ngobrol saja sama abang… “

Jawabnya sopan dan membuat aku malu. Siapa tahu dia ke sini hanya mau menemaniku?

“Siap! Norman tinggal di mana?” Sambil memperhatikan wajahnya, apakah aku pernah melihat dia sebelumnya atau tidak?

“Saya tinggal di depan, bang. Dari tadi memperhatikan abang, tapi baru berani sekarang.”

Tetangga dekat dang Din rupanya.

“Kenapa ragu?” Aku penasaran.

“Selama ini, abang cuma bergaul sama kakak-kakak di atas kami. Kami takut abang tidak mau akrab dengan kami.”

“Ajak saja teman-temanmu ke sini. …”

Aku ambil kesimpulan kata ‘kami’ adalah Norman dan teman-temannya.

“Benar, bang?” Norman memastikan kalimat yang dia dengar.

“Iya!” Jawabku mantap.

Tanpa pamit remaja yang bertubuh sedang ini segera bangkit dan segera menuju rumah di seberang jalan. Tidak lama kemudian, dua remaja seumuran Norman keluar dan beberapa detik kemudian satu persatu masuk dan menyalami.

“Bintang, bang… ” Remaja kurus tinggi pertama kali menyalami dan langsung mencari tempat duduk di tempat tidur Madan, anaknya dang Din.

“Reza…. ” Yang berkumis dan bertubuh agak kekar dengan tinggi hampir sama Norman masuk kemudian dan mengambil tempat persis di sampingku.

Tidak makan waktu lama, keakraban menguasai obrolan kami. Intinya mereka ingin juga ngobrol dan berbicara tentang pemikiran seusia mereka.

Norman, Reza dan Bintang lebih tertarik dengan dunia fotografi dan videografi, dan hasilnya memang aku kagum untuk ukuran anak pedalaman.

“Bang, kita main ke hutan yuk… “

Godaan. Ini benar-benar godaan bagiku. Kalau tujuh harimau muda, mungkin aku akan langsung mengiyakan. Tapi ini tiga anak remaja? Kalau terjadi apa-apa denganku di hutan, bagaimana?

“Sebentar, abang pikir dulu.”

Yang aku pikirkan adalah, aku sudah hari keempat di sini. Sudah melewati dua hari dari jadwal. Bagaimana dengan kegiatanku yang lain?

Wajah-wajah muda memperhatikan wajahku. Menunggu jawaban.

“Oke, baiklah. Ayo kita berangkat!”

Bersama tiga remaja yang baru aku kenal disertai oleh Madan dan Fris dua pemuda yang sudah akrab denganku.

Maka aku menyusuri beberapa jalan kampung dan melewati jembatan gantung. Derik-derik baja dan besi pada jembatan yang berlantai kayu yang sebagian sudah lepas membuat rasa yang membuat ngilu pada tulang.

Tiga remaja tadi membuat vlog, walau sempat terganggu oleh seorang ibu yang menanyakan sesuatu. Ada keseruan yang membahagiakan pada awal perjalanan ini.

Di ujung jembatan menyambut bentangan sawah yang luas dan sebuah bukit sebagai latar belakang menjadi titik fokus yang membuat panorama di depan kami sangat indah.

Melangkah cepat agar segera menuju ‘obat penenang’ bagiku ini. Ingin segera meneguk utuh keindahan yang menggodaku.

Sambil melangkah aku sempat berpaling ke belakang. Bintang dan Norman juga Fris mengambil gambarku dengan hand phone di tangan mereka. Sementara Reza melangkah mendahului di depanku.

Aku merasa jadi bintang. Bagai bintang kawakan dan sedang bekerja dengan orang-orang profesional, kadang-kadang aku harus mengikuti arahan mereka yang mengambil gambarku dari berbagai sudut. Entah siapa sutradaranya, dan entah siapa juga penulis script dari perjalanan ini.

Tidak tahu sudah berapa materi video yang telah mereka ambil, hingga kami sampai pada pinggir hutan, dan ada jalan setapak menuju bukit yang lembab karena pohon-pohon yang tinggi dan besar.

“Abang harus lihat yang kami punya di pertengahan punggung bukit di atas…” Bintang membuat aku penasaran.

Semua wajah tiga remaja ini sangat semangat menyampaikan kalimat ini.

Aku penasaran.

“Ayo, bang. Hati-hati, jalannya licin dan banyak daun jelatang.”

Jelatang adalah tumbuhan yang bisa membuat kulit sangat gatal dan panas, hingga berhari-hari.

Jelas Norman sambil melangkah mendahuluiku. Aku melangkah di belakangnya diikuti oleh yang lain. Sementara itu, Reza mendahului kami dan Bintang berada paling belakang. Mengambil setiap adegan dalam menapaki bukit, menuju tempat yang pasti sangat menarik bagiku.

Di balik rimbunan pohon bambu dan di dekat akar sebatang pohon, aku melihat sekuntum bunga yang selalu membuat aku takjub. Rafflesia mekar dengan sempurna. Dengan merah khas beserta totol-totol khas kembang langka tersebut, aku memperkirakan maskot provinsi Bengkulu ini baru dua hari mekar. Terlihat masih segar. Ada beberapa ekor lalat beterbangan di atas kelopaknya.

Saat menikmati pesona yang ada di depan mata, tiba-tiba aku merasakan bulu kudukku meremang. Perasaanku mengatakan ada sepasang mata memperhatikan kami sejak tadi. Tapi di mana?

Aku abaikan perasaanku. Bagai reporter yang sangat pengalaman, aku memerankan peran tersebut di depan tiga kamera dari tiga remaja berbakat milik desa ini.

Ada dengusan dari binatang besar ketika tanganku dekat dengan bunga tersebut. Aku rasa kami mendengar itu, karena beberapa detik kami sempat tertegun. Tapi hanya sesaat. Saat berikutnya kami sibuk lagi.

Tiba-tiba sebuah lompatan dari balik pohon bambu mengejutkan kami. Seekor Harimau belang muncul di hadapan. Sikapnya mengancam. Mulut besarnya menyeringai memperlihatkan giginya yang tajam.

Kami tertegun. Tidak bisa bergerak sama sekali. Gemetar dan ketakutan. Mata tajamnya menatap tepat ke mataku.

Ketika kesadaran menguasaiku, perlahan aku menjauhi bunga rafflesia, takut nanti pergerakan kami akan merusak kekayaan alam ini, diikuti oleh semua yang bersamaku, kecuali Reza. Dia benar-benar terpaku. Gemetaran dengan kamera hand phone mengarah ke harimau belang yang ada di depan kami.

Merasakan aura yang ditimbulkan, ini bukan dari salah satu anggota empat harimau belang muda yang sering bersamaku. Mata tajam dan buas itu terus mengarahkan matanya ke arahku. Memperhatikan setiap gerakanku.

Grrrrrhhhh… Diiringi satu loncatan mengarah ke arahku. Detik berikutnya aku sudah tersungkur dan berguling-guling di lereng tebing. Tersangkut di salah satu akar. Tanpa sengaja tanganku mencengkeram sebuah bulatan. Oh bonggol rafflesia sedikit lebih besar dari bola bekel, telah menjadi pegangan dan mencegah aku melorot lebih jauh lagi ke bawah.

Harimau tersebut menahan serangannya ke arahku. Masih dalam posisi bergelantungan, aku memperhatikan semua orang bersamaku berharap pertolongan. Tidak ada yang bisa diharapkan. Mereka tidak mampu bergerak sedikitpun, malah ada yang terduduk.

Takut bonggol ini tidak bisa menahanku lebih lama, tangan kananku yang masih bebas, meraih akar lain. Setelahnya memindahkan tangan yang mencengkeram bakalan bunga Rafflesia.

Tindakan yang salah. Ketika tanganku melepaskan pegangan awal tersebut, si harimau malah kembali menyerangku. Walau tidak melukai, tamparannya ke kepala ku membuat aku jatuh dengan kecepatan lebih cepat dari grafitasi biasa.

Harimau belang besar dan kokoh ini mengiringi kecepatan luncurku. Oh Tuhan, dia mendahului sampai ke dasar tebing dan menunggu pendaratanku di depannya.

Melihat ini aku berusaha mencari-cari pegangan. Sial! Semua yang aku pegang tidak dapat menahan kejatuhan tubuhku, dan, bluk! Mendarat tepat di antara dua kaki depan dan di bawah hidung si harimau. Aku tak sanggup melihat semua ini.

Entah dapat ide dari mana, aku ingin pura-pura mati, atau pingsan dan aku memutuskan untuk pura-pura pingsan saja.

Entah bingung, entah apa. Aku merasakan perubahan pada dengusan dari hidung pemangsa hebat ini. Beberapa saat kemudian aku merasakan ada sentuhan di tubuhku. Awalnya sekali, lalu dua kali.

Aku teringat dengan kucing peliharaanku di rumah. Cara mereka memperlakukan mangsa buruan yang baru saja mereka dapatkan. Sebelum di makan, mangsa tersebut akan dipermainkan lebih dulu. Jika buruan kembali bergerak, permainan akan lebih seru lagi.

Aku bergidik dan tidak ingin jadi bahan permainan tersebut. Maka aku putuskan untuk pingsan lebih lama.

Sentuhan dan cuilan kedua kaki depan harimau yang menguasai tubuhku saat ini aku rasakan berhenti. Lama aku menunggu untuk di’goda’ lagi.

Pelan-pelan aku membuka mataku, tapi segera memejamkan kembali ketika samar-samar bayangan kepala si raja hutan ini tepat di atas wajahku. Ada tetesan liur jatuh tepat di depan hidungku. Hampir saja aku bereaksi ketika aroma liur tersebut pelan masuk ke indera penciumanku.

Aku rasakan hawa panas dari hidung menerpa wajahku. Semakin lama semakin dekat. Ada lidah menjilati leherku. Dan pelan-pelan aku rasakan mulut itu membuka dan akan menggigit leherku.

Buk! Ada sesuatu mengenai tubuh harimau yang akan segera merobek leher kecilku. Buk! Buk! Entah berapa kali suara tersebut mengenai tubuh si harimau, dan suara itu telah menghentikan hasrat pemilik mulut yang masih menempel di leherku, dan menghentikan niatnya. Andai saja gangguan-gangguan itu membuat dia emosi, maka hanya sedikit menekan, giginya akan menembus kulit dan menancap dalam di kerongkonganku.

BACA JUGA:  Tiga Laki-Laki

Ada suara teriakan-teriakan dari atas.

“Hus! Hus! Hus…!” Bergantian suara-suara orang-orang yang masih di atas bukit sana berusaha mengusir kucing besar. Dengan sedikit membuka mata, aku ketahui si harimau sedang duduk di sampingku. Sekali-kali kibasan ekornya mengenai wajahku, dan salah satu kaki depannya menyentuh tanganku.

Aku berfikir, dia mempermainkan aku. Kembali aku merasakan aku diremehkan. Kemaren-kemaren aku diremehkan oleh tujuh harimau muda setiap aku menanyakan sesuatu. Kemaren nya lagi aku diremehkan oleh si Caping berkapak di dalam goa.

Aku geram dan berusaha bangkit untuk melawan. Baru saja ingin bergerak, satu kaki menginjak dadaku dan langsung menghentikan niatku. Sangat berat, padahal hanya satu kaki saja.

Lebih baik kembali pingsan saja lagi.

Ada angin aku rasakan. Aku mengingat-ingat, angin ini milik siapa? Oh iya, ini angin pertanda kehadiran Igo. Salah seorang, (atau salah seekor?) dari empat harimau belang, anggota tujuh harimau muda.

Aku menunggu apa yang terjadi selanjutnya. Pasti ada pertarungan seru dalam memperebutkan aku. Yang satu ingin memangsa, dan satu lagi ingin menyelamatkan.

Lama menunggu. Tidak ada auman atau dengusan marah pertanda pertempuran. Hanya ada dengusan kecil, auman-auman pendek, kadang suara yang tidak jelas bagiku.

Apa yang terjadi? Aku buka mataku. Igo malah duduk di samping si pengancam. Kadang-kadang mereka menyeringai. Apakah itu bentuk senyum atau mereka sedang tertawa? Apakah sekarang mereka sedang berkomunikasi dan topiknya adalah aku?

Belum lagi aku menemukan jawaban, kaki di atas dadaku melepaskan injakannya. Sekarang aku bisa bernafas dengan bebas.

Dua harimau itu melangkah meninggalkan aku menaiki bukit dengan beberapa loncatan. Masih berbaring aku menyaksikan yang mereka lakukan.

Ketika dua harimau belang yang berbeda genre ini ke atas, membuat tiga remaja dan dua pemuda berhamburan menyelamatkan diri masing-masing dan akhirnya berkumpul bersamaku.

Dari bawah kami melihat dua harimau itu menuju dan mengitari bunga Rafflesia. Lalu duduk berdampingan bagai dua orang teman.

Reza masih memegang kamera dalam posisi mengambil gambar. Diikuti oleh Norman dan Bintang. Sementara Madan dan Fris duduk. Masih gemetaran.

Aku menebak-nebak apa yang harimau-harimau di atas itu bicarakan. Apakah mereka sedang merumpikan aku? Aku ge-er hehe

Dua teman di atas itu sepertinya bercakap-cakap yang pasti kami di bawah sini tidak ingin meninggalkan tempat ini, terutama aku, karena aku tahu salah satu dari tubuh belang-belang itu adalah Igo

Apakah lima orang di sampingku tahu? Aku belum tahu pasti, apakah penduduk desa sudah tahu kalau desa mereka menyimpan tujuh manusia harimau?

Melihat gelagat Madan dan lainnya, aku rasakan mereka belum tahu sama sekali. Atau mereka pura-pura tidak tahu? Aku harus mencari jawabannya selepas dari hutan ini.

Dua harimau itu lalu melangkah ke hutan lebih dalam. Dan tidak muncul lagi.

Dari arah jalan kami datang tadi, muncul Igo sebagai manusia. Bercelana pendek, khas penampilannya dan menghisap sebatang rokok. Tidak ada tanda-tanda kalau dia tadi sudah berada di sini dan telah membuat harimau yang memburu aku melupakan buruannya.

Begitu melihat kedatangan Igo Norman yang ekspresif segera mendatangi pemuda bersendal jepit itu dan menceritakan dengan seru atas peristiwa yang membuat dia terkencing dalam celana.

“Sayang dirhi terlambat. Lebih cepat sekitar sepuluh menit tadi, dirhi pasti ketemu dengan apa yang kami temui.”

‘Dirhi’ dengan pengucapan penekanan pada lafal ‘r’ dalam bahasa Inggris, adalah kata ganti halus bagi kata ‘anda atau kamu’ Digunakan dalam bahasa sehari-hari, baik kepada teman sebaya ataupun kepada orang yang lebih dihormati.

Bunga Rafflesia Arnoldi Foto Oleh SLE Bagus
Bunga Rafflesia Arnoldi Foto Oleh SLE Bagus

Norman membuka ceritanya dengan bersemangat.

“Memang apa yang kalian temui?”

Pertanyaan yang pura-pura menurutku.

“Puyang, dang! Dua ekor sekaligus! Awalnya satu ekor!”

Bagi masyarakat kampung dan pegunungan, ada larangan secara tidak tertulis, agar mereka tidak menggunakan kata ‘harimau’ secara langsung, lebih baik menyebut dengan kata ganti nenek, atau puyang, untuk menghindari bala menimpa mereka baik di hutan ataupun lingkungan. Celaka yang disebabkan kemarahan si nenek, karena ketidaksopanan mereka terhadap penguasa hutan tersebut.

“Oh iya?” Lagi-lagi pura-pura. Aku tersenyum tipis.

Igo hanya tersenyum dan menanggapi dengan kalimat-kalimat pendek. Lalu duduk di sampingku sambil mendengarkan tiga remaja ini menceritakan perasaan masing-masing. Sementara Madan dan Fris lebih banyak mengiyakan dan menanggapi dengan anggukan-anggukan.

Menyaksikan keseruan-keseruan mereka bercerita, akhirnya aku tahu kalau semua remaja dan dua pemuda ini mengalami hal yang sama, terkencing dalam celana.

“Hmmm… Ada bahan candaan nih, untuk menggoda mereka… ” Bisikku dalam hati, hehe

Peristiwa yang sangat detail tentang aku diceritakan bergantian oleh Norman, Reza maupun Bintang. Bahkan yang luput dari perhatianku selama aku ‘pingsan’ dan akting hebatku ini tidak mereka ketahui.

Igo hanya memberikan senyum, sedikit pertanyaan, dan aku tahu ini dia lakukan agar tiga adik-adiknya ini bisa mengeluarkan pendapat mereka dengan bebas, dan berdasarkan kebenaran yang mereka alami.

“Seorang kakak yang bijak.” Pujiku dalam hati.

Saat semua orang terdiam, ada suara auman harimau lagi dari dalam hutan. Seketika semua terdiam.

“Nah, benarkan?” Ucap Reza bersemangat!

Selain aku, semua mata memandang pada Igo. Dengan ekor mataku, aku melihat pemuda yang tinggi kurus dan berkulit putih ini, pura-pura terkejut.

“Pandai juga dia berakting… ” Aku menggumam dalam hati.

“Puyang itu tadi sedang menjaga ‘tempat sirih’ mereka.”

Dia membuka pembicaraan. Aku menduga dia akan menceritakan hasil pembicaraan ‘mereka berdua’ tadi.

Wajah-wajah di sekelilingku nampak bingung dan menunggu penjelasan lebih lanjut dari bibir Igo. Dia membuat jeda dari penjelasannya, memancing ketertarikan adik-adiknya.

“Tapi tidak ada tempat sirih di situ tadi, dang… “

Bintang menyanggah. Disambut dengan anggukan oleh yang lain.

“Bunga Rafflesia itu adalah tempat sirih para puyang, yang menyerang kalian tadi adalah yang sedang bertugas menjaga tempat sirih mereka. Puyang takut kalian akan merusak yang sedang dia jaga.”

Dia menghentikan kalimat-kalimatnya. Kami menunggu penjelasan lebih lanjut.

“Puyang tadi sempat marah karena mewakili para puyang terhadap orang-orang yang telah merusak hutan tempat tumbuhnya Rafflesia, juga sebagai tempat mereka tinggal. Apa lagi beberapa waktu yang lalu, ada yang sengaja merusak bakalan Rafflesia, juga memotong akar sebagai tempat Rafflesia menumpang tumbuh.”

“Dari mana, dirhi tau?” Norman tidak yakin dengan yang disampaikan oleh Lintang.

“Makanya baca buku, atau tanya mbah gugel, kuota jangan cuma dipakai untuk main game… ” Jawabnya sambil mengacak-acak rambut Norman dan Reza yang ada di kiri kanannya.

Kami mengangguk-angguk. Sedikit demi sedikit mulai paham tentang Rafflesia secara cerita kearifan lokal.

Malam hari di kamar Madan tidak lama setelah mandi dan berpakaian. Ketika akan menyeruput kopi, sebuah salam dan diikuti oleh tubuh milik Reza muncul. Remaja inipun sudah mandi. Kelihatan lebih segar dan semakin gagah.

“Abang sudah mandi?” Pertanyaan sebagai pembuka obrolan.

“Sudah.” Jawabku singkat kemudian melanjutkan menyeruput kopi yang sempat tertunda.

Obrolan semakin seru setelah kemunculan Norman dan Bintang. Bercerita tentang kejadian sore tadi.

“Lemparan aku tadi tepat mengenai kepalanya.” Dengan nada bangga Reza menepuk dadanya.

“Sama, aku yang pertamakali melempar, yang menyebabkan dia melepaskan gigitannya.” Sambut Norman.

“Halah, yang kalian belum seberapa, lemparan kayu dari tanganku, membuat dia terduduk.” Bintang tidak mau kalah.

“Tapi siapa yang kencing dalam celana lebih dulu?”

Pertanyaan Fris sontak membuat Bintang terdiam dan manyun. Disambut tawa oleh yang lain.

“Sudah, kita semua juga terkencing… ” Madan menyelamatkan suasana, langsung disambut oleh ketawa riuh.

“Ayo kumpulkan video masing-masing. Setelah itu kita bikin video utuh.”

Fris sudah tidak tahan lagi mau membuat video utuh dari perjalanan kami sore tadi.

Maka, obrolan berganti dengan diskusi terhadap materi dari tiga sumber, mana yang akan terbaik masuk dalam calon untuk diedit.

Malam yang semakin membahagiakan aku. Karena satu persatu muncul lima harimau muda dan paling terakhir Rival, karena dia baru saja selesai kerja.

Minus si mahasiswa yang harus menyelesaikan bagian akhir kuliahnya.

Makin malam, makin seru obrolan.

Dari kamar belakang dang Din ada suara redap yang menyayat. Membuat semua yang ada di kamar depan ini terdiam. Hening, lalu sambil berpandangan, terutama enam harimau muda.

Aku tahu arti pandangan itu. Aku malah cemas.

Sementara empat orang yang lagi mengedit video hanya tertegun sejenak, lalu melanjutkan pekerjaan mereka.

Alunan menyayat jiwa semakin menggenggam erat hati. Bagai di remas-remas. Suara mengandung magis oleh ketukan tangan kekar dang Din menguasai hati kami yang pernah mengalami peristiwa di pondok sawah Aldhan .

Ada suara redap lain yang menyambut. Entah dari mana. Kemudian ada lagi yang lain. Semakin lama semakin banyak. Akhirnya memenuhi seluruh sudut desa.

Sholawat dan puji-pujian kepada yang maha Akbar, menyelinap, mengiringi alunan melodi redap dari para seniman desa ini.

Luar biasa. Selama hidup aku belum pernah menyaksikan suku Serawai memainkan secara lengkap alat musik tradisional ini. Suara-suara yang ditimbulkan bukan dengan irama penyambutan seorang pengantin, tapi irama yang tenang. Rasanya aku akan tertidur mendengar lantunan pujian-pujian pada sang Pencipta.

Ragu aku menatap pada para harimau, berharap ada yang akan menjelaskan. Sepertinya, kembali akan sia-sia.

Hoaammm… Aku semakin ngantuk.

Posting Terkait

Jangan Lewatkan