Byuto Bab 6: Kembali Pada Kehidupan Normal

Oleh: Bagus ( President Republik SLE)

“Kita berpisah di sini. Nanti kita bertemu di simpang Nakau.”

Tanpa menunggu jawaban, Roy dan Galang langsung melompat. Hilang di balik pepohonan.

Aku melongo, tidak paham dengan arah kalimat barusan.

Setelah makan siang di bawah pohon dekat air terjun tadi, tujuh harimau muda, langsung meninggalkan tempat tersebut. Rimba tetap mengambil peran sebagai pelindung. Di punggungnya yang nyaman, aku merasakan detak jantungnya berbeda dari biasa.

“Kamu sakit?” Aku mengkhawatirkan kondisi harimau putih dan tim yang telah beberapa kali menyelamatkan aku.

Tidak ada jawaban.

Sepanjang perjalanan aku merasakan perbedaan dari cara lari, detak jantung dan tarikan nafas pemuda ini lebih berat. Beberapa kali dia hampir terpeleset atau menabrak pohon. Dan beberapa kali juga terdengar tarikan nafas panjang. Situasi ini membuat kami jauh tertinggal.

Beberapa lama kemudian, kami sampai di hutan yang tidak terlalu lebat. Aku edarkan pandangan ke sekeliling. Sepertinya aku kenal kawasan ini. Ya, tidak salah lagi. Ini hutan sebagai habitat rafflesia, tidak jauh dari jalan raya. Fatur dan Lintang sudah menunggu. Sudah berwujud manusia.

“Mana Jo?” Tanyaku ketika tidak melihat harimau belang tersebut.

“Dia kembali ke desa, bang… ” Jawab Fatur, si harimau kumbang.

“Kenapa?”

“Ada urusan yang mendadak…” Kali ini Lintang, salah satu dari harimau belang, yang menjawab.

Aku tidak mengangguk. Karena tidak puas dengan jawaban tersebut.

Fatur melangkah ke balik semak-semak, diikuti oleh Rimba. Lalu kembali dengan motor yang jadi kendaraan mereka masing-masing. Lah, kapan kendaraan ini ada di sini?

Selanjutnya kami sudah menempuh jalan setapak menuju jalan raya. Dalam perjalanan ini juga aku merasakan perbedaan perilaku Rimba, pengendara motor CBR ini.

“Kami akan mengantar abang pulang.”

Kalimat Rimba membuat aku senang. Karena sudah beberapa hari tertunda.

“Bagaimana dengan pakaian abang?”

“Tenang, sudah ada bersama kita.”

“Tapi abang belum pamit dengan Jo dan keluarganya, juga dengan yang lain-lain… “

Aku khawatir jika keberangkatan dengan cara begini. Bukankah datang tampak muka, dan pulang harus tampak punggung?

“Jangan pikirkan, bang. Sudah kami urus semuanya.”

“Tapi tidak begini caranya….. “

“Bang, pasukan Byuto sudah masuk desa dan sudah menyebarkan virus. Kami harus menyelamatkan masyarakat desa dari amukan dan tipu daya mereka. Dan abang adalah tamu kami yang harus kami selamatkan.”

“Oh… ” Hanya itu yang keluar dari mulutku. Sekarang aku tahu jawaban dari perubahan sikap para harimau, terutama Rimba sepanjang perjalanan tadi.

Aku mengernyitkan dahi. Berfikir, jangan-jangan kehadiranku di desa mereka memicu kehadiran pasukan Byuto, atau Byuto itu sendiri?

Beberapa hari ini harimau-harimau ini selalu berjuang menyelamatkan aku dari pasukan yang dikirim Byuto untuk menyerangku.

Tapi apa salahku? Apa yang membuat Byuto menginginkan aku?

Kalau peristiwa di rumah sawah milik Roy beberapa hari yang lalu, karena si ratu jin menginginkan aku, karena aku keturunan Rindu Hati yang menolak cinta sang ratu.

Nah, Byuto? Apakah darahku merupakan darah yang sangat ingin dia nikmati? Apa istimewanya darahku?

“Tinggalkan abang di warung yang berwarna putih. Kebetulan ada urusan yang harus abang selesaikan di sana.”

Ketika ban motor menginjak jalan aspal, aku baru ingat sesuatu. Sesuatu yang harus aku selesaikan beberapa hari yang lalu.

“Tidak ke rumah?”

“Tidak… “

Selama di atas motor, aku berfikir, mungkin kepulangan Jo ada hubungannya dengan penjelasan Rimba tadi.

Tikungan demi tikungan kami lalui dengan kecepatan yang membutuhkan konsentrasi penuh. Hutan yang lebat di kiri dan kanan jalan, melindungi kami dari terik matahari sepanjang perjalanan ini. Hawa masih terasa sejuk.

Memasuki jalan dua jalur, mendekati tikungan terakhir sebelum lokasi yang di tuju, aku minta motor berwarna merah yang kami tunggangi untuk diperlahankan lajunya.

Fatur dan Lintang hampir saja melaju, kalau saja tidak diberi kode.

Di warung yang aku maksud, kami berhenti. Setelah menikmati mie dan teh untuk menghangatkan perut, tiga harimau ini pamit. Menuju tempat pertemuan yang ditentukan oleh Roy tadi, dan di tempat tersebut mereka sudah menunggu.

“Sebelum kalian berangkat, abang mau tanya sesuatu, boleh?”

Aku edarkan pandanganku ke wajah tiga pemuda yang ada di depanku. Mereka balas memandangku, dan menunggu.

“Apakah sebelum kedatangan abang, kalian sering melawan Byuto, atau pasukannya? Apakah sebelum kedatangan abang, pasukan Byuto pernah masuk ke desa?”

Selain saling berpandangan, tidak ada jawaban dari mereka. Selanjutnya, menuju kendaraan masing-masing, lalu pamit dan segera meninggalkan halaman parkir warung, di mana aku minta ditinggalkan.

Udara malam perbukitan di Liku Sembilan yang dingin membuat aku cepat mengantuk. Tapi bukan mengantuk yang tiba-tiba seperti beberapa hari yang lalu.

Entah di mana, kurang jelas bagiku. Aku melihat dua orang bayi yang sedang di pelukan seorang laki-laki, berumur kurang dari setahun. Bayi yang sebelah kiri selalu mengajak bayi yang di sebelah kanan bermain, tapi ini membuat si pemangku merasa terganggu lalu melemparkan si bayi ke dalam got yang hanya pas buat si bayi.

Si bayi tidak menangis, dan berusaha keluar dari lubang sempit itu, tapi dia tidak bisa bergerak. Aku menghampiri, ketika melihatku dia tersenyum. Segera aku raih dan mengeluarkan bayi periang ini, dan meletakkan pada tempat yang baik untuk dia bermain.

Seperti tidak terpengaruh oleh kejadian yang baru saja dia alami, bayi ini dengan riang menuju air dan bermain di situ. Ada dua orang perempuan berada tidak jauh dari situ memegang hand phone, dan mengarahkan pada si bayi. Mungkin mau mengabadikan tingkah lucu dan berani si bayi.

“Mana ibu si bayi?” Bisikku dalam hati. Aku sangat menghawatirkan keselamatan si bayi yang bermain air tersebut. Apa lagi tempat yang dia masuki sekarang sangat berbahaya bagi dirinya.

Benar dugaanku, aku melihat air mulai masuk hidung dan mulut si bayi yang bergerak-gerak seperti menggelepar minta tolong.

Aku edarkan pandangan pada pria yang melempar bayi tadi dan dua orang perempuan yang memegang hand phone. Mereka malah mengalihkan pandangan.

Aku segera melompat dan meraih bayi yang hampir tenggelam ini. Mukanya sudah sangat pucat. Dengan panik aku berusaha mengeluarkan air dengan menyedot hidungnya. Tidak ada yang keluar. Aku berusaha semakin keras. Tetap tidak ada air yang bisa aku hisap.

Sambil berfikir sejenak, layak atau tidak layak yang akan aku lakukan berikut ini. Tidak boleh lama, selanjutnya aku angkat kaki si bayi dan membiarkan kepalanya ke bawah. Air mengucur deras dari mulut, dan hidung. Lama menunggu, air semakin lama semakin berkurang. Ketika tinggal tetesan, si bayi terbatuk. Aku lega, lalu mendekap si bayi. Wajah putihnya mulai memerah. Perlahan dia menggerakkan wajahnya dan berusaha tersenyum dan memandang ke mataku. Ketika mata kami bertemu, aku terbangun.

“Oh, rupanya ini sebuah mimpi.. . “

Tubuhku berkeringat. Aneh… Belum pernah aku berkeringat sebelumnya ketika tidur di sini. Dan juga belum pernah bermimpi setiap kali aku menginap di cabang usahaku ini.

Aku kembali berusaha tidur, karena malam masih ternyata belum lagi jam tiga pagi.

Sudah dua hari, mimpi itu belum juga hilang dari ingatanku. Masih membayang setiap detil dari setiap kejadian, bagai mengalami dengan nyata. Biasanya, ketika bangun, aku sudah lupa dengan peristiwa dalam mimpi, walaupun sekuat apa aku mengingatnya.

Dari sekian banyak mimpi saat tidur yang aku alami, ada tiga yang masih melekat.

Pertama, saat mimpi basah pertama kali. Kedua saat aku masuk usia dewasa. Dalam mimpi tersebut, aku bersama dua orang sahabatku berenang dengan sangat riang dalam lumpur. Satu persatu setelah puas mereka mulai naik ke darat. Tapi aku masih terus berenang, hingga matahari mulai sedikit melewati atas kepala. Begitu keluar, aku menyusuri anak sungai yang sangat jernih. Sangat banyak ikan dalam air yang hanya semata kaki. Menabrak-nabrak kakiku, seolah-olah minta ditangkap. Tapi aku mengacuhkan mereka.

Yang ketiga, sekitar tujuh tahun lalu. Malam itu, sebelum aku tidur, aku marah pada Tuhan. Aku memaki Tuhan. Aku mengajak Tuhan duel. Cuma karena aku sudah tidak tahan lagi ketika orang-orang membicarakan tentang keluarga mereka.

Lelah menggugat Tuhan, aku tertidur, masih dalam keadaan berkeringat. Dalam tidur itu aku bermimpi, aku berada di dalam rumah yang nyaman dengan cat putih bersih. Di tangan kananku ada tangan mungil menggenggam dengan mesra. Tangan anakku yang masih berumur empat tahun. Sementara di belakang, berdiri perempuan soleh sebagai ibu dari anakku.

Di seberang sana, di seberang jalan, berdiri berjejer banyak orang berbagai usia dan berbagai kalangan. Memandang penuh harap, sementara aku hanya bisa memandang mereka tanpa bisa berbuat apapun kepada mereka.

Aku langsung terbangun dan segera mandi, lalu sholat dengan sujud yang sangat lama.

Aku ambil kesimpulan atas mimpi tersebut bahwa sang Pencipta menginginkan aku untuk bermanfaat bagi orang banyak, bukan hanya terhadap anak dan istriku.

“Itukah yang KAU inginkan padaku ya Allah? Ampuni aku atas ketidaktahuanku… “

Doaku berurai air mata, setelah sangat lama tidak pernah lagi bersujud di hadapan si pemilik kehidupan.

Mimpi dua hari yang lalu, apakah maksudnya?

Sambil menikmati, di teras warung…

“Sudah tiga bulan kita belum mengirimkan bantuan ke pesantren, saya merasa tidak enak pada pengelolanya, juga pada bapak…. “

Ibnu, pemegang merek usaha, terlihat sangat sedih.

“Tidak apa-apa pak, saya maklum. Kondisi sekarang memang tidak mendukung untuk kita. Yang paling penting adalah usaha ini bisa berjalan saja, itu sudah sangat bagus.

Untuk ke pesantren, nanti aku akan ke sana, menemui pengasuhnya. Mungkin kita akan ubah cara. Tidak lagi memberi bentuk ‘ikan’, tapi kita akan buatkan mereka ‘kolam’.”

BACA JUGA:  Rakornis Golkar Bengkulu, Target Kemenangan Pilkada 2020

“Dalam pikiran bapak saat ini, apa yang paling real, yang akan kita lakukan untuk anak-anak tersebut?”

Sangat kentara dalam kalimat di atas, bahwa Ibnu sangat merasa bersalah atas kondisi beberapa bulan ini.

“Yang paling cepat untuk menghasilkan uang adalah mengajarkan mereka sablon dan membuat kerajinan juga kuliner untuk merek produk mereka sendiri. Hasilnya langsung bisa mereka jual.

Berdasarkan pengalaman yang telah kita lakukan, kegiatan ini berhasil. Semoga untuk merekapun ke depannya nanti juga akan berhasil.”

Laki-laki yang sedang duduk di sisiku saat ini menggut-manggut. Ada rona lega dari wajahnya.

“Sebagai modal awal, Mudah-mudahan banyak kawan yang siap membantu.”

Kalimat barusan merupakan penghibur bagi diriku sendiri. Karena dalam kondisi usaha yang sangat kacau saat ini, rasanya sangat sulit jika tidak menyertakan kawan-kawan bisnis. Aku meyakini, mereka pasti akan senang terlibat dalam rencana ini.

Belum satu jam aku menyebarkan rencana ini dalam grup, sudah teratasi kendala yang disebutkan di atas. Alat dan bahan sablon akan disiapkan oleh rekan bisnisku yang ada di Bandung, kaos standar akan dikirim dari Jakarta sebanyak satu gros, berbagai ukuran dan warna. Sedangkan untuk bahan dan alat untuk souvenir toko buku terbesar di Bengkulu, akan mendrop seluruh kebutuhan.

Yang tidak kebagian penyediaan bahan baku, malah meminta nomor rekening dalam upaya membantu kegiatan ini. Aku terharu.

Aku merasa Tuhan selalu menyertai setiap rencana dan langkahku….

Udara pagi yang sangat cerah. Lembah yang ada di depan cabang usaha di pegunungan jalan lintas Kepahiang dan kota Bengkulu tampak sangat indah.

Wajah-wajah yang mondar-mandir menyusun barang-barang ke dalam salah satu mobil terlihat bersemangat.

Setelah selesai, tiga mobil berjalan beriringan, melintasi jalan-jalan yang di kiri dan kanan lembah dan bukit yang ditumbuhi pohon-pohon besar.

“Bang, berenti di depan rumah. Aku mau ikut.” Sebuah pesan muncul di HP Ibnu.

“Alex minta dijemput, pak!” Ibnu menyampaikan pesan tersebut kepadaku.

“Oke, bilang setengah jam lagi kita sampai depan rumahnya.”

Hingga di depan rumah Alex, perjalanan kami baik-baik saja. Lalu melanjutkan perjalanan menuju salah satu pesantren yang ada di kota Curup.

Jalanan yang ramai di hari Minggu membuat jalan kami tidak bisa berjalan dengan baik. Curup di akhir pekan adalah salah satu kota tujuan wisata masyarakat kota.

Di danau Mas, aku sarankan supir berhenti. Sekedar melepas penat punggung sesaat sambil menikmati panorama danau yang dikelilingi oleh perbukitan yang ditanami oleh sayur mayur.

Lima belas menit kemudian, rombongan kecil ini kembali beriringan menyusuri jalanan kota Curup yang sepanjang jalan bisa kita lihat masih ada satu-satu rumah adat tradisional yang masih kokoh, lengkap dengan ornamennya.

Di sebuah persimpangan jalan kecil yang cuma bisa di lalui oleh satu mobil, kendaraan kami belokkan.

“Mudah-mudahan tidak berpapasan dengan mobil lain… “

Aku khawatir, dan untungnya hingga masuk komplek pesantren, kami tidak bertemu dengan mobil yang ingin keluar menuju jalan raya.

Ketiga kendaraan kami, berhenti di halaman pesantren yang agak luas. Dua orang pengurus keluar dan menghampiri kami. Menyalami satu persatu.

Beberapa anak melongok, keluar dari koridor asrama mereka. Beberapa santri putra yang sudah mengenal aku, langsung menghampiri, menyalami dan mencium tangan.

Satu anak, berumur kira-kira empat tahun berlari-lari riang menuruni tangga.

“Hati-hati nak… ” Pengurus pesantren yang melihat ini langsung mengingatkan.

Anak ini langsung menghampiriku dan minta digendong… Oh Tuhan… Aku benar-benar bahagia melihat ini

“Biru rindu om… “

Dia langsung membisikkan kalimat itu setelah mencium pipiku, di atas gendonganku.

“Tadi Biru mandi sendiri. Pakai sabun dan sampo… “

Aku mencium rambut dan pipi anak yang diantar oleh ibunya seminggu setelah dilahirkan. Alasannya tidak sanggup memelihara sendirian karena sang bapak, saat itu baru sebatas pacar tidak mau bertanggung jawab.

“Oh, iya. Biru harum… “

Aku pandang mata beningnya. Ah, inikah kebahagiaan yang dirasakan oleh seorang ayah itu? Aku mendekap kepalanya di bahuku. Menuju mobil dan mencari-cari oleh-oleh yang sengaja aku beli khusus untuknya.

Dari ekor mataku, tidak sengaja aku melihat seorang anak perempuan yang berdiri di pintu asrama putri. Berumur sekitar lima tahunan. Aku perhatikan wajah dan tubuhnya. Rasanya aku belum pernah melihat dia sebelumnya.

“Baru seminggu, pak. Ketemu di depan gerbang. Sendirian. Katanya ditinggal oleh bibinya.”

Seorang anak laki-laki yang mengangkat barang-barang menjelaskan atas kebingunganku.

Pesantren ini memang banyak mendapatkan kasus seperti ini. Baik dari Curup ini sendiri maupun dari wilayah lain di sekitarnya.

Kemiskinanlah yang menjadi alasan hal itu banyak terjadi. Bahkan ada beberapa anak yang memang diserahkan oleh orang tuanya ke sini.

Aku menghampiri si anak perempuan. Aku tersenyum padanya, dan di balas dengan senyum yang amat manis. Kembali aku merasakan kebahagiaan yang tidak dapat aku artikan.

“Assalamu’alaikum cantik… Namanya siapa?”

Aku berjongkok di sampingnya. Sambil meletakkan Biru di sisiku.

“Cahaya… ” Pelan dan malu-malu, sambil berpaling dia menyebutkan namanya.

“Cahaya…. Hmmm… Nama yang cantik… “

Aku berusaha merangkul tubuh yang masih agak kucel ini, dan dia tidak menolak. Sekilas aku melihat ada kecemburuan dari mata Biru. Tidak ingin membiarkan perasaan itu lebih lama, aku gendong ke dua anak ini menuju pusat kegiatan. Sekedar memperhatikan kebahagiaan anak-anak.

“Trimakasih om… ” Tiga orang anak perempuan remaja menyampaikan kalimat ini begitu aku melewati mereka. Aku menoleh…

“Untuk apa?” Jawabku sambil tersenyum…

“Sudah mengunjungi kami lagi… ” Jawab salah satu yang lebih tua.

“Iya, maaf ya, om sudah lama tidak ke sini… “

“Iya om… Tidak apa-apa… “

“Kalian tidak ikut belajar?”

“Tidak om. Hari ini kami piket masak. Jadi mau masak dulu.”

Kali ini yang paling kecil menjawab bersemangat.

“Benarkah? Kalau gitu, pasti enak nanti makanannya. Tidak sabar om mau segera makan… ” Jawabku sekedar mencairkan suasana.

“Benarkah om?” Hampir berbarengan mereka mengeluarkan kalimat itu. Mata mereka berbinar, dan yang dari tadi hanya terdiam, sampai berkaca-kaca.

Aku terdiam sesaat, sebelum mengangguk mantap.

“Kami masak dulu ya om… Permisi… “
Melangkah riang sambil menenteng bahan-bahan yang sudah ada di tangan. Sepertinya tim bagian konsumsi sudah bergerak cepat.

Ketiganya setengah berlari, menuju dapur. Ketua pesantren ini sempat melihat dan mendengar obrolan kami, dan tersenyum ke arahku. Aku membalas senyum itu. Aku masih menggendong Biru dan Cahaya. Sedikit kerepotan dan agak berat, tapi aku tidak ingin meletakkan mereka.

Salah seorang santri pria, yang melihat kerepotan dan berat yang aku rasakan menghampiriku dan menawarkan diri untuk menggendong adik-adiknya.

“Tidak apa-apa…. ” Aku menolak niat baiknya.

Sementara rekan-rekan satu tim sibuk dengan tugas masing-masing, di antara mereka, aku lihat Alex yang paling muda, menjadi asisten Ibnu dalam menyampaikan materi tentang pengenalan bunga rafflesia pada anak-anak, pada sesi pembuka sebelum jam makan siang. Wajahnya mengandung kebahagiaan.

Biru dan Cahaya tidak mau jauh dariku ketika semua sudah melingkari tempat makan. Ada dua kelompok, santri dan santriwati. Makan bersama mereka, ada sudut hatiku selalu nyeri saat melihat mereka memakan yang sudah dijatah. Cukup tidak cukup. Tapi bagus juga, mereka jadi tertib. Tidak ada perebutan dan dahulu mendahului. Tergantung dari antrian mereka.

Setelah waktu isya, aku bersama Ibnu dan Alex, meninggalkan pesantren. Sementara yang lain, masih tinggal dalam waktu seminggu ke depan. Mereka akan menyampaikan materi pelatihan pada anak-anak yang selama ini hanya berharap kemurahan hati para donatur.

Langit mendung. Sekali-kali ada guruh terdengar. Gerimis mulai menyertai perjalanan begitu kami keluar ke jalan raya. Semakin lama semakin lebat.

Udara dingin kota Curup semakin dingin. Aku merasa ini bukan dingin yang di sebabkan oleh hujan dan AC mobil, tapi oleh hal lain.

Alex dan Ibnu membenahi jaket mereka, sementara supir meraih jaket yang ada di sandaran, dan langsung mengenakan.

Aku berusaha tenang dan pura-pura tidak terpengaruh oleh peningkatan suhu ini.

“Pak, tolong buka jendela sedikit saja. Saya mau merokok.”

Aku minta supir yang disambut oleh tatapan bingung dari tiga orang ini.

“Baik Pak.. “

Aku ambil sebatang rokok, dan menyerahkan pada yang lain. Maksudku adalah, agar mereka mengikutiku, dan mereka tidak menolak.

Udara masih tetap dingin. Tapi setidaknya aku sedikit merasa tenang. Jika udara dingin ini disebabkan oleh Byuto, maka selagi ada api, pasukannya tidak akan berani menyerang.

Memasuki perbatasan kota Kepahiang, hujan semakin lebat. Jalanan semakin gelap dan terasa sepi. Tidak ada kendaraan lain, baik di belakang maupun di depan kami. Warung-warung sepanjang perjalanan juga tidak menampakkan aktifitas. Semakin mencekam perjalanan ini.

Braaakkk…! Suara pohon patah, atau tumbang. Jatuh tepat di depan kami. Hampir saja menimpa mobil kalau saja supir tidak langsung membanting setir ke kiri. Dan mobil menghantam dinding bukit.

Alex yang ingin nginap di warung Ibnu segera keluar dan memeriksa mobil juga jalan sekitar.

“Kondisi mobil aman. Cuma lecet dikit.” Laporannya begitu masuk mobil. Aku angsuran handuk kecil, agar dia mengering tubuhnya yang basah oleh hujan yang masih deras.

“Tapi kita akan berdiam lama di sini hingga kayu besar di depan diangkat oleh mobil derek.”

Sambung pemuda ini sambil mengeringkan rambutnya.

Aku gusar, tapi berusaha menghalaunya dengan merokok. Di atas tebing, di antara cahaya kilat, aku melihat pantulan beberapa pasang mata.

“Hidupkan rokok, mari kita merokok bersama-sama… “

Aku tidak tahu seperti apa nada bicaraku, dan berusaha tenang.

Posting Terkait

Jangan Lewatkan