Byuto Bab 9: Perkelahian Dua Musuh Bebuyutan

Byuto Bab 9 Perkelahian Dua Musuh Bebuyutan

ie_majie

Aku baru saja ingin menikmati hangatnya kopi malam yang baru saja dihidangkan oleh karyawanku. Tanpa bisa dicegah ada kekuatan yang menguasaiku dan membawaku melangkah ke sudut ruang luas terbuka di lantai atas lalu meloncat ke atap. Aneh, sangat mudah dilakukan dengan hanya menggerakkan tangan.

Menyadari ini aku ngeri sendiri. Sempat melihat ke arah para karyawan, sepertinya mereka tidak menyadari hal yang aku alami. Aku ingin memanggil mereka, tapi tidak bisa.

Di atas atap, tanpa aku bisa lawan kedua lenganku yang mengembang bergerak naik turun membawa aku membubung tinggi. Tentu saja ada kegamangan jika seandainya aku jatuh.

Lah, mengapa tumbuh bulu di sekujur tubuhku? Dan kakiku bukan lagi kaki manusia, tapi kaki elang lengkap dengan cakar yang melengkung.

Aku juga melihat ada paruh melengkung di bagian wajahku.

Oh Tuhan… Aku berubah jadi elang! Apakah seperti situasi sekarang kondisiku waktu dilihat oleh Rival dan Jo ketika menyelamatkan mereka dari serangan pasukan Byuto?

Aku ingin berkaca, tapi di mana? Dari udara aku mengitari pandangan sekeliling kalau-kalau ada kaca yang bisa aku gunakan untuk melihat perubahan tubuhku. Untungnya tidak ada. Kalau ada aku pasti jadi elang genit yang sibuk berkaca hehe…

Jauh di depan ada bentangan air laut. Banyak ikan berenang di dalamnya. Hey, hebat, mataku bisa melihat jauh dengan jelas!

“Cihuy… Aku benar-benar jadi elang! Hahaha…!” Aku berteriak kegirangan.

Aku menerbangkan tubuhku dengan meniru berbagai gerakan yang aku lihat di tv ataupun YouTube, berbelok, meluncur ataupun pura-pura menyerang dan ternyata aku bisa….

“Hahahasyeeekkk….!”

Ide konyol muncul di otakku dan membuat aku tersenyum geli. Ikan-ikan di dalam laut jadi sasaran keisenganku.

“Tidak ada waktu untuk bermain-main!” Kalimat teguran itu membuat aku terkejut dan kehilangan keseimbangan sesaat dan membuat peluncuranku kacau.

Seekor ikan besar yang jadi target tentu saja lolos sebelum sempat aku cengkeram dengan kedua cakar tajam di kakiku.

Lagi-lagi aku dikuasai oleh kekuatan lain untuk melanjutkan jalur penerbangan yang aku tidak tahu arah koordinatnya.

Banyak pertanyaan yang cuma bergema di hatiku tentang kejadian barusan. Siapa yang menegur? Siapa yang menguasai aku? Dari pertanyaan dan jawaban yang aku simpulkan akhirnya dengan ragu aku memutuskan untuk bertanya langsung. Tapi pada siapa?

“Persetan dengan siapa, yang penting bertanya saja dulu…” Logika pada otakku masih bisa aku kuasai.

“Kamu siapa…?” Ragu aku bertanya.

Tidak ada jawaban. Aku menunggu-nunggu kalau-kalau ada jawaban dari sisi lain hati atau otakku….hehe…tapi lama menunggu tidak ada penjelasan dari hal yang aku tanyakan. Yang ada, kekuatan pada kepakan sayap semakin kuat dan daya terbangku semakin cepat. Padahal aku belum memutuskan sesuatu.

Nah, kan…ada yang menguasaiku? Saat ini aku melakukan sesuatu yang tidak aku ketahui.

Dari atas, oh ya, aku tidak tahu dari ketinggian berapa saat ini. Yang pasti aku bisa melihat jelas setiap objek yang terjangkau oleh mataku. Cahaya-cahaya lampu kota di bawahku semakin terang dan ternyata lebih indah dari yang dilihat selama ini dari puncak gunung Bungkuk.

Semakin lama semakin berkurang cahaya lampu-lampu di bawah. Dan aku simpulkan tentu aku (atau kami?) sudah memasuki wilayah luar kota atau desa.

Terlalu asyik menikmati objek dari pandangan berbagai arah, sekarang kami (atau aku?) meluncur cepat menuju laut yang bergelombang hebat oleh sesuatu.

Aku mengenal dengan baik tempat ini. Muara sungai Palik yang ada di desa Palik. Desa asal ibuku. Ada girang di hatiku. Sudah sangat lama aku tidak pulang untuk silaturahmi dengan sanak famili dari pihak ibuku.

Selagi berfikir begitu aku menyadari saat ini aku berada di antara moncong hiu putih dan buaya dalam ombak laut.

“Hentikan!” Eh, itu bukan suaraku. Suara ini persis seperti suara yang memerintahkan aku untuk tidak bermain-main tadi.

Suara dari mana? Jangan-jangan ada orang yang menunggangi punggungku dan aku tidak tidak menyadari? Reflek aku meraba tengkuk dan tidak ada apa-apa

Dua pasang mata marah memandang tepat ke mataku. Hanya sesaat. Detik berikutnya dua makhluk air lain habitat ini kembali saling serang. Akibatnya menimbulkan gelombang besar yang menyebabkan sungai Palik bergelombang hebat. Aku bergidik.

Dua moncong berbenturan lalu diikuti oleh kibasan ekor hiu yang akan menyerang pinggang buaya. Buaya mengelak dan kali ini dengan mulut terbuka lebar mengarah ke ekor tersebut. Dengan lincah si hiu bisa menghindar dari gigitan.

Buaya membalikkan arah dan memanfaatkan ekornya untuk menghantam sisi kanan lawan. Hiu kembali menghindar sekaligus akan menangkap ekor si buaya.

Hup! Dapat! Buaya di lemparkan ke udara. Ketika jatuh kembali ke air, kibasan ekor hiu telak menghantam dan melemparkan tubuh reptil tersebut menjauhiku.

Baru aku sadari kalau aku masih berada di air. Entah terpesona, entah terkejut, atau malah lupa diri akibat dari tontonan barusan.

Aku memutuskan untuk menyaksikan pertarungan dari udara saja.

Laut bergelombang besar kembali. Kali ini disebabkan oleh dua ekor lain bentuk bertemu. Suara beradu dua bagian keseimbangan dan pengarah arah dua mahkluk tersebut tertangkap jelas oleh telingaku.

“Waduh, jangan-jangan terdengar oleh warga sekitar…” Aku menghawatirkan pertarungan hebat ini yang aku belum ketahui sebabnya akan menjadi tontonan masyarakat yang berada di dalam desa. Dan jika ini terjadi, maka akan membahayakan baik bagi hiu ataupun buaya.

“Kalau masih belum bisa berhenti, jauhi muara. Perkelahian kalian akan menenggelamkan perahu-perahu anak cucu kalian!”

Kembali ada suara perintah dari dalam diriku. Tapi jelas itu bukan aku. Aku arahkan pandangan ke arah sungai. Benar saja, perahu-perahu bermotor milik nelayan yang terikat terombang-ambing hebat dan saling berbenturan. Hal ini bisa memecahkan lambung kapal atau malah memutuskan tali ikatan dari kapal-kapal tersebut.

“Sudah tua bangka masih juga suka berkelahi. Seperti masih muda saja….” Kali ini si pemilik perintah malah bersungut-sungut.

“Oh, mereka saling kenal rupanya…” Aku membatin.

Tunggu dulu, tadi ada kata ‘anak cucu’. Ada-ada saja. Ada hiu atau buaya butuh perahu….

Sepertinya hiu dan buaya mendengar perintahku (anggap saja begitu… hahaha) dan mereka berenang lebih jauh ke tengah laut sana.

Entah siapa yang memulai lebih dulu. Kembali air laut bergelombang. Kali ini lebih besar dari yang tadi-tadi.

Aku tidak mau kehilangan setiap momen pergerakan dua musuh bebuyutan ini. Dengan membelokkan sedikit sudut ekor, kepakan sayapku mengarah pada arena pertarungan.

Mata elangku menangkap gerakan ikan-kan kecil menjauh. Tentu saja mereka tidak ingin jadi korban dari perang ini.

Dari pertarungan itu kadang tubuh hiu yang besar itu terlempar jauh oleh sabetan ekor buaya. Kali lain tubuh buaya terlempar tinggi ke udara oleh lemparan moncong hiu.

Perkelahian seru yang sangat lama. Tidak ada tanda-tanda akan berhenti. Tidak ada juga gelagat salah satu dari mereka ada yang kalah.

Hiu melompat tinggi. Buaya melakukan hal yang sama. Dua mulut beradu di udara. Saling gigit dan saling banting. Hiu jatuh lebih dulu dan membawa buaya masuk ke dalam air.

Nampak jelas olehku kalau kedua tangan sang buaya berhasil membuat hiu melepaskan gigitannya dan ekor besar, panjang dan kuat malah mampu memukul hiu hingga membuat ikan ganas itu terlempar ke atas.

Byur! Kejatuhannya menimbulkan gelombang besar dan cipratan air ke atas bagai ledakan bom atom. Aku mengira inilah akhir peperangan antara penguasa air tawar melawan penguasa air asin.

Ada pusaran air yang sangat hebat dengan lingkaran yang semakin lama semakin besar. Jika saja ada kapal sebesar kapal fery, sudah sangat pasti akan tersedot ke dalamnya.

Rupanya hiu tersebut begitu jatuh langsung berenang mengelilingi buaya dan akan mengalahkan dengan pusaran air tersebut.

Menyadari situasi yang berbahaya yang akan mengakibatkan kekalahan, buaya mengibaskan ekornya ke kiri dan kanan dan membuat tubuh besar itu meluncur ke atas.

Dari desa terdengar suara ayam jantan berkokok. Kedua petarung itu berusaha menahan serangan.
Perlahan gelombang air mulai mengecil dan akhirnya laut kembali tenang.

Rupanya perang mereka sudah berhenti. Buru-buru aku menukik ke arah mereka. Mau melihat siapa yang memenangkan perkelahian.

Dua mahkluk mengambang di air. Posisi berhadapan. Dengus nafas depan hidung mereka menimbulkan gerakan air.

Aku hinggap di atas punggung hiu. Waduh, bahaya ini. Bisa-bisa aku diterkam oleh mulut besar dan bergigi tajam tersebut.

Aneh. Tidak seperti yang aku khawatirkan.

“Kali ini apa sebab perkelahian kalian?” Suara dari dalam diriku lagi yang aku dengar. Tapi, sumpah, bukan aku pelakunya!

“Cakarmu masuk ke kulitku.”

Siapa yang tidak kaget coba? Ada suara lain dan suara itu sumbernya dari mulut hiu? Gawat!

“Cengkeramkan saja lebih dalam!” Buaya di depanku mengeluarkan perintah. Tapi itu nadanya seperti bercanda.

Aku meraba keningku, tentu saja saat ini aku masih sebagai elang.

“Aku tidak demam…” Ucapku dalam hati. Aku mencoba mencubit pahaku, terasa sakit. Lalu menggigit lenganku. Malah menimbulkan goresan luka oleh paruh tajam melengkungku.

Artinya saat ini aku berada di dunia nyata. Aku sebagai elang berhadapan dan ngobrol dengan hiu putih yang besar dan seekor buaya yang juga besar.

Buaya ini adalah buaya terbesar yang pernah aku lihat secara langsung selama ini. Sebenarnya sih, aku ngeri-ngeri sedap berhadapan dengan moncong kuat dan gigi yang mampu memisahkan bagian tubuh mangsanya dengan mudah. Ups, bagian ujung ekor buaya ini terpotong. Oleh apa?

Cahaya redup bulan dan rasi gemintang dari langit menerpa air laut. Memantulkan cahaya keperakan. Aku sangat suka dengan situasi ini.

Tanpa aku sadari, aku sekarang telah berwujud seperti aku sebelum terbang tadi. Dan di depanku, di atas punggung buaya duduk seorang laki-laki berumur lebih dari enam puluh tahun. Badannya masih gagah. Tapi mengapa pada banyak tempat di kulitnya banyak bopeng-bopeng? Termasuk juga pada wajah?

BACA JUGA:  Apa Kebijakan Paling Krusial Gubernur Bengkulu Mencegah Stunting?

“Ini siapa, Ji?” Pertanyaan dari mulut hiu yang ditujukan pada kakek bergamis dan bersorban putih di atas punggung buaya.

“Itu Buyung. Anak Harta yang kamu selamatkan ketika perahunya terbalik di tengah laut.”

Nah, ada orang lain bersamaku di atas punggung hiu ini. Aku menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa selain aku. Lalu siapa Buyung yang dimaksud oleh kakek bopeng-bopeng ini? Aku? Masa aku yang selalu dipanggil oleh orang dengan panggilan ‘Abang’ lalu tiba-tiba dipanggil Buyung? Astaga, aku baru ingat panggilan tersebut adalah panggilan kesayangan dalam keluarga besarku.

Kurang ajar sekali aku ini…hihi..

Barusan orang yang dipanggil ‘Ji’ dengan jelas menyebut nama ayahku dan tahu salah satu episode dalam kehidupan orang tuaku yang sudah almarhum tersebut.

Kalimat keterangan dari bibir berkumis rapi itu menjelaskan situasi di masa aku berumur empat tahun.

Ayahku, Harta, adalah pelaut ulung, pergi bersama rekannya yang bernama Kayum membawa banyak karet ke kota Bengkulu. Saat pulang mereka membawa semen. Sayangnya dalam perjalanan pulang, perahu layar kecil mereka dihempas gelombang akibat hujan badai besar dan terbalik. Menurut cerita ayahku, saat itu posisi mereka sedang berada di laut Pondok Kelapa.

Ayahku terbawa arus menjauhi perahu yang terbalik. Sedangkan Way (demikian bahasa tuturku) Kayum dapat berpegangan pada cadik perahu.

Selama dua hari dua malam ayahku terombang-ambing oleh gelombang. Dan entah berada di mana.

Sedangkan rekannya sudah mendarat sehari setelah peristiwa tersebut dan membawa kabar ke desa kalau ayahku telah tenggelam.

Way Kayum yang berumur sedikit lebih muda dari ayahku telah mencari-cari keberadaan teman seperjuangannya sebelum memutuskan untuk membawa kabar duka tersebut.

Selagi aku mengenang kisah hebat dalam sejarah hidup ayahku, tiba-tiba saja hiu ini bergerak cepat dan tanganku memeluk sirip yang ada di belakang punggungku. Posisi ini menyulitkan aku.

Dia membawaku berenang mengelilingi buaya dan kakek bersorban. Tertawa dengan riang. Lah, kenapa bisa jadi begini?

Berkali-kali aku hampir jatuh. Dan setiap kali peganganku mau terlepas, si hiu mengubah gerakannya sehingga aku tidak jadi jatuh.

*Kamu tahu, Yung, begitu badai yang berhembus selama dua hari reda, Datuk menemukan ayahmu dalam keadaan antara sadar dan tidak mengambang di permukaan perairan laut Kerkap lalu Datuk menggendongnya di atas punggung dan membawanya ke laut Palik.”

Kalimat itu terhenti karena Datuk (akhirnya aku memanggil demikian) Hiu Putih menyelam. Tentu saja aku megap-megap. Menyadari hal ini Datuk kembali ke permukaan.

“Hahaha… Kamu lemah, Yung. Tidak seperti ayahmu.” Lalu dilanjutkan kembali dengan tawa riang.

Hiu ini berhasil mengejek aku. Dibandingkan dengan ayahku, fisikku jauh lebih lemah dari laki-laki idolaku di dunia nyata tersebut.

Satu hal yang bisa aku kalahkan tentang ayahku adalah aku lebih tampan dari beliau…hahaha…

“Datuk sangat bahagia hari ini. Datuk bisa membawa keturunan Harta di punggung tua ini.

Kamu tahu, Yung? Sepanjang perjalanan ayahmu selalu memanggil namamu ‘Yung….Buyung…’ baik secara sadar ataupun dalam igauan.”

Ada sendu di kalimat itu. Lalu dia berhenti tepat di samping buaya dan kakek bersorban.

Tiba-tiba aku ingin menangis. Aku tidak bisa menahan dan sesenggukan oleh besarnya cinta ayah padaku, anak lelaki satu-satunya.

Jujur, aku masih bingung. Ini nyata atau hayalan?

“Jangan bingung Yung. Kamu tidak menghayal. Saat ini kamu berada di antara para penguasa Palik.” Kakek bersorban rupanya tahu akan isi hatiku.

“Hiu itu adalah Hiu yang melindungi keturunan orang-orang Palik jika berada di laut. Dan buaya ekor terpotong ini adalah Buaya Kotong yang memerintah semua makhluk yang ada di Sungai Palik dan melindungi setiap keturunan orang Palik di sepanjang aliran sungai besar ini.”

Aku manggut-manggut. Sebagian aku pahami sebagian tidak. Cerita-cerita ini telah sering aku dengar dari orang tua-tua atau para kakek nenekku ketika aku kanak-kanak.

Aku berusaha mengingat. Sepanjang pengetahuanku. Memang belum pernah aku mendengar para pelaut Palik yang mati di laut ataupun yang hanyut di sungai Palik. Jikapun ada, itu bukan keturunan asli orang Palik.

“Maaf, lalu Datuk siapa?” Pertanyaanku aku tujukan pada kakek yang menggunakan pakaian serba putih.

Laki-laki tua ini diam sejenak lalu dengan sangat cepat berubah menjadi seekor elang yang sangat besar dan gagah. Dua sayapnya membentang lebar dan kibasannya menyebabkan angin yang sangat kencang. Air laut bercipratan oleh anginnya. Kaki dan kuku juga sangat kokoh. Paruh dan mata sangat indah. Aku terpesona.

“Itulah wujudmu, cung…” Buaya itu sepertinya menjelaskan kepadaku. Suaranya sangat berwibawa. Beda jauh dengan sikapnya yang suka berkelahi…

“Benarkah?” Tanpa mengubah pandangan dari elang yang mengangkasa.

“Dia adalah Haji Syafi’i. Tokoh yang hebat di tanah Palik pada masa dulu, jauh sebelum keberadaanmu.”

Aku masih belum mengalihkan perhatian dari sosok penguasa udara yang lagi terbang berkeliling di atas kami. Sesekali terdengar suara khas seekor elang.

“Bekas-bekas pada tubuhnya adalah sebab dari penyakit cacar juga kolera. Saat itu dia mengidap penyakit tersebut. Supaya tidak menular pada yang lain dia memutuskan untuk mengasingkan diri di Tapak Balai dengan di antar oleh dua orang tokoh masyarakat Palik”

Sebelum ditinggalkan sendirian, dia menyampaikan kepada pengantarnya, jika menemukan sorban miliknya, berarti dia masih hidup, jika tidak, berarti dia sudah mati.”

“Dan sekarang ini, dia sudah mati atau masih hidup?”

Aku alihkan pandanganku tepat ke mata Buaya Kotong. Ada pandangan yang agak terkejut dari mata itu. Begitu menyadari perbuatanku yang tidak sopan, pandanganku sedikit aku turunkan.

“Maaf…” Ucapku bersungguh-sungguh.

“Sebenarnya, kami akan mati pada saat keturunan ke tujuh. Saat itu pada purnama bulan puasa tahun ini, apa yang kami miliki akan kami turunkan pada salah seorang dari keturunan ketujuh tersebut.”

Ada pandangan nelangsa pada mata Buaya Kotong. Selanjutnya matanya yang kuning diarahkan pada Hiu Putih.

“Haji Pi’i beruntung. Dia sudah mendapatkan kamu…” Kalimat yang sedih bercampur cemburu dari mulut hiu.

Mata kecil khas milik hiu itu tajam melihat ke arah muara. Ada seorang pemuda kurus, hitam dan kelihatan memiliki kekurangan pada mentalnya sedang memandang ke mulut muara.

Langsung berbinar. Melihat perubahan drastis itu, Buaya Kotong juga mengarahkan pandangannya ke arah yang kami lihat.

“Jangan coba-coba kamu mendekatinya, Kotong! Dia milikku. Garis sah keturunanku!”

Kalimat yang diucapkan dengan nada ancaman.

“Ibunya adalah keturunan ketujuhku. Sama seperti Buyung yang ibunya juga keturunan ketujuh Haji Pi’i.”

Hah, kok ibuku disebut dalam perebutan ini? Lagipula aku sedikit terkejut dengan yang mereka lakukan. Saling ingin memiliki pemuda yang aku anggap sangat tidak pantas jadi rebutan. Apa lagi oleh mereka yang sakti di depanku.

“Sebenarnya pemuda itu sedikit lebih hebat darimu, Yung…” Suara yang menggema di ruang telingaku. Penyampainya adalah mahluk yang sedang terbang berkeliling di atas kami.

Aku langsung malu begitu menyadari pikiran kerdilku. Bukankah setiap mahkluk yang sang pencipta ciptakan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing?

“Astagfirullah…” Aku mengaku salah.

Di depanku ada gelagat akan terjadi perkelahian lagi. Aku memandang ke elang yang sedang membentang lebar sayapnya. Siap untuk turun. Aku lega.

Haji Pi’i perlahan turun dan hinggap di punggung buaya yang siap-siap menyerang.

“Kalian selalu berkelahi setiap menyelesaikan masalah. Apa untungnya? Lihat tubuh kalian yang penuh oleh luka gigitan dari masing-masing kalian.”

Aku merasakan itu kalimat teguran untuk yang selalu berkelahi ini.

“Seharusnya dia mencari orang lain begitu aku mendapatkan calon pewarisku.” Nada kesal dari mulut hiu yang masih menggendong aku.

“Tidak bisa!” Sergah si buaya buntung.

Datuk Pi’i aku lihat menahan senyum.

“Dari masih jadi manusia hingga sekarang kalian selalu bersaing dan tidak ada yang mau mengalah.”

Dalam hati aku juga ikut tersenyum mendengar kalimat itu.

“Padahal kalian saudara sepupu.”

Aku sedikit terkejut lalu memandang dengan lekat pada dua ekor mahluk ini.

“Apa tidak ada calon lain lagi?”

“Tidak ada!” Jawab mereka berdua.

“Kalau begitu, ya, kalian berikan saja ilmu kalian berdua pada satu orang. Pasti hasilnya akan sangat hebat.”

Aku mengangguk setuju. Hiu putih aku rasakan tertegun sesaat. Begitu juga aku lihat pada mata Buaya. Sepertinya mereka sedang berfikir atau menimbang sesuatu.

“Bagus, aku setuju.” Jawab hiu.

“Aku juga setuju!” Buaya menimpali.

Kalau begitu, ayo jemput dia. Siapa yang sampai lebih dulu, dia yang menurunkan lebih dulu apa yang dia punya.”

Tanpa menunggu komando kedua kali, sekarang terjadi perlombaan adu cepat berenang bagi keduanya. Masing-masing ingin mengalahkan lawannya.

Sayangnya, hiu mendahului buaya dan langsung menyambar pemuda kurus tersebut dan membawanya menyelam pada kedalaman laut.

Buaya Kotong terpana dan terpaksa menerima kekalahannya. Toh ilmunya juga akan diwariskan pada orang yang sama. Mungkin dia berfikir tidak masalah menunggu sebentar.

Dengan pelan buaya itu masuk ke muara. Dan menenggelamkan diri lebih dalam agar tidak kelihatan oleh masyarakat yang mulai ramai ke sungai.

Aku yang langsung berubah elang ketika mereka mulai berenang menyaksikan dari atas.

Pelan-pelan aku terbang tinggi dan santai. Sebenarnya aku ingin silaturahmi ke keluarga ibuku yang ada di desa Palik. Tapi sepertinya Datuk pemilik ilmu elang ini punya rencana lain.

Aku diajak menjelajah udara. Sesekali ada suara dari mulutku. Suara elang. Sepertinya bukan suara biasa. Mungkin nyanyian seekor elang.

Catatan : jika ada kesamaan nama tokoh, tempat dan peristiwa itu hanya rekaan dari penulis belaka.

Posting Terkait

Jangan Lewatkan