Catatan Perjalanan dari Bengko ke Lebong, Antara Kecewa dan Kepuasan

Foto oleh Geri Suseno (KPPL Lebong)

Oleh Bagus SLE

Lebong, Wordpers.id – Sudah tiga bulan lebih komunikasi dengan seorang kawan yang berasal dari Bengko. Daerah yang populer oleh penelpon ajang silaturahmi antar pendengar radio pemerintah. Pertamakali saya dengar nama Bengko, ya dari acara radio tersebut beberapa tahun yang lalu.

Komunikasi pertama kali kami melalui obrolan pada kolom komentar FB, lalu berakhir tukaran nomor telpon. sejak saat itu Bengko sudah dimasukkan dalam list perjalanan, pada akhir bulan Januari lalu.

Mulai seminggu terakhir, komunikasi kami semakin intens. Dan kami telah menyepakati janji untuk bertemu di Simpang Tugu Kopi Kepahiang Sabtu 30 Januari 2021 jam 9 pagi. Rencana ke Bengko akan menempuh perjalanan melalui Sengkuang.

Komunikasi terus berlanjut hingga lewat tengah malam sebelum hari keberangkatan. Ketika pagi, komunikasi terhalang oleh gangguan sinyal telekomunikasi, hingga hampir jam 11 siang.

Pesanku kepada kawan tersebut yang dikirim jam 8 pagi tentang keterlambatan kami, belum juga masuk-masuk ke nomor yang dituju.

Jam 10.30 pagi, mobil kami masuk kota Kepahiang. Ada tiga pesan dari kawan yang akan menemani perjalanan kami ke daerah perkebunan kopi tersebut.

Ketiga pesan tersebut dikirim jam 7 pagi, mengabarkan pembatalan keberangkatan, dengan sebab ada tugas mendadak dari kantornya.

mendapat kabar tersebut, saya dan Bung Koni, pemilik channel youtube Bung Koni, diskusi sebentar lalu mengambil keputusan perjalanan dialihkan ke kabupaten Lebong.

Dengan cepat otak saya mengingat beberapa teman di sana, menyeleksi, lalu memutuskan untuk menghubungi kawan sekolah, yang sudah sangat lama tidak bertemu, sejak tamat sekolah.

Janji tersepakati. Selanjutnya saya menghubungi rekan-rekan Komunitas Peduli Puspa Langka yang ada di Lebong, dan mengajak ikut serta dalam perjalanan kami kali ini.

Dari Kepahiang menuju desa Ujung Tanjung di kabupaten Lebong, kami tempuh selama 1 jam 30 menit, melewati kabupaten Curup.

Di desa yang sangat rapat antar rumah ini, kami istirahat untuk makan siang di satu-satunya warung makan sambil menunggu rekan-rekan yang akan menyertai perjalanan kami kali ini.

Tidak lama kemudian teman-teman yang dihubungi sampai. Dalam obrolan dengan rekan-rekan, diambil kesimpulan, kali ini kami akan ke telun Bioa Blau dan Bioa Ba’es. Naik motor. Dan mobil ditinggal di warung makan.

Agak asing nama kedua air terjun ini. Karena memang air terjun ini sangat minim dikunjungi orang luar. Hanya diketahui oleh penduduk lokal Ujung Tanjung dan sekitarnya. Padahal, kantor camat sangat dekat dengan kedua air terjun tersebut.

Berada di pinggir sawah penduduk. Sangat gampang akses menuju lokasi. Bahkan, untuk Telun Bioa Blau sangat rekomendasi untuk jadi tujuan wisata. Alam sepanjang jalan menuju air terjun ini sangat asri.

Selepas melewati jembatan gantung yang menghubungi sisi jalan raya ke pinggir persawahan, mata tidak henti-hentinya terpesona oleh bentangan sawah yang hijau oleh dedaunan padinya yang tumbuh dengan baik.

Jembatan gantung terlewati, motor yang kami kendarai melewati jalan semen yang kualitasnya bagus, membelah area persawahan yang seluas mata memandang, kiri dan kanan. Bentangan sawah menghijau ini semakin indah dengan jejeran-jejeran pohon pinang sepanjang pematang, sebagai batas wilayah kepemilikan.

Pondok-pondok sawah di sini hampir seperti rumah tinggal. Tidak lagi dibangun ala kadar. Menambah nilai keindahan area penghasil sumber pangan utama ini. Apa lagi, dari beberapa pondok mengebul asap. Hmmmm… Benar-benar tempat yang tepat untuk menyegarkan fikiran.

BACA JUGA:  Kenapa ‘Bengkulu’ Tak Begitu Peduli Cagar Budaya?
Fotografer Gery Suseno KPPL Lebong
Fotografer Gery Suseno KPPL Lebong

Melewati jalan sawah sekitar 5 menit, lalu kendaraan diparkirkan di sebuah pondok sawah yang menjadi akhir jalan beton. Selanjutnya jalan kaki sekitar 10 menit menuju air terjun.

Jalan setapak ini bersih, karena menjadi akses petani ke kebun karet atau kebun manggis mereka.

Di pinggir kebun manggis, sudah terdengar deru air terjun. Langkan semakin dipercepat. Batu-batu besar menjadi alas pijakan diantara aliran air sungai yang berasal dari air terjun Bioa Blau yang kami tuju.

Sampai di sini, mata langsung melihat aliran air yang deras meniti bebatuan hingga ke dasar. Inilah kelebihan air terjun ini. Airnya tidak langsung jatuh, tapi mengalir meniti bebatuan tebing dengan ketinggian tidak kurang dari 25 meter.

Tapi sayang, keunikan ini tidak bisa dinikmati utuh oleh mata, karena hanya terlihat jelas sebagian, sebagian lagi tertutup oleh daun-daun dari pohon yang tumbuh baik di tebing dengan kemiringan kurang dari 45 derajat.

Tidak lama kami di sini, karena hujan kecil menyertai langkah kami sejak meninggalkan warung makan. Takut ada pohon-pohon besar hanyut terbawa oleh arus air dari atas. Pengambilan foto dan video hanya sekedar saja. Lagi pula, kamera tidak aman dari hujan ataupun tempiasan air terjun.

Dari telun Bioa Blau, kami langsung menuju telun Bioa Ba’es yang harusnya jarak tempuh tidak memakan waktu 10 menit bermotor di desa Muning Agung, hingga lokasi, karena akses jalan selepas jalan desa, sudah di bangun jalan beton. Disebabkan hujan, maka motor kami titipkan di rumah penduduk, dekat jalan masuk menuju telun Bioa Ba’es.

Sepertinya jalan ini masih dalam pembangunan tahap akhir.

Telun Bioa Ba’es lebih rendah dari telun sebelumnya. Tapi sedikit lebih besar dan luas, juga debit air yang lebih besar dari telun sebelumnya, telun Bioa Blau.

Hujan dan tempiasan air yang deras, menyebabkan suhu menjadi sangat dingin. Di Bioa Ba’es saya masih menggunakan mantel hujan. Tidak berani bertelanjang dada seperti di air terjun lain selama ini.

Tidak banyak juga foto dan video yang diambil. Selain masalah di atas, juga karena fotografer dan modelnya sudah sangat kedinginan.

Hati-hati menginjakkan kaki di permukaan bebatuan, karena batu-batu ini sangat licin.

Sayangnya, satu sisi depan Bioa Ba’es, buktinya sudah ditebas bersih, dan ke depannya, dikhawatirkan akan mengancam keselamatan pengunjung.

Hanya setengah jam kami di Bioa Ba’es. Karena badan sudah sangat menggigil.

Keluar dari air terjun yang bebatuannya hitam berlumut, kami menuju bukit tertinggi di desa Muning Agung, untuk melihat kota Lebong dan Muara Aman dari ketinggian.

Di puncak bukit yang dibelah untuk membuat jalan aspal, berdiri di tepi jurang dan memandang ke depan… Emosi diledakkan dengan teriakan, menggema di lembah hijau oleh sawah-sawah, air ketahun yang meliuk-liuk, pohon-pohon pinang dan, nun jauh di sana, bukit hijau berhias awan jadi latar belakang sempurna jejeran atap-atap rumah penduduk.

Sangat disayangkan, cuaca agak gelap sehabis hujan dan mendekati senja, mengurangi keindahan pemandangan di depan kami.

Perjalanan ke Lebong adalah catatan perjalanan yang belum usai. Sudah tersusun jadwal perjalanan berikutnya di negeri asal mula masyarakat suku Rejang. Suku yang masuk salah satu suku tua di Sumatera, penyumbang 30 kg emas untuk Monas di ibu kota.

Posting Terkait

Jangan Lewatkan