Wordpers.id, Seluma – Belakangan ini perihal penjualan Lembar Kerja Siswa atau LKS di Kabupaten Seluma jadi perbincangan hangat. Pemicunya adalah setelah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Diskdikbuud) mengeluarkan pernyataan bakal menindak tegas jika ada kepala sekolah dan oknum guru yang ketauan menjual LKS.
Namun demikian, ternyata masih marak terjadi penjualan buku LKS di sekolahan SD maupun SMP di Kabupaten Seluma. Bermula cerita seorang guru yang sudah belasan tahun mengajar.
Ia menceritakan salah satu SMPN, masih melakukan praktik jual beli buku LKS kepada siswa. Bahkan guru yang langsung menjual buku tersebut kepada murid.
Lanjut ia mengatakan, bahwa harga buku LKS itupun disama ratakan yaitu dipatok sebesar Rp 15.000. Satu LKS, satu Mata Pelajaran (Mapel) yang jika dijumlahkan siswa diminta membeli LKS sebanyak 11 buah, sesuai dengan mata pelajaran di sekolah itu yakni 11 mapel.
“Sebuah buku itu dipatok harga 15 Ribu pak, jadi siswa diminta membeli 11 buah LKS sesuai dengan jumlah mata pelajaran di sekolahan ini,” kata seroang guru SMPN yang sudah belasan tahun mengajar itu, Senin (12/8/2024).
Informasi yang didapatkan, sebut dia, harga sebuah buku LKS itu sebenarnya hanya 10 Ribu. Namun demikian ada rekomendasi Kepala Sekolah agar para guru menjual buku LKS senilai 15 Ribu, supaya bisa mendapatkan untung sebesar 5 Ribu.
“Siswa tidak diminta membayar sekaligus, tetapi anak-anak bisa membeli LKS secara satu persatu sesuai dengan mata pelajaran. Pembayaran LKS juga bisa di cicil, sebenarnya harga 10 Ribu namun dijual 15 Ribu supaya dapat untung 5 Ribu untuk para guru yang ditugaskan menjual buku LKS itu,” ungkap dia.
Kepala Bidang SMP Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Seluma, Andri Suryadi mengatakan berdasarkan aturannya tidak diperbolehkan jual beli LKS di ruang lingkup sekolah walaupun sudah ada persetujuan dari komite ataupun wali murid.
“Tidak ada etikanya jika masih terdapat jual beli LKS di sekolahan, sangat bertolak belakang dengan etika pendidikan. Walaupun sudah disetujui oleh pihak wali murid dan komite sekolah, tetap tidak diperbolehkan,” kata Andri saat dikonfirmasi melalui via WhatsApp, Rabu (14/8/2024).
Lebih lanjut Andri mengatakan, bahwa pihaknya akan menegur dan menindak tegas kepala sekolah ataupun guru di SMPN yang masih melakukan praktik jual beli LKS kepada siswa.
“Segera kami panggil siapa saja kepala sekolah ataupun guru yang sudah melakukan praktik jual beli LKS itu,” ujarnya.
Sementara jual beli LKS di sekolah negeri masih marak dilakukan dengan alasan sudah mendapatkan persetujuan dari pihak komite dan wali murid, tanpa menghiraukan aturan yang sudah dikeluarkan pemerintah.
Larangan penjualan LKS sudah tertuang dalam (PP) nomor 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan yang berbunyi pada Pasal 181 disebutkan “Pendidik dan tenaga kependidikan baik perorangan maupun kolektif dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, dan pakaian seragam di tingkat satuan pendidikan.”
Kemudian diperkuat lagi dengan aturan Permendiknas Nomor 2 Tahun 2008 pasal 11 tentang Pelarangan Penjualan Buku. Juga Permendikbud Nomor 8 Tahun 2016 tentang Buku yang Digunakan oleh Satuan Pendidikan menyatakan, bahwa satuan pendidikan tidak diperkenankan untuk menjual buku kepada siswa
Aturan larangan penjualan buku LKS itu, bukan tanpa alasan yang pertama jika praktik jual beli LKS masih dilakukan maka akan berdampak kepada kesejahteraan siswa dan orang Tua.
Selanjutnya adanya praktik penjualan buku LKS di sekolah sering kali memberatkan orang tua siswa secara finansial. Kadangkala, LKS yang dijual oleh sekolah umumnya tidak memiliki standar harga yang jelas sehingga bisa sangat mahal dan membebani orang tua.
Meskipun LKS ini merupakan pelengkap proses mengajar dan belajar di sekolah namun bukan berarti bisa menambah kualitas pendidikan pada anak, sebab LKS yang dijual oleh pihak sekolah bisa saja tidak sesuai dengan kurikulum yang berlaku sehingga dapat menganggu proses mengajar dan menurunkan kualitas pendidikan.
Alasan terakhir mengapa dilarang guru menjual LKS ke sekolah lantaran sudah bertentangan dengan etika pendidikan karena sudah masuk pada rana berbisnis yang membuat celah bagi beberapa oknum guru untuk mendapatkan keuntungan pribadi.