Ferdian Paleka, Hayatun, dan Mental Sosiopatik Anak Muda

Oleh: Luthfi Ersa Fadillah

Hanya dalam waktu yang berdekatan selama minggu ini, terjadi dua peristiwa memilukan di jagat maya kita. Pertama, keusilan seorang youtuber bernama Ferdian Paleka dan dua teman-temannya membuat prank dengan memberikan sembako berisi sampah dan batu kepada kelompok transpuan dan ke sekumpulan anak-anak. Kedua, Hayatun, satu dari sekian banyak kelompok anak SMA yang terkena hukuman sosial akibat berkonvoi di tengah pandemi demi merayakan kelulusan SMA. 

Keduanya jelas merupakan representasi kesalahan sosial yang sama sekali tak sedap dipandang mata dan sulit diterima nurani kita.

Masyarakat sudah dipusingkan oleh segala isu di tengah pandemi Covid-19 yang juga belum usai. Kehadiran dua peristiwa itu jelas bukan sekadar fenomena angin lalu melainkan sudah menjadi beban masalah sosial tambahan yang bersifat meresahkan masyarakat. Mau tidak mau, kita harus memberi perhatian tentang yang sebenarnya terjadi dalam diri mereka.

Saya ingin melihat gejala masalah sosial ini dalam batasan perilaku menyimpang yang mereka lakukan. Argumentasi saya, terjadi pembentukan diri sosiopatik dalam diri mereka.

Hasrat Ephitumea

Untuk mengawali pembahasan, penting kiranya kita membongkar dan mengkritisi hasrat individu kedua anak muda ini yang rata-rata berkecimpung aktif di dunia media sosial. Yang satu YouTube, yang satu Instagram.

Masalah sosial sering kali muncul bukan semata-mata karena persoalan struktural dan sistem yang menyebabkan disorganisasi masyarakat, melainkan juga bisa disebabkan oleh perilaku individu. Individu yang penuh dengan ambisi dan hasrat yang oleh filsuf, Plato, disebut sebagai Ephitumea. Hasrat-hasrat terpendam berbasis kebutuhan alamiah dan kesenangan semata.

Hasrat tersebut mungkin tak akan menjadi masalah bila dipenuhi untuk menuntaskan kebutuhan primer dirinya tanpa harus melibatkan orang lain secara aktif. Namun, akan berbeda cerita bila individu memaksa atau minimal melibatkan orang lain sebagai objek dari pemenuhan hasrat diri.

Ferdian, dalam pandangan yang sangat awam, ia menciptakan persepsi publik seakan-akan ingin membuat konten yang berbeda. Namun, alih-alih berbeda, ia sebetulnya hanya menyembunyikan hasrat “ingin konten berbeda” dengan “aku memang menghendaki/menginginkan hal tersebut sesuai mauku” tanpa memikirkan risiko yang dilakukannya. 

Satu hal yang pasti seperti lirik lagu Ariana Grande, “I want it, i got it!”

Saya kita harus mengantisipasi dan mengamini bahwa konten dan hasrat seperti ini tidak hanya dilakukan oleh Ferdian semata. Bisa jadi beberapa youtuber memiliki konten serupa seperti yang dilakukan Ferdian.

Lalu, tak lupa, Hayatun pun terjebak pada sub kultur menyimpang dalam dunia anak sekolah, khususnya SMA. Tradisi parasit non-produktif yang sejak lama sulit dihentikan dalam dunia pendidikan kita.

Masyarakat dipaksa memahami bahwa tindakan corat-coret baju SMA dan konvoi adalah ekspresi kegembiraan seorang remaja karena kelulusannya yang akan dijadikan simbol kenang-kenangan. 

Padahal, sejatinya, tindakan tersebut hanyalah hasrat balas dendam kepada kakak kelas bahwa angkatan mereka juga bisa melakukan hal yang sama dan pada saat yang sama menjadi simbol ejekan kepada adik kelas, “bisa ga kaya kami nanti?”

Sebagai penegasan kedua masalah di atas, saya sama sekali tidak bisa melihatnya sebagai urusan teknis: adsense atau popularitas semata, melainkan upaya-upaya untuk menuntaskan hasrat liar pribadi semata.

Reaksi Sosial

Sewaktu kecil kita dihadapkan pada film-film bertema superhero seperti power rangers yang harus menjaga tatanan bumi untuk melawan monster-monster jahat, bukan?

BACA JUGA:  Bazar untuk UMKM, Benarkah untuk Meningkatkan Daya Beli Masyarakat?

Sebetulnya narasi film tersebut, bila kita telisik lebih jauh, bukan terletak pada pertempuran fisik sang pahlawan dengan si monster, melainkan kita memerangi hasrat kejahatan yang ada dalam pikiran monster tersebut. Kalimat hasrat yang tak asing kita mendengarnya, “aku ingin menguasai dunia”. 

Kita sangat paham makna hasrat menguasai dunia bukan hanya keinginan berlebihan, tetapi juga menyaratkan kekuasaan tak terbatas di tangan satu orang. Jelas, tanpa harus menjadi pahlawan pun kita akan sepakat untuk tidak menyetujuinya dan oleh karena itu perang terhadap kebatilan harus dilakukan.

Cerita di atas akan menjembatani kita untuk memahami apa yang disebut oleh sosiolog bernama Edwin M Lemert sebagai perilaku sosiopatik. Seorang individu memiliki potensi menjadi seorang sosiopat bila ia mengalami melakukan penyimpangan sekunder.

Awalnya individu melakukan penyimpangan pertamanya yang bersifat primer alias dalam tertentu masih bisa diterima oleh masyarakat. Namun, tindakan menyimpang itu bisa berkembang ke level sekunder yang nantinya sudah tak bisa ditolerir oleh masyarakat.

Dalam pandangan Lemert, kapan momen penyimpangan itu akan berubah tingkatannya, semua akan ditentukan pada reaksi sosial masyarakat tentang tindakan yang dilakukan oleh seorang penyimpang. Karena, reaksi masyarakat akan membantu penyimpang untuk mendefinisikan ulang dan kemudian memodifikasi tindakan sedemikian rupa. Ujungnya, dirinya pun akan mengikuti pola tindakannya.

Penjelasan teoritis itu bisa sangat terlihat dari apa yang terjadi dalam diri Ferdian. Masyarakat tidak merespon kontennya sebagai sesuatu yang baik. Hujatan demi hujatan akan menjadi tekanan sosial yang memaksa Ferdian harus berada dalam satu titik dimana membuat konten yang bagus ataupun absurd tidak akan mengubah fakta bahwa dirinya menjadi public enemy saat ini.

Penjelasan ini diperkuat oleh fakta saat Ferdian dalam pelariannya membuat klarifikasi di Instagram barunya dan memberikan syarat tak masuk akal bahwa dia akan melaporkan diri ke polisi hanya bila followers instagramnya kembali sejumlah banyak akun yang hilang di akun sebelumnya. 

Pun, ia tidak peduli dengan akibat apa yang telah ia perbuat dan menyalahkan orang lain yang melaporkan akunnya. Pada titik ini, Ferdian berhasil mengembangkan tindak penyimpangan sekunder dan menjadi seorang sosiopat tulen.

Pun demikian dengan tindakan sosiopatik yang dilakukan Hayatun dan kelompoknya. Tindakan ini sudah bisa digolongkan sebagai penyimpangan sekunder karena memang ada larangan keras mengenai PSBB yang dilakukan pemerintah.

Hal konyol yang terlintas di pikiran saya tentang kasus Hayatun adalah mungkin saja sebetulnya tindakan konvoi mereka barangkali tidak terdektesi, pun tertangkap tidak akan menjadi berita memilukan secara nasional. 

Masalahnya, Lemert menjelaskan masyarakat akan mudah memberikan reaksi melalui visibilitas sosial dari tindakan tersebut. Dan, ya, tindakan teledor dari dirinya dan rekan-rekannya adalah snapgram yang jelas bisa dilihat oleh semua orang.

Akhir kata, selama individu entah dari anak remaja hingga dewasa masih belum bisa mengelola hasrat-hasrat pribadi maka ruang-ruang di masyarakat akan terus menjadi arena pertempuran sosial yang tak kunjung usai.

Dan, ruang maya akan selalu menjadi arena gladiator yang terbesar untuk pertempuran tersebut.

“Penulis adalah:

Posting Terkait

Jangan Lewatkan