Hutan Dijarah, Negara Dirugikan, Hukum Mati Rasa: PT SIL Disebut ‘Tak Tersentuh’ di Bengkulu!

Bengkulu, Word Pers Indonesia – Polemik penegakan hukum di Provinsi Bengkulu kembali menjadi sorotan tajam publik. Setelah kasus dugaan korupsi di sektor pertambangan batu bara yang menimbulkan kerugian negara sekitar Rp500 miliar, kini giliran dugaan perambahan kawasan hutan oleh perusahaan perkebunan sawit yang menjadi perhatian para aktivis anti-korupsi dan pemerhati lingkungan.

Menurut para penggiat, hingga kini penegakan hukum terhadap pelanggaran Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan masih jauh dari harapan. Sejumlah perusahaan perkebunan sawit diduga mengelola kawasan hutan tanpa izin dan menimbulkan kerugian besar bagi negara, namun belum tersentuh tindakan hukum tegas.

Ketua Umum Ormas Garbeta, Deddy Mulyadi, dengan tegas menyatakan bahwa pemerintah dan aparat penegak hukum (APH) di Bengkulu harus berani menegakkan keadilan tanpa pandang bulu. Ia menilai, praktik perambahan kawasan hutan oleh perusahaan besar adalah bentuk nyata dari lemahnya komitmen negara dalam menegakkan hukum lingkungan.

“Kami mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menunjukkan keberpihakan kepada rakyat, bukan kepada korporasi. Kawasan hutan yang dikelola tanpa izin harus dikembalikan kepada masyarakat, sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” ujar Deddy Mulyadi, Rabu (22/10/2025).

Menurutnya, PT Sandabi Indah Lestari (SIL) menjadi salah satu contoh nyata pelanggaran hukum kehutanan di Bengkulu. Perusahaan tersebut diduga telah merambah sekitar 750 hektar kawasan Register 71 tanpa izin sejak tahun 2001, namun hingga kini tidak ada sanksi tegas dari aparat penegak hukum.

“Regulasinya sangat jelas. Pelanggaran ini bisa dijerat dengan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Tapi sampai hari ini, belum ada tindakan nyata dari Kejaksaan Tinggi Bengkulu,” tegas Deddy.

BACA JUGA:  KADINSOS Rosminiarty Bantu Pemkot Infestigasi Lapangan Gas 3 Kg

Lebih lanjut, Deddy menyinggung Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Satuan Petugas Penertiban Kawasan Hutan yang dibentuk di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Ia menilai, kehadiran satgas tersebut belum menunjukkan hasil konkret dalam menangani dugaan pelanggaran oleh perusahaan sawit besar di Bengkulu.

“Sudah 25 tahun PT SIL beroperasi di kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi, tapi Satgas Penertiban Kawasan Hutan belum mampu menunjukkan gebrakan berarti. Jangan sampai regulasi hanya jadi pajangan di atas kertas, sementara pelanggaran terus terjadi di lapangan,” ujarnya.

Selain itu, ia juga menyoroti Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2025 yang merupakan perubahan dari PP Nomor 24 Tahun 2021 mengenai perhitungan denda perkebunan sawit ilegal di dalam kawasan hutan. Berdasarkan aturan tersebut, kerugian negara akibat pelanggaran PT SIL semestinya sudah bisa dihitung dan dijadikan dasar penegakan hukum.

“Kami dari Garbeta sudah resmi melaporkan kasus ini ke Kejaksaan Tinggi Bengkulu. Tapi hingga kini belum ada tindakan nyata. Ini menimbulkan tanda tanya besar: seberapa kuat sebenarnya pengaruh korporasi di daerah ini sampai aparat hukum seolah tidak berani bertindak?” sindir Deddy tajam.

Aktivis Garbeta menegaskan, pihaknya tidak akan berhenti memperjuangkan penegakan hukum atas dugaan perambahan kawasan hutan oleh perusahaan besar di Bengkulu. Mereka juga meminta agar publik ikut mengawal proses hukum agar tidak ada tebang pilih dalam penindakan.

“Kami tidak akan mundur. Ini bukan hanya soal lingkungan, tapi soal keberanian negara melawan ketidakadilan. Hutan adalah hak publik, bukan milik korporasi,” tutup Deddy.

Kasus ini menjadi ujian nyata bagi komitmen aparat penegak hukum di Bengkulu dalam menerapkan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan supremasi hukum.

Reporter: Alfridho Ade Permana
Editor: Anasril

Posting Terkait

Jangan Lewatkan

News Feed