PRINGSEWU, WordPers.ID — Proyek perbaikan jalan provinsi di jalur Podosari–Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu, Lampung, kembali menjadi sorotan publik. Debu tebal, tidak adanya papan nama proyek, minim rambu-rambu keselamatan, serta ketiadaan petugas lalu lintas membuat proyek ini dianggap lebih banyak menimbulkan penderitaan ketimbang manfaat, Senin (12/5).
Penderitaan itu makin menjadi saat malam hari. Minimnya penerangan jalan, tidak adanya pengatur lalu lintas, dan ketiadaan rambu yang memadai memperparah kondisi. Debu yang menutup permukaan jalan di siang hari berubah menjadi perangkap berbahaya di malam hari, karena jarak pandang makin terbatas dan pengguna jalan sulit mengantisipasi lubang.
“Kalau siang saja sudah berbahaya, malam jauh lebih gila. Tidak ada lampu, debu tetap tebal, dan tidak tahu arah. Bisa-bisa tabrakan karena tidak kelihatan,” ujar Nuryanto, seorang pengendara yang nekat melintasi jalur itu sepulang kerja.
Kemacetan pun menjadi langganan, terutama pada pagi dan sore hari, ketika arus kendaraan memuncak. Namun, hingga kini tidak terlihat adanya upaya pengaturan lalu lintas dari pihak kontraktor. Jalan menyempit karena pengerjaan, pengendara bingung, dan kecelakaan nyaris tak terhindarkan.
Lebih ironis lagi, hingga berita ini ditulis, belum diketahui siapa kontraktor yang mengerjakan proyek tersebut. Di lokasi tidak terdapat papan informasi proyek, padahal ini adalah syarat wajib dalam pelaksanaan pekerjaan dengan anggaran publik. Masyarakat tidak bisa mengakses informasi mengenai nilai proyek, tenggat pelaksanaan, ataupun penanggung jawab kegiatan.
“Ini proyek uang rakyat, tapi dikerjakan tanpa tanggung jawab. Tidak ada penyiraman jalan, debu ke mana-mana, dan kami warga sekitar jadi korban tiap hari,” ujar seorang warga Podosari yang rumahnya hanya beberapa meter dari lokasi pengerjaan.
Rambu-rambu keselamatan pun nyaris tak ada. Hanya satu papan kecil bertuliskan “Hati-Hati Ada Pengerjaan Jalan” yang terpasang di pinggir jalan. Itu pun tak terlihat jelas saat malam karena tak dilengkapi pencahayaan atau penanda reflektif.
Situasi ini jelas tidak bisa ditoleransi. Proyek infrastruktur yang seharusnya menjadi solusi, justru berpotensi menjadi bencana akibat buruknya manajemen lapangan dan minimnya pengawasan dari dinas teknis. Dinas Bina Marga Provinsi Lampung dan pihak-pihak terkait harus segera bertindak. Pengabaian semacam ini tidak hanya membahayakan nyawa, tetapi juga mencoreng semangat transparansi dan akuntabilitas publik.
“Ini bukan hanya soal jalan, ini soal nyawa. Kalau tidak ada yang bertindak, jangan heran kalau yang muncul nanti adalah korban, bukan kemajuan,” pungkas Nuryanto.
( Davit )