Word Pers Indonesia – Pulau Simeulue, sebuah permata tersembunyi di barat laut Provinsi Aceh, menggoda dengan pesona sejarahnya yang kaya dan keseharian yang melibatkan kearifan lokal yang unik. Terhampar di lautan Hindia, pulau ini telah menyimpan sejarah sosiokultural yang tak terpisahkan dari perjalanan Kesultanan Aceh Darussalam pada abad ke-17.
Sejarah yang Terkukuh: Dari Pulo U Hingga Pulau Simeulue
Abad ke-17 menjadi saksi bisu perjalanan Islam ke Pulau Simeulue, yang pada awalnya dikenal sebagai Pulo U atau Pulau Kelapa. Cerita dimulai ketika seorang ulama bernama Teungku Khalilullah, berasal dari Minangkabau, diutus oleh Sultan Iskandar Muda untuk menyebarkan ajaran Islam di pulau ini. Sultan Ali Mughayat Syah, penguasa Aceh saat itu, menyarankan agar Khalilullah mengganti niatnya untuk menunaikan haji dengan mengislamkan Pulo U.
Dengan bantuan Putri Meulur, yang menjadi panduan Khalilullah ke Pulo U, mereka berdua menempuh perjalanan panjang dan melibatkan diri dalam sebuah pertarungan ilmu sihir dengan Songsongbulu, seorang penguasa sesat yang menguasai pulau tersebut. Khalilullah keluar sebagai pemenang, mengusir Songsongbulu, dan mengislamkan seluruh masyarakat di pulau. Sebagai tanda kemenangan, Khalilullah mengganti nama Pulo U menjadi Pulau Simeulue, mengambil dari nama istrinya, Putri Si Meulur.
Batu Salapan: Jejak Kesultanan Aceh di Pulau Simeulue
Pada masa pemerintahan Sultan Mahmudsyah II (1767-1787), Pulau Simeulue menjadi saksi bisu delapan batu yang disebut Sandi Salapan atau Delapan Pilar. Batu-batu ini dibawa dari Aceh dan digunakan untuk membangun masjid pertama di desa Salur. Meskipun terdampak oleh tsunami pada tahun 1907 dan 2004, batu-batu ini tetap menjadi saksi bisu kehadiran Kesultanan Aceh di pulau ini.
Pulau Simeulue pada masa itu terbagi menjadi lima kerajaan kecil, masing-masing dipimpin oleh seorang raja. Teupah, Kerajaan Simeulue, Kerajaan Along, Kerajaan Lekon, dan Kerajaan Sigulai adalah entitas yang bersatu dalam keberagaman dan kekayaan budaya. Namun, pada awal abad ke-20, Belanda menguasai Pulau Simeulue setelah berhasil mengatasi sebagian besar perlawanan rakyat Aceh.
Belanda Hingga Jepang: Transformasi dan Perubahan
Pada tahun 1901, Belanda membentuk pemerintahan di Pulau Simeulue, dikenal sebagai Onderafdeeling Simeulue. Daerah ini dipimpin oleh seorang Controleur dan terbagi menjadi lima landschap. Setiap landschap, seperti Tapah, Simulul, Leukon, dan Sigulai, dipimpin oleh seorang Selfbestiur dengan hak otonom atas wilayahnya.
Namun, perjalanan sejarah tidak berhenti di tangan Belanda. Pada masa Perang Dunia II, Jepang memasuki Pulau Simeulue pada tahun 1942. Di bawah pimpinan Letnan Satu Hego, tentara Jepang tiba tanpa perlawanan dari penduduk setempat. Pulau ini menjadi strategis bagi Jepang, yang membangun sistem pertahanan militer dan memberikan pelatihan kemiliteran kepada penduduk setempat.
Setelah berakhirnya Perang Dunia II dan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Pulau Simeulue menjadi kewedanaan di bawah pengawasan Bupati Aceh Barat. Limam landschap kemudian dipangkas menjadi empat kenegerian, yang selanjutnya berganti istilah menjadi kecamatan. Masa kemerdekaan juga menyaksikan Pulau Simeulue relatif aman dari konflik bersenjata yang melanda Aceh dari tahun 1976 hingga 2005, selama konflik antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Republik Indonesia.
Pulau Simeulue tidak hanya dikenal oleh sejarahnya yang kaya, tetapi juga oleh keseharian yang tenang dan damai. Kondisi geografisnya yang memukau, terletak di jalur lintasan tsunami, telah membentuk kehidupan masyarakat yang kokoh dan tangguh. Pertanian, perikanan, dan kehutanan menjadi penopang utama ekonomi pulau ini. Simeulue menjadi rumah bagi beragam tanaman seperti padi, kelapa, kopi, coklat, dan karet. Keberlimpahan laut di sekitar pulau memberikan sumber daya ikan yang melimpah, menjadi mata pencaharian utama bagi sebagian besar penduduk. Masyarakatnya juga menjaga warisan budaya dan kearifan lokal dengan penuh kebanggaan, menciptakan harmoni antara tradisi dan modernitas.
Pesona Alam dan Ekoturisme: Simeulue dalam Sorotan Dunia
Keindahan alam Pulau Simeulue juga telah menarik perhatian dunia. Meskipun terkenal sebagai jalur lintasan tsunami, keindahan pantai dan terumbu karangnya telah menjadi daya tarik ekoturisme yang semakin populer. Pemandangan indah, ombak yang menggoda bagi para peselancar, dan kehidupan bawah laut yang kaya membuat Simeulue menjadi surga bagi para pencinta alam dan petualang.
Pulau ini menawarkan pengalaman yang unik bagi para wisatawan yang mencari keindahan alam yang belum tersentuh dan kehangatan dari keramahan penduduk setempat. Dengan upaya pelestarian lingkungan yang diterapkan oleh masyarakat, Simeulue berkomitmen untuk menjaga keaslian alamnya sambil merangkul peluang ekonomi yang berkelanjutan.
Pulau Simeulue, dengan sejarah panjangnya yang terkait erat dengan Kesultanan Aceh Darussalam, terus menyajikan pesona uniknya kepada dunia. Dari kekuatan teologis Teungku Khalilullah hingga jejak kesultanan yang diabadikan dalam batu Salapan, Simeulue menyimpan cerita-cerita yang tak terlupakan.
Dengan kehidupan sehari-hari yang menggabungkan tradisi dan modernitas serta keindahan alam yang menakjubkan, Pulau Simeulue menawarkan pengalaman wisata yang berbeda dan tak terlupakan. Bagi mereka yang mencari petualangan, kedamaian, dan keajaiban alam, Simeulue siap menyambut dengan keunikan dan keindahan yang tak tertandingi. (*)