Revolusi digital identik dengan kecepatan, kemudahan, dan efisiensi, sebagaimana tuntutan era modern pada umumnya. Pembaruan seri perangkat digital yang begitu cepat dan signifikan merupakan hasil eksplorasi produsen terhadap kebutuhan konsumen modern yang mendambakan kemunculan perangkat mutakhir penunjang kegiatan multitasking.
Di era revolusi digital, di mana perangkat-perangkat elektronik khususnya smartphone sangat digandrungi, begitu mudah menemukan platform virtual yang mampu mewadahi aktivitas ekshibisi para pelaku seni dan sastra.
Ketika para perupa, fotografer, dan para desainer berlomba-lomba menuangkan ekspresi artistiknya di platform-platform sejenis Instagram dan Pinterest yang memaksimalkan fitur-fitur visual, para esais, prosais, dan penyair cenderung mengandalkan platform sejenis Facebook dan Twitter yang lebih memaksimalkan fitur-fitur teks.
Gawai atau gadget berbasis smartphone, dengan segala spekulasi dan fakta mengenai kekurangannya yang dapat menimpa psikologis maupun biologis penggunanya, bagaimana pun harus diakui juga memiliki banyak peran positif dalam menunjang akselerasi pemajuan berbagai sektor, termasuk sektor kesusastraan.
Lalu bagaimanakah pengaruh digitalisasi tersebut pada mutu karya sastra masa kini? Apakah metode riset era digital saat ini dapat menyaingi model riset konvensional khas era-era sebelumnya?
Penyajian karya secara ekspres tidaklah muskil di era digital, mengingat segala sesuatu telah berada dalam genggaman; kamus, ensiklopedia, teori, data statistik, dan nyaris segala referensi bahkan inspirasi telah dikemas ke dalam bentuk digital yang dapat diakses dengan mudah bermodalkan perangkat sederhana dengan biaya yang relatif terjangkau.
Dibanding cara-cara konvensional, gaya meriset via internet tak kalah efektif dan dinilai jauh lebih efisien. Buku-buku telah ditransformasi ke dalam bentuk digital (electronic book) dengan tujuan mempermudah distribusi ke pembaca sambil mengusung isu deforestasi yang dianggap tersurut dengan adanya inovasi paperless dari e-book.
Periset jadinya tak perlu repot berkeliling perpustakaan dan toko buku untuk mengumpulkan buku-buku yang diinginkan, selama ia cukup nyaman dengan bacaan digital.
Meski demikian, tak sedikit pula yang menganggap e-book, seberapa pun tinggi nilai efisiensinya, tidak akan mampu mengalahkan keergonomisan paper-book yang dianggap jauh lebih unggul dari segi kenyamanan, keamanan, dan estetika.
E-book menjadi momok bagi para pembaca berjiwa sentimental yang terjebak dalam kesan autentik sebuah buku cetak yang dapat disentuh, dijadikan hiasan, dan ditandatangani.
Apakah dualisme ini lantas memperlihatkan perbedaan kualitas karya dari dua tipe periset di atas? Saya memahami bahwa secara umum kualitas sebuah karya sastra ditentukan oleh kedalaman kontemplasi, penelusuran, dan daya imajinasi penulisnya.
Kecepatan mesin pencari pada internet memang tiada tandingannya, namun efisiensi tidak melulu sinergis dengan efektivitas. Kecanggihan peranti komputer terkadang justru menjadikan pemakainya kebablasan.
Generasi milenial dan generasi Z akhir-akhir ini juga mendapat predikat sebagai generasi copy-paste atau generasi salin-tempel. Kebiasaan menukil sebuah tulisan karya orang lain secara utuh hampir menjadi kebiasaan generasi sekarang semenjak kemunculan fitur status, story dan caption di media-media sosial.
Begitu mudah melestarikan kebiasaan ini akibat kemanjaan kecanggihan digital. Hal ini lama-kelamaan melemahkan kreatifitas menulis dan melemahkan daya cipta seseorang. Pada tingkatan terburuk, hal ini akan menjadi cikal bakal dihasilkannya karya-karya plagiasi dan saduran.
Ketidakpraktisan buku-buku cetak untuk praktik salin-tempel bukan hanya dapat memperkecil potensi plagiarisme, namun juga dapat melatih daya ingat, daya fokus, dan kesabaran seseorang.
Daya fokus dan kesabaran tersebut sukar didapatkan di tengah aktivitas gadget, dimana seseorang akan lebih mudah terdistraksi atau teralihkan oleh mobilisasi media sosial dan fitur gadget lainnya.
Mungkin tipe periset serius dapat mengatasinya, namun sebagian besar periset pemula akan sulit mencegahnya. Cara-cara meriset model tradisional seperti membaca paper-book, meskipun molor waktu, tidak terbantahkan kemampuannya dalam menciptakan suasana penelusuran yang lebih kontemplatif.
Lantas bagaimana isu kesusastraan dalam balutan platform penunjang ekshibisi tulisan sejenis Facebook? Di Amerika, belakangan terdapat anggapan bahwa Facebook merupakan platform yang hanya digemari oleh kalangan orang-orang tua, dan kurang diminati remaja dan anak-anak di bawah usia 25 tahun.
Statistik tersebut tentunya tidak secara mutlak berlaku di Indonesia, dan sepenuhnya tidak berlaku dalam dunia kesusastraaan nasional. Para sastrawan termasyhur Indonesia rata-rata merupakan pengguna aktif Twitter dan Facebook.
Media sosial seakan-akan merupakan mimbar tak resmi bagi aktivitas publikasi karya secara parsial maupun utuh. Para pelaku sastra pemula dari kalangan generasi milenial dan generasi Z sebagian besar tergolong sebagai pengguna intens media sosial, yang memiliki kebiasaan mengekspos berbagai aktivitas di lini masa dan fitur publik lainnya.
Kecenderungan ini, tidak dapat dipungkiri, cukup bermanfaat bagi penulis sastra pemula, diantaranya untuk mengetahui respon publik terhadap postingan, yang apabila positif, dapat menstimulasi semangat dan kreatifitas penulis sastra.
Melalui platform tersebut, seorang penulis juga dapat membangun jaringan pertemanan dengan para penulis lainnya. Namun apakah tanggapan-tanggapan berwujud komentar singkat dan jumlah like dapat diandalkan sebagai tolak ukur yang valid terhadap kelayakan sebuah karya?
Tidakkah platform seperti ini dapat menjadi alat bagi penerbit-penerbit minor dengan kuratorial yang buruk menemukan penulis-penulis pemula ber’modal’ dan membujuknya mempublikasikan karya yang belum matang?
Mengesampingkan masalah ini, distraksi media sosial sebenarnya cukup mengancam keberhasilan suatu karya. Kebiasaan terburu-buru mempublikasikan karya sejak awal telah menjadi dorongan dalam mobilisasi gadget, padahal ukuran kecepatan tidak dapat dijadikan gertakan buat para pembaca.
Seandainya pun berbanding lurus dengan tingkat ketelitian dan keanggunan bahasa penulisnya, pembaca hanya akan peduli pada sedalam apa pencarian dan penemuan-penemuan penting dalam karya si penulis.
Produktifitas berkarya sastra tidak melulu menekankan berapa banyak jumlah buku yang dapat diluncurkan, namun lebih kepada persoalan bagaimana prestise setiap karya di mata para pembacanya.
Menulis banyak buku toh tidak lantas secara otomatis membuat nama kita tercatat dalam koleksi dokumen Wikipedia. Maka untuk apa terburu-buru? Jika pada akhirnya hanya mengeluarkan tetek bengek datar dengan kontemplasi yang dangkal dan imajinasi yang belum seberapa.
Penulis-penulis mendunia seperti Emily Bronte, Anna Sewell dan Margareth Mitchell hanya menerbitkan satu novel seumur hidup mereka, karya-karya monumental yang tidak terlupakan.(AstikaElfakhri)