[ Oleh: Samuel Raimondo Purba ]
Michel Foucault dalam bukunya yang berjudul “The History of Sexuality” (Sejarah Seksualitas) menjelaskan mengenai seksualitas yang merupakan sebuah pemindahan pemahaman yang padat terhadap hubungan kekuasaan.
Ia menyelami cara seks yang ditempatkan dalam diskursus dan cara kekuasaan menyerap diskursus tersebut. Namun dalam kenyataannya, ia menyerap semua diskursus (Middleton, 1998; Oliver, 2010).
Pergeseran pola perilaku yang terjadi akibat arus globalisasi yang makin hari makin tidak terbendung selalu menjadi bahan pro dan kontra. Hal ini ditandai dengan berbagai macam yang dapat dilakukan untuk mendapatkan sesuatu atas dasar kepentingan atau kekuasaan.
Kepentingan selalu diidentikkan dengan adanya kekuasaan atas diri sendiri dan orang lain. Jika seorang atau kelompok telah memiliki kuasa atas pengetahuan, tentunya ia akan memiliki kendali akan orang-orang di sekitarnya.
Sedangkan di sisi lain Middleton menganggap, kekuasaan adalah pengetahuan yang kita percaya sebenarnya tidak objektif. Akan tetapi, pengetahuan berada pada suatu wilayah wewenang tertentu dan menimbulkan kekuasaan yang terlembaga.
Kekuasaan dan seksualitas dewasa ini begitu sering disandingkan, ibarat nasi tanpa lauk dan sayur tidak akan menghasilkan kepuasan apa yang disebut lahap makan. Kita dapat perhatikan hal-hal yang sering mencoreng nilai dan etika kesopanan di dalam budaya Indonesia saat ini sudah dianggap tabu oleh sebagian besar masyarakat.
Bagaimana tidak? Demi mendulang atau menarik perhatian massa terhadap suatu kepentingan, seorang atau kelompok yang memiliki kekuasaan atas pengetahuan akan memiliki kekuatan dalam mengendalikan seksualitas sebagai alat dan sebagai pemilik seksualitas memiliki kuasa atas dirinya sendiri dan orang lain di sekelilingnya.
Sebagai contoh, dalam kehidupan akan kekuasaan dan seksualitas yang sering digunakan untuk mendulang massa dari segi seksualitas dalam politik. Seperti sering kita lihat seorang calon kepala daerah untuk mencapai kepentingannya menggunakan artis-artis yang berpenampilan seksi dalam acara-acara kampanye si calon.
Cara yang dilakukan ini bukan tidak mendapatkan respons yang baik, justru tidak sedikit calon mendapatkan banyak dukungan dari cara ini. Apalagi artis yang manggung cukup terkenal skala provinsi, pun nasional dengan ia mendeklarasikan dukungannya kepada si calon pemilik kekuasaan.
Sehingga bukan lagi diragukan dukungan dari penggemar artis tersebut akan condong kepada si calon kepentingan. Yang dapat diperhatikan di sini bahwa penampilan atau seksualitaslah yang memiliki kuasa atas diri sendiri dan lingkungannya.
Menurut Foucault, dalam masyarakat modern, tidak hanya batas-batas mengenai apa yang boleh diperbincangkan, diperlihatkan, dipertontonkan mengenai seks yang makin meluas, namun yang lebih penting wacana mengenai seks itu sendiri sekarang diorganisasi oleh lembaga-lembaga yang lebih beraneka ragam dengan berbagai trik dan efek yang dihasilkan.
Hal demikian saat ini telah betul-betul digalakkan oleh lembaga-lembaga yang berkepentingan.
Seperti contoh lain pun dapat kita lihat dari segi ekonomi. Dalam pameran mempromosikan sepeda motor atau mobil sering menggunakan Sales Promotion Girls (SPG) yang dilengkapi dandanan cantik dan seksi. Yang sering menjadi pertanyaan, mengapa harus perempuan yang seksi untuk menarik perhatian pelanggan?
Dari hal tersebut dapat kita simpulkan bahwa, ketertarikan terhadap barang sangat ditentukan oleh ketertarikan fisik atau seksualitas. Padahal jika dipikir-pikir, apa kaitannya motor atau mobil baru dengan penampilan seksi? Tentunya tidak ada, jika ditarik dari penalaran atau tendensi antara motor dan wanita seksi.
Sama halnya ketika dalam teknik pemasaran rokok sangat akrab dengan wanita yang berpenampilan menarik atau seksi. Kenapa dengan hal ini? Pada saat pemasaran si wanita seksi tidaklah menjajakan rokok sambil ia merokok. Tapi justru cara ini bukan jadi hal yang sia-sia.
Terutama dari kalangan pemuda-pemuda akan segera memiliki ketertarikan secara seksualitas terhadap penampilan yang dilihatnya, sehingga keinginan untuk membeli produk yang sedang dijajakan akan lebih tinggi, dibandingkan jika dalam mempromosikan rokok dilakukan oleh pria tegap dan gagah dengan seni atau cara dia merokok sekalipun itu seni terbaiknya. Tentunya kurang membuahkan hasil pasar.
Pola pikir masyarakat saat ini didominasi oleh ketertarikan seksualitas atau penampilan. Menjelang Pilkada 2020, penulis menyoroti kekuasaan dan seksualitas dalam perpolitikan. Menggunakan artis seksi telah menumbuh-kembangkan pola pikir masyarakat memiliki daya ketertarikan dalam bentuk fisik, tidak lagi berpatokan dengan kapasitas si calon.
Apakah dia hanya sebatas omong kosong atau nantinya akan kerja, dapat kita pahami secara cerdas dengan cara dan seninya dalam mendulang massa. Jangan kita berpacu terhadap siapa yang tampak, tapi bagaimana karier dan apa yang disampaikannya. Itu adalah hal terpenting.
Jika dikaitkan dengan kekuasaan, pada akhirnya seksualitas itu sendiri menjadi sebuah bentuk kekuasaan. Sebelumnya seksualitas terbelenggu oleh kekuasaan, namun sekarang sungguh berbeda.
Kesenangan menyelinap dan menyebar ke segenap kekuasaan yang sebelumnya membatasinya, sehingga kekuasaan itu sendiri membiarkan dirinya dirayu dan dikontrol oleh kesenangan.
Masyarakat di sini dituntut agar lebih rasional lagi dalam menikmati apa yang ada di depan mata. Bukan menelan yang ada secara utuh, tetapi memilah dengan berbagai kacamata yang sudah didapat dari pendidikan maupun pengalaman hidup. Karena, dedominasi kehidupan saat ini tidak lagi jujur akan penampilan dalam menggambarkan isinya.
Samuel Raimondo Purba, seorang penulis yang Hobi Mendaki dan nongkrong dengan kopiQureta