wordpers.id – Penarikan kewenangan izin panas bumi ke pemerintah pusat setelah pemberlakuan UU No 21 Tahun 214 tentang Panas Bumi, tak mengubah, apalagi mengurangi aspek manfaat bagi pemerintah daerah.
“Justru dengan diberlakukannya UU 21/2014, ada penambahan manfaat bagi daerah, yaitu berupa bonus produksi panas bumi yang pada UU sebelumnya (UU No 27 Tahun 2003), tidak ada,” ungkap Kasi Pelayanan di Direktorat Panas Bumi, Ditjen EBTKE, Kementerian ESDM, Mustika Delimantoro pada webinar yang diselenggarakan indoEBT, Jumat malam (28/8/2020).
Seminar bertajuk “Panas bumi ditarik pusat, daerah dapat apa? Maunya apa?” tersebut menghadirkan tiga pembicara. Selain Mustika Delimantoro, pembicara lainnya adalah Sekjen Asosiasi Daerah Penghasil Panas Bumi (ADPPI) Harry Nurulfuad, dan tokoh senior panas bumi Alimin Ginting.
Deli, panggilan akrab Mustika Delimantoro, menambahkan, dari sisi PNBP (penghasilan negara bukan pajak) juga daerah masih memperoleh dengan porsi yang sama ketika UU No 27 masih berlaku.
Deli pun menceritakan kronologis tentang ditariknya kewenangan ijin panas bumi ke pusat. Menurutnya, hal itu tak lepas dari pembahasan UU minerba lainnya terutama batubara yang banyak menimbulkan masalah lingkungan.
Deli menyebutkan, saat itu anggota legislatif yang membahas draft UU melihat banyaknya masalah lingkungan dalam penambangan batubara. Masalah tersebut terutama akibat ijin-ijin yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah pada penambangan batubara tak disertai dengan upaya pengawasan yang memadai dari mereka.
“Ini terjad banyak di daerah tingkat II,” jelasnya.
Deli mengatakan, kondisi tersebut memang bisa difahami karena di struktur pemerintah daerah tingkat II banyak dinas teknis terkait, kekurangan SDM yang sesuai dengan kebutuhan dalam teknis pengawasan.
“Akhirnya, dalam pembahasan UU saat itu, panas bumi pun ditarik ke pusat, apalagi mereka yang membahas UU banyak juga yang terlibat di minyak. Mereka melhat eksplorasi serta eksploitasi panas bumi banyak kesamaaan dengan sektor migas,” paparnya.
Terkait regulasi pemanfaatan langsung panas bumi, Deli mengatakan, mengakui sekarang ini memang ada perubahan. Kewenangan tersebut asalnya berada di tangan daerah karena dinilai daerah lebih faham soal itu.
“Pemanfaatan langsung panas bumi banyak terkait dengan sektor pariwisata dan daerah akan lebih memahami situasi dan kondisinya. Oleh karena itu kewenangan ijinnya semula diserahkan ke daerah,” ujarnya.
Namun dalam perjalanannya, lanjut Deli, seiring dengan munculnya draft UU Ciptakerja, ijin pemanfaatan langsung pun kini berada di tangan pusat.
“Namun bukan bentuknya bukan ijin, melainkan pemenuhan standar yang diterbitkan oleh Kementerian ESDM. Saat ini standar-standar itu masih dibahas di internal Kementerian ESDM,” paparnya.
Menurut Deli, keterlibatan daerah dalam upaya pemanfaatan panas bumi sebenarnya terbuka cukup lebar meskipun ijin ada di tangan pusat. Upaya pemanfaatan panas bumi menyediakan banyak sub pekerjaan di luar eksplorasi dan eksploitasi.
“Di sanalah daerah dengan melibatkan BUMD-nya bisa mengambil peran. Mereka bisa memberikan dukungan dengan mengisi pekerjaan di sub-sub tersebut, misalnya dalam pembangunan infratsruktur jalan, penyediaan barang dan sebagainya. Dan sekarang bentuk kerjasama itu banyak dilakukan dalam upaya pemanfaatan panas bumi,” paparnya.
Menurut Deli, selama ini komunikasi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah terjalin baik sebagaimana sebelum UU No 21 tahun 2014. Bahkan sebelum kewenangan beralih ke pusat, katanya, pemerintah pusat justru banyak membantu penyelesaian di daerah terkait pemanfaatan panas bumi.
Sementara Sekjen ADPPI, Harry Nurulfuad, menyoroti soal munculnya kendala sosial dalam pemanfataan panas bumi yang sekarang banyak terjadi. Ia menilai, di sanalah pentingnya keterlibatan pemerintah daerah dalam pemanfaatan panas bumi.
Menurut Harry, ada sejumlah tahapan dalam upaya pemanfaatan panas bumi sebelum menuju tahapan eksplorasi, di antaranya sosialisasi. Dalam tahapan ini juga seharusnya pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk terlibat mengingat sumber daya Kementerian ESDM yang terbatas.
Harry juga menilai pentingnya keterlibatan pemerintah daerah dalam pengawasan atau pendampingan. Bentuknya pun tak harus peraturan pemerintah (PP), bisa saja dalam peratarn menteri.
“Masyarakat tak tahu soal regulasi, yang jelas ketika ada masalah, mereka datang ke camat, ke bupati dan gubernur, namun pemerintah daerah tak bisa menjawab hal itu karena bukan kewenangannya,” paparnya.
Sedangkan tokoh senior panas bumi Alimin Ginting menyatakan, Indonesia harus memaksimalkan panas bumi sebagai sumber energi. Selain potensinya yang melimpah, pemanfataan panas bumi pun bisa menekan perubahan iklim akibat pemanasan global.
Terkait kewenangannya yang kini berada di pusat, Alimin yang mantan Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) itu menyatakan, kondisi itu tak boleh menjadikan pemerintah daerah pasif. Banyak celah yang bisa diambil pemerintah daerah untuk menyukseskan pemanfaatan panas bumi dalam rangka mendukung ketahanan energi.
Menyoroti permasalahan sosial yang dihadapi dalam upaya pemanfaatan panas bumi, Alimin menyatakan, pihak perusahaan atau pengembang harus menguatkan divisi external affairs yang dulu dibentuk seadanya.
“Divisi inilah yang akan menjembatani perusahaan dengan lingkungan sosial, termasuk upaya-upaya menjalin harmonisasi perusahaan dengan masyarakat. Jika dulu divisi ini dibentuk sedananya maka sekarang harus dikuatkan, sama kuatnya dengan divisi teknis,” ujarnya.
Alimin pun menyatakan, untuk memasifkan pemanfaatan panas bumi, upaya menjalin komunikasi dan kerjasama dengan stakeholder penting dilakukan. Keberadaan API bisa dijadikan partner dalam hal teknis dan regulasi, sementara keberadaan ADPPI bisa menjadi jembatan untuk menguatkan divisi external affairs.
“Sebab ADPPI memiliki infrastruktur organisasi di daerah penghasil panas bumi. Ini bisa diharapkan bisa mendukung upaya penuntasan masalah-masalah sosial,” ujar Alimin. (Ref/Pabum)
Video diskusi lengkap dapat dibuka di : Panas bumi DITARIK PUSAT, Daerah dapat apa? maunya apa?