Komunitas Adat Enggano Desak Pemerintah Musnahkan Sawit di Pulau Terluar Bengkulu

Bengkulu, Wordpers.id – Suara penolakan keras kembali menggema dari Pulau Enggano, salah satu pulau terluar di Indonesia yang berada di bawah wilayah administrasi Provinsi Bengkulu. Seluruh komunitas adat di pulau ini mendesak pemerintah untuk segera memusnahkan seluruh tanaman sawit yang telah masuk dan mulai ditanam di lahan masyarakat maupun wilayah adat.

Para pemangku adat menilai, keberadaan perkebunan sawit tidak hanya mengancam ekosistem pulau, tetapi juga berpotensi merusak kawasan hutan adat yang selama ini menjadi sumber utama kehidupan masyarakat Enggano.

Milson Kaitora, Paabuki atau pimpinan kepala suku di Pulau Enggano, menegaskan bahwa praktik penanaman sawit di beberapa desa sudah semakin meluas. Bahkan, ia menuding ada keterlibatan sejumlah oknum aparatur desa yang ikut mendukung penyebaran bibit sawit di pulau tersebut.

“Jadi kami minta pemerintah tegas. Musnahkan seluruh sawit yang ada, baik bibit maupun yang sudah ditanam. Kami juga mendesak Bupati untuk menindak oknum aparat desa yang ikut mendorong penanaman sawit di Enggano,” kata Milson usai memimpin aksi bersama para kepala suku di Kantor Kecamatan Enggano, Senin (1/9/2025).

Milson menekankan, sebagai pulau terluar, kelestarian hutan adat Enggano harus ditempatkan sebagai prioritas utama. “Hampir seluruh masyarakat adat Enggano hidup dari hasil hutan dan pertanian. Jika sawit terus dibiarkan, bukan hanya krisis air yang muncul, tetapi juga kerusakan ekologis yang bisa mengancam lebih dari 4.000 jiwa penduduk pulau ini,” jelasnya.

AMAN Enggano: Sejak 2009 Sawit Sudah Dilarang

Ketua Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Enggano, Mulyadi Kauno, mengungkapkan bahwa sejak 2009 masyarakat adat sudah sepakat menolak keberadaan sawit. Kesepakatan itu, bahkan, ditandatangani bersama oleh seluruh kepala suku dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu.

BACA JUGA:  Wujud Kepedulian, PKS Rejang Lebong Salurkan Bantuan untuk Korban Kebakaran

Namun sejak 2016, sejumlah pendatang mulai menanami sawit di lahan mereka dengan bibit gratis yang dibagikan oleh oknum. “Waktu itu beredar kabar ada perusahaan sawit yang akan masuk. Bibitnya dibagikan secara cuma-cuma. Dari situlah sawit mulai masuk ke Enggano,” ujar Mulyadi.

Kondisi kian memprihatinkan ketika pada 2022, Forum Komunikasi Kepala Desa (FKKD) Enggano justru mengajukan permohonan izin ke pemerintah pusat agar PT Sumber Enggano Tabarak, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan sawit, bisa beroperasi dengan rencana membuka lahan seluas 15 ribu hektare.

“Lebih ironis lagi, sosialisasi investasi itu malah difasilitasi para kepala desa. Padahal, masyarakat adat jelas-jelas menolak sejak awal,” tegasnya.

Ancaman Pulau Terluar dan Harapan untuk Regulasi Tegas

Endang Setiawan dari AMAN Wilayah Bengkulu mengatakan, Enggano adalah pulau kecil dengan ekosistem rapuh yang seharusnya dijaga dengan ketat. Kehadiran sawit, lanjutnya, akan mempercepat degradasi lahan dan memicu krisis lingkungan.

“Pulau sekecil Enggano tidak akan kuat menahan dampak sawit. Jika terus dibiarkan, ancaman abrasi, krisis air, dan hilangnya hutan adat tinggal menunggu waktu,” kata Endang saat dihubungi, Senin (1/9/2025).

Ia menambahkan, pemerintah pusat dan daerah harus segera mengambil langkah strategis. Salah satunya, dengan mengeluarkan regulasi tegas berupa larangan menanam sawit di Enggano. “Buat aturan resmi, jangan hanya imbauan. Pulau ini butuh perlindungan hukum, bukan janji-janji,” imbuhnya.

Mulyadi pun menegaskan kembali bahwa masa depan masyarakat adat Enggano bergantung pada kebijakan hari ini. “Pulau ini masih panjang umurnya, jangan dirusak karena kepentingan segelintir orang. Kami butuh dukungan semua pihak untuk menjaga Enggano tetap lestari,” pungkasnya.(*)

Editor: Anasril

Posting Terkait

Jangan Lewatkan