Di manapun kita berpijak di tanah yang berdemokrasi, berteokrasi, berkomunisme, berkapitalisme, atau feodal, satu hal tak pernah berubah: manusia masih menjadi serigala bagi sesamanya. “Homo homini lupus” kata Thomas Hobbes. Di mulut kita bicara tentang pengabdian, di hati kita menggenggam obsesi menjadi tuan atas saudara kita sendiri.
Maka lahirlah paradoks: manusia disumpah di bawah kitab suci untuk tidak berkhianat pada rakyat dan Tuhan, tapi justru di balik kitab suci itu mereka sembunyikan nafsu memperalat nama Tuhan demi memperkaya diri. Kita menyaksikan bagaimana kepala daerah, penegak hukum, oligarki, elite-elite yang memegang kuasa, mereka lebih takut miskin daripada takut Tuhan. Mereka berani memiskinkan rakyat, tetapi gemetar membayangkan keroposnya rekening pribadi.
Di titik inilah ego menjelma berhala paling nyata. Filsuf Kierkegaard pernah menulis: manusia bukan hanya berdosa karena perbuatannya, tetapi karena menempatkan diri di kursi Tuhan. Sejak awal mula kita diciptakan untuk melayani Tuhan dan sesama, serve and love, bukan rule and devour. Tapi manusia justru berhasrat menaklukkan Tuhan dengan cara menjadi Tuhan bagi sesamanya. Kita merampas otoritas ilahi dengan saling menundukkan, bukan saling mengangkat.
Kalau begitu, apalah arti ideologi? Demokrasi yang mulia, teokrasi yang suci, komunisme yang katanya egaliter, kapitalisme yang menjanjikan kebebabasan semuanya hanya nama kosong tanpa substansi bila manusia tak mengendalikan egonya.
Plato dalam The Republic pernah mengingatkan: keadilan tak lahir dari sistem semata, tapi dari jiwa yang tertata. Kalau jiwa berantakan, negara sehebat apapun akan runtuh oleh kerakusan manusia.
Maka apa yang tersisa? Kita harus menundukkan ego kepada yang Mahakuasa. Menyadari bahwa di atas segala tahta dan jabatan, ada EGO Agung: Tuhan semesta alam. Dialah tatanan tertinggi, penentu batas mana yang manusia bisa kuasai, dan mana yang harus diserahkannya kepada langit.
Tapi seringkali kita menunda tatanan surgawi sampai kematian tiba. Kita berkata, “Nanti di surga kita nikmati kekuasaan penuh Tuhan.” Padahal di bumi fana inilah seharusnya surga itu kita bangun. Pemimpin melayani rakyat, rakyat menghormati pemimpin yang menjadi teladan, saling hidup, saling menghidupkan. Itulah jalan terang — the Divine Light — yang diimpikan para nabi dan filsuf.
Sayangnya, kita lebih suka jalan gelap. Kita biarkan jiwa dikendalikan setan, iblis, ego liar yang menjadikan bumi panggung pembantaian antarmanusia. Kita saling memangsa, saling membunuh, mematikan benih surga, menanam bibit neraka. Kita ciptakan kekacauan, kerusakan, dan kehancuran — padahal Tuhan pernah menitipkan bumi ini sebagai taman peradaban.
Pada akhirnya, semua akan menyebrang. Mati atau kiamat. Semua ego tunduk total, semua kuasa kembali kepada Sang Maha Berkuasa. Pertanyaannya: apa kita siap? Apa kita sudah menata bumi sesuai titah-Nya? Atau kita akan pulang dengan tangan berlumur darah saudara sendiri?
Perenungan ini bukan untuk mengutuk, tapi mengetuk hati. Kendalikan ego sebelum ego mengendalikan kita. Bangunlah tatanan surgawi di bumi, agar kelak kita tidak datang menghadap Tuhan hanya membawa abu sisa kehancuran.