WORD PERS INDONESIA – Pandemi COVID-19 saat ini bukan lagi hanya sekadar fenomena medis sebagai hasil dari interaksi antara agent (SARS-CoV 2) dan host (manusia). Hal tersebut dinyatakan oleh Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Konsultasi Pembangunan Kesehatan (LK2PK), dr Ardiansyah Bahar.
Lebih dari itu, kata dia, pandemi ini telah menjadi suatu fenomena kemanusiaan yang menunjukkan siapa diri kita sebenarnya.
“Tidak butuh waktu lama untuk virus yang berukuran sangat mikro ini menghancurkan sendi-sendi kehidupan umat manusia. Dampak yang dihasilkannya pun secara global, mempengaruhi hampir seluruh negara yang ada di muka bumi,” ujarnya seperti dilansir dari SINDOnews, Kamis (13/5/2021).
Dia melanjutkan pandemi COVID-19 telah menunjukkan wajah asli dari umat manusia, dimana ada sebagian dari kita yang ternyata sangat individualis, bahkan menunjukkan keserakahannya di tengah pandemi ini. Kata dia, pandemi COVID-19 juga telah menunjukkan betapa rapuhnya umat manusia, makhluk yang selama ini mencoba mendominasi bumi dan segala kekayaannya.
“Namun, tidak sedikit juga yang telah menunjukkan semangatnya untuk berbagi dengan sesama dan menjalankan berbagai aktivitas sosial di tengah pandemi ini. Boleh dikata, pandemi telah membuka tabir yang selama ini menutupi berbagai wajah manusia di sekeliling kita,” tuturnya.
Terkait mudik pada Hari Raya Idul Fitri, dia menilai perlu belajar dari pengalaman sebelumnya. Setidaknya, kata dia, ada empat libur panjang yang telah dilalui selama pandemi COVID-19. “Data dari Satgas COVID-19 menunjukkan adanya tren kenaikan kasus setelah periode libur panjang,” imbuhnya.
Pertama, saat libur Idul Fitri tanggal 22-25 Mei 2020. Kata dia, pada tanggal 26-28 Mei 2020 terjadi kenaikan kasus positif harian 68-93% dan kenaikan kasus kematian mingguan 28-66%. Kedua, saat libur Kemerdekaan RI tanggal 17, 22-23 Agustus 2020. “Pada pekan 1-3 September 2020 terjadi kenaikan kasus positif harian 58-119% dan kenaikan kasus kematian mingguan 10-57%,” katanya.
Ketiga, saat libur Maulid Nabi tanggal 28 Oktober-1 November 2020. Dia mengungkapkan pada tanggal 18 November 2020 terjadi kenaikan kasus positif harian 37-95% dan kenaikan kasus kematian mingguan 13-75%.
Terakhir, saat libur Natal dan Tahun Baru tanggal 24 Desember 2020-3 Januari 2021. Dia menjelaskan pada pekan 2 Desember 2020-Akhir Januari 2021 terjadi kenaikan kasus positif harian 37-78% dan kenaikan kasus kematian mingguan 6-46%. Baca juga: Prokes Ketat, Presiden Jokowi dan Ibu Negara Salat Ied Halaman Istana Kepresidenan Bogor
“Masalah yang timbul tentu bukan karena hari rayanya, baik itu Idul Fitri, Maulid Nabi, atau Natal dan Tahun Baru. Tapi cara masyarakat dalam memanfaatkan libur panjang yang menimbulkan mobilitas penduduk secara besar-besaran. Belajar dari pengalaman ini, pembatasan mobilitas penduduk memang harus dilakukan,” ucapnya.
Terkait penanganan pandemi menjelang Idul Fitri, dia berharap kebijakan yang diambil adalah kebijakan yang berbasis sains dan juga konsisten. “Kita harus jujur menilai bahwa banyak kebijakan saat ini yang tidak konsisten. Pembatasan mobilitas yang ada tidak bersifat komprehensif, baik dari sisi waktu dan lokasi,” jelasnya.
Dia melanjutkan larangan mudik pada tanggal 6-17 Mei 2021 malah membuat terjadinya peningkatan arus mudik sebelum tanggal yang dimaksud. Menurut dia, ketatnya larangan untuk berkumpul di rumah orang tua pada hari Lebaran tidak terjadi pada larangan untuk berkumpul di pusat perbelanjaan. “Tidak konsisten dan komprehensifnya kebijakan yang ada berpotensi besar untuk menimbulkan kegagalan dalam penanganan COVID-19 di Indonesia,” katanya.
Lebih lanjut dia mengatakan, selama kebijakan penanganan COVID-19 yang diambil tidak berbasis sains, konsisten, dan komprehensif, maka Idul Fitri tahun depan masih akan dirayakan dalam kondisi pandemi. “Lonjakan kasus seperti di India dan Malaysia juga berpotensi besar terjadi di Indonesia jika kebijakan dari pemerintah tidak tepat dan diperburuk dengan sikap acuh tak acuh dari masyarakat,” tuturnya.
Dalam tinjauan antropologi, menurut dia, terdapat empat kelompok perilaku kesehatan, yaitu sadar melakukan tindakan menguntungkan, sadar melakukan tindakan merugikan, tidak sadar melakukan tindakan merugikan, dan tidak sadar melakukan tindakan menguntungkan. “Kesadaran masyarakat dalam melakukan tindakan yang menguntungkan bagi kesehatan adalah perilaku yang harus dipertahankan,” imbuhnya.
Menurut dia, ketidaksadaran dikarenakan kurangnya pengetahuan ditangani dengan pemberian edukasi. Dia mengatakan, kesadaran dalam melakukan tindakan yang merugikan bagi kesehatan inilah yang harus diintervensi dengan kebijakan yang sifatnya mengikat. “Di sini arti pentingnya kebijakan yang tepat dalam mengendalikan perilaku yang merugikan kesehatan,” paparnya.
Dia menambahkan hakikat kemenangan pada Idul Fitri adalah keberhasilan kita dalam menahan hawa nafsu dan tindakan yang merugikan. Dalam konteks Pandemi COVID-19, kata dia, abainya kita dalam menjalankan protokol kesehatan yang berpotensi menularkan virus akan menciderai kemenangan kita di hari Lebaran.
“Oleh karena itu, mari meraih kemenangan yang hakiki di Hari Raya Idul Fitri dengan menjaga diri agar tidak saling menularkan virus sesama keluarga dan kerabat,” pungkasnya.
Sumber: Sindo
Editor : Redaksi