Menagih Uang, Menahan Ijazah, SMK Ma’arif Banyumas dan Wajah Buram Dunia Pendidikan

Pringsewu, WordPers.ID – Dunia pendidikan kembali memperlihatkan wajah kelamnya. Alih-alih menjadi tempat mencerdaskan kehidupan bangsa, SMK Ma’arif di Pekon Banyumas, Kecamatan Banyumas, Kabupaten Pringsewu, justru diduga menjelma menjadi institusi pemalak masa depan, Kamis (8/5/25).

Dengan dalih tunggakan administrasi, sekolah ini dituding menahan ijazah alumninya. Sebuah tindakan yang tak hanya mencederai nilai kemanusiaan, tetapi juga menginjak-injak hak konstitusional peserta didik.

Ironisnya, ini bukan kali pertama SMK Ma’arif dikeluhkan atas praktik serupa. Beberapa alumni sebelumnya juga pernah melaporkan kasus penahanan ijazah karena belum mampu melunasi biaya administrasi. Namun, suara-suara itu kerap hilang dalam senyap, seakan sengaja diabaikan oleh sistem yang semestinya melindungi.

Kali ini, keluhan datang dari seorang wali murid yang mengadukan nasib anaknya langsung kepada Ketua DPC Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI) Pringsewu, Davit Segara, melalui pesan WhatsApp pada dini hari.

“Izin, Pak Ketua. Ini identitas anak yang saya kabarkan tadi. Ijazah belum dibagikan karena belum melunasi SPP dan biaya lainnya. Mohon bantuannya, Pak Ketua. Terima kasih sebesar-besarnya,” tulis warga tersebut dengan nada memelas.

Anak yang dimaksud adalah Sahrulkhan, alumni SMK Ma’arif angkatan tahun 2023, pemuda asal Pekon Fajar Mulia, Kecamatan Pagelaran Utara.

Ia bukan hanya korban sistem, tapi juga korban keadaan. Sahrulkhan berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi sangat terbatas. Untuk bisa bersekolah saja, orang tuanya harus berjuang keras dari hari ke hari. Kini, setelah lulus, harapan satu-satunya untuk memperbaiki nasib—selembar ijazah—malah disandera dengan dalih administrasi.

Total tunggakan yang membuat hak dasarnya tertahan sebesar Rp2,4 juta, terdiri dari SPP Rp500.000, uang perpisahan Rp900.000, dan uang bangunan Rp1.000.000. Jumlah yang bagi sebagian orang mungkin kecil, tapi bagi keluarga seperti Sahrulkhan, adalah tembok besar yang menjegal langkah awal menuju masa depan.

BACA JUGA:  Pemkot Bengkulu Jalin Kemitraan dengan Pemkab Pesisir Barat

Padahal, dalam dunia kerja dan pendidikan di Indonesia, ijazah adalah syarat mutlak. Tanpa itu, seseorang tidak bisa melamar kerja, tidak bisa kuliah, bahkan tak bisa ikut pelatihan resmi. Maka, menahan ijazah adalah menahan hidup seseorang.

Ini bukan sekadar soal tunggakan, ini soal nurani. Ketika lembaga pendidikan menjelma menjadi aparat penekan, kita patut bertanya ulang: masih adakah keberpihakan pada mereka yang lemah?

DPC KWRI Pringsewu menyatakan tengah menelusuri kasus ini lebih lanjut dan mendesak Dinas Pendidikan serta Yayasan Ma’arif untuk turun tangan. Jangan sampai institusi pendidikan berubah menjadi menara gading yang hanya ramah bagi yang mampu, dan kejam bagi yang tidak berdaya.

Hingga berita ini diturunkan, pihak SMK Ma’arif Pekon Banyumas belum memberikan tanggapan resmi atas upaya konfirmasi dari redaksi WordPers.id. Berbagai jalur komunikasi—telepon, pesan singkat, hingga surat elektronik—belum mendapat respons. Sikap diam ini justru memperdalam kekhawatiran dan mempertegas pentingnya transparansi serta tanggung jawab moral lembaga pendidikan.

Redaksi akan terus mengikuti perkembangan dan membuka ruang bagi semua pihak untuk memberikan klarifikasi secara adil dan berimbang.

(Davit)

Jangan Lewatkan