Mistery Byuto, Cerita Rakyat Serawai dan 7 Harimau Muda

Kabut mulai menebal. Menghalangi pandangan kelap kelip kota Curup dan Kepahiang yang berkedip-kedip bagai kunang-kunang.

Udara dingin mulai menusuk di puncak bukit. Diaz yang sedang menghidupkan api berusaha keras agar daun-daun kering yang lembab bisa menjadi pemicu api untuk menyala dan melalap kayu bakar yang sudah di bawa dari pondok yg tidak jauh dari tenda yang didirikan.

Mata sipit pemuda ini sudah memerah. Dengan usaha yang sedikit keras, tidak lama kemudian api mulai menyala pada daun-daun yang ditumpuk di atas susunan kayu bakar.

Fatur yang mengambil peran menyediakan kopi untuk mengurangi hawa dingin, sudah mulai menuangkan air rebusan rempah-rempah yang membantu menghangatkan tubuh.

Bulan purnama empat belas jam sepuluh malam, menerangi alam, dan cahayanya menerobos daun pokat yang menaungi tempat duduk kami.

Aku dan tiga orang pemuda kampung yang menemani sedang menikmati sajian bukit yang memang sengaja kami datangi. Sebenarnya aku yang memaksa mereka untuk menyertai perjalananku kali ini.

Krak! Ada suara bambu patah di lembah sebelah kiri. Jo yang bertubuh agak kurus, menegakkan kepala. Matanya liar.

Krak, Krak! Dua bambu terdengar patah lagi! Aku melihat tiga pemuda usia dua puluhan ini semakin gelisah.

Krak! Cus…! Jo melompat melewat pucuk-pucuk kopi. Aku kaget! Benarkah yang aku lihat selanjutnya itu pemuda yang menyertaiku sepanjang hari ini? Pemuda humoris tapi sopan itu?

Yang aku lihat selanjutnya adalah liukan seekor Harimau di antara pohon-pohon kopi. Walau berkabut, tapi aku bisa melihat dengan jelas di bawah penerangan sinar bulan.

Aku juga memperhatikan Fatur dan Diaz yang juga mulai liar. Tapi mereka hanya memandangku, selanjutnya saling pandang ketika menemukan aku kaku dan melongo.

Aku terkejut dan tidak percaya.

“Itu… Itu… Itu tadi Jo?” Aku sendiri tidak tahu makna pertanyaanku.

Aaauuummm…! Jelas itu suara harimau. Menggetarkan lembah dan menyusup jelas di pendengaranku. Aku terlonjak dan reflek melompat. Hampir saja kakiku mendarat di bara api, kalau saja tidak segera ditangkap oleh Fatur.

Kabut semakin tebal menyelimuti lembah. Pandanganku semakin terbatas. Bulan purnama tadi berwarna putih, sekarang mulai memerah.

Ada suara lengkingan dari ujung lembah, yang berasal dari suara bambu patah tadi. Aku tidak bisa menerjemahkan bagaimana suara lengkingan itu.

Sementara suara harimau mengaum tidak berhenti. Ketika dingin semakin menusuk, Diaz memaksa aku untuk masuk tenda. Dan gerakan yang sangat cepat, dia membesarkan api.

“Jangan keluar dari tenda, bang! ”

Suara itu antara geraman dan perintah. Belum sempat aku membalikkan tubuh, aku merasakan dua angin kencang meninggalkan tenda.

Aku gemetar. Semua bulu di tubuhku berdiri. Aku tidak berani memandang keluar. Sambil memejamkan mata aku dengan cepat menutup pintu tenda lalu berbaring dengan membungkus diri dengan rapat menggunakan kantong tidur.

Aaauuummmm…. ! Tiga suara harimau bersahutan memenuhi lembah. Suara itu sangat jelas. Lengkingan-lengkingan tanpa bisa aku terjemahkan semakin menggila.

Wus… Wus… Wus… Wus… Banyak angin kencang melewati tenda, hingga tempat yang sempit doyong mengikuti arah angin. Aku memastikan itu bukan angin yang berhembus oleh alam. Angin ini berputar-putar di sekitar tenda.

Auman harimau semakin nyata di telingaku. Dan angin-angin yang membuat tenda bergoyang semakin lama semakin menjauhi tenda menuju sisi lembah yang lain.

Aku benar-benar menggigil. Selain dingin yang semakin dingin, juga oleh bulu tubuh yang meremang.

“Tuhan, ada apa ini?! ” Teriakku sekuat-kuatnya dalam hati.

Hey! Kenapa angin masuk dalam tenda? Semakin lama semakin kencang. Sebelum aku bisa berfikir, tubuhku melayang, semakin lama semakin tinggi dan, wussss….dengan sangat cepat meninggalkan permukaan tanah. Melayang ke angkasa . Memandang dan mengawasi ke bawah.

“Oh, Tuhan, apa lagi ini? ”

Aku tidak bisa mengendalikan diri. Bagai ada yang menguasai diriku, tanpa ada perlawanan sedikitpun dariku.

Dari atas aku melihat ke lembah di bawah sana. Meliuk-liuk di udara. Ketika di bawah sana ada bayangan-bayangan, aku meluncur dan gagal mencapai apa yang aku tuju. Sumpah! Aku tidak tahu yang aku tuju dari bayangan-bayangan itu.

Suara-suara harimau menggema dari bawah lembah. Lengkingan-lengkingan semakin tinggi. Aku yang berada di udara merasakan hawa panas dari bawah sana.

Aku sangat merasakan ketakutan yang sangat hebat. Lidah api dan lidah angin menyambar-nyambar ke udara. Celakanya, beberapa dari lidah api dan angin hampir saja mengenalku.

“Hey, kalian mau membunuhku?!” Aku berteriak ke lembah. Apa yang akan terjadi jika salah satu dari lidah api atau angin itu mengenaiku dan membuat aku terjatuh apa kah aku akan baik-baik saja?

Dasar lembah di bawah sana masih buta sama sekali bagiku. Bebatuan kah, tanaman berduri, atau malah sungai besar dan dalam di bawah pepohonan?

“Piu!” Suara lengkingan yang keras itu mengiringi loncatan seseorang melompati dinding pembatas dengan jurang seberangnya.

Aku bergidik mengingat jalan setapak yang aku tempuh sore tadi. Ternyata apa yang aku lihat tadi sore berbeda jauh dari malam ini. Sore tadi, jalan setapak itu tidak lebih dari dua puluh meter panjangnya. Kedalaman lembah di kiri kanan, paling dalam dua puluh lima meter sudah sampai ke dasar.

Sekarang, panjang jalan setapak itu beratus-ratus meter. Sementara lebar jalannya saat ini, sepertinya hanya setapak kaki, sedangkan tadi sore lebarnya satu meter lebih, menghubungkan satu bukit ke bukit lainnya. Dan kedalamannya tidak bisa aku perkirakan. Pohon-pohon besar menjulang di bawah sana.

Kabut tebal datang lagi. Kali ini benar-benar tebal. Sehingga aku tidak bisa memandang lagi sekeliling. Entah dari mana datangnya, sebuah tangan mencengkeram kakiku dan ditarik ke bawah.

Aku gelagapan. Meluncur ke bawah tanpa bisa bertahan sedikitpun. Aku berharap segera sampai ke dasar, tapi rasanya sudah lama meluncur tapi belum juga sampai-sampai. Aku panik!

Sebuah sambaran datang dari atas dan mencengkeram kepalaku. Ya, Tuhan apa lagi ini? Dua kekuatan seolah berebutan membawa tubuhku. Tangan yang menarik tanganku semakin kuat mencengkeram, begitu juga yang mencengkeram kepala.

“Hoy, aku ini mau kalian apakan?!” Teriak ku pada mereka yang hingga saat ini belum aku ketahui apa dan bagaimana bentuk mereka.

Suaraku dipantulkan oleh dinding lembah dan menggema ke dasar. Sia-sia. Dua kekuatan dengan maksud berbeda beradu kekuatan. Sesaat aku merasakan turun, di lain saat malah naik.

“Woy, kalian siapa?!” Teriakanku kembali menjadi gema.

Pelan dan sangat perlahan, pencengkeram kepalaku bisa membawaku naik. Semakin lama semakin tinggi. Hingga akhirnya di bawa ke tempat tenda didirikan, dan cengkeraman di kepalaku lepas. Aku meluncur dan hampir saja menimpa tenda.

Hingga berada kembali dalam tenda, aku belum mengerti dengan yang terjadi. Bagai orang linglung aku memperhatikan sekeliling tenda.

“Sebenarnya apa yang terjadi?”

Belum lagi aku mendapatkan jawaban, Jo, Fatur dan Diaz kembali. Rambut mereka acak-acakan, pakaian berantakan, dan muka serta tubuh basah oleh keringat.

“Tadi itu apa?” Aku benar-benar penasaran.

Tiga orang yang aku tujukan pertanyaan, bersikap tidak mendengar sama sekali.

Selanjutnya aku ingin menanyakan mereka ini siapa, kenapa tiba-tiba jadi harimau? Tapi, melihat mereka sangat kelelahan, aku urungkan pertanyaan itu.

Diaz yang bertubuh gempal malah membaringkan tubuh pada tanah di depan tenda. Terlihat dia yang paling lelah di antara mereka bertiga.

Jo membersihkan luka di betis kananya, dan Fatur membuka baju.

Aku kembali mendengar suara lengkingan yang belum bisa aku lapalkan. Semakin lama semakin menjauh. Sepertinya lengkingan itu tidak berasal dari satu sumber. Minimal ada tiga pemicu lengkingan itu.

“Mereka ada tiga, bang.” Fatur menjelaskan pertanyaan yang belum aku tanyakan.

“Mereka itu siapa?” Aku penasaran.

“Pengikut Byuto.” Kali ini Jo yang menjelaskan.

Aku mengernyitkan dahi.

“Apa? Boruto?”

“Bukan anime bang. Tapi ini nyata. Byuto. Mahkluk bertubuh manusia tapi berkepala anjing.”

Aku tertawa kecil. Ada-ada saja candaan mereka.

“Sudah ah, abang ngantuk. Abang tidur dulu ya.”

“Duluan saja bang.” Jawab Fatur.

Baru saja akan merebahkan badan, aku mendengar suara langkah-langkah kaki, semakin lama semakin mendekati tenda.

“Assalamualaikum… ”

“Waalaikumsalam…. ”

Dua orang pemuda seumuran pemuda yang sedang bersamaku masuk dalam halaman tenda kami.

Aku melongok melihat siapa yang datang. Rupanya Igo, pemuda yang pertama kali menjemput aku di rumah makan tadi siang. Satunya lagi belum aku kenal.

“Rival, bang… ” Pemuda berkumis ini menyalamiku dan memperkenalkan namanya.

Perhatianku tertuju pada Rival. Ada sesuatu yang menarik perhatianku. Ada goresan di pelipis kirinya. Sepertinya baru saja, karena masih mengeluarkan darah.

“Pipimu kenapa, Val?”

“Oh, ini kena ranting di jalan tadi, bang… ” Jawabnya tenang, sambil meludahi ujung telunjuknya lalu mengoleskan ludah tersebut pada luka goresan tersebut.

Entah mengapa, kantukku semakin berat dan tidak bisa aku tahan lagi. Sebelum aku terpejam, sekilas aku melihat Jo berusaha menghidupkan api agar menyala. Mata Rival lekat memperhatikan aku. Selanjutnya, aku tidak tahu apa-apa lagi.

Ketika bangun pagi, saat merah sunrise semakin lama semakin terang, aku terbangun. Tiga pemuda yang menyertaiku, sudah bangun duluan. Atau malah belum tidur sama sekali?

Igo sedang bergitar. Yang lain menyanyi. Tidak ada Rival di antara mereka.

“Rival mana?” Tanyaku sambil melangkah mendekati mereka.

“Lagi mengambil air di bawah sana, bang.” Jawab Igo sambil mengarahkan dagunya ke lembah sebelah kiri kami.

Aku mau melangkah, bermaksud menyusul Rival, karena aku kebelet mau buang air besar, aku di tahan oleh Diaz.

“Jangan bang. Tempatnya jauh. Curam lagi.”

BACA JUGA:  Saat Kau Telah Mengerti - By Virgoun

“Abang harus ke sungai sekarang ini… ” Sahut ku sambil meringis menahan mulas pada perut.

“Di wc saja bang. Itu di belakang pondok. Airnya sudah aku isi.” Perintah Jo.

Aku menurut. Sebelum masuk toilet ala kadarnya, aku melihat bayangan Rival menaiki tebing sambil membawa dua geirigik (tempat membawa air dari bambu).

Di saat bersamaan, dia juga melihat ke arahku. Dia tertegun melihatku dengan sinar mata yang tajam. Aku langsung merinding melihat pancaran mata tersebut.

Buru-buru aku masuk lalu menutup pintu dengan cepat. Selama melepaskan penyebab sakit pada perutku, aku mengumpulkan ingatan pada kejadian tadi malam. Tapi tidak satupun yang dapat aku cerna. Termasuk pandangan Rival tadi malam dan baru saja.

Sesaat aku merinding. Buru-buru aku menyelesaikan hajatku. Ketika membuka pintu, mataku langsung melihat sosok Rival. Matanya sangat tajam.

Tanpa menutup pintu, aku bergegas meninggalkan tempat ritual ku pagi ini sambil membenahi celana. Setengah berlari aku menuju tenda. Mengambil rokok, menyalakannya, menghisap dalam-dalam, sekedar menurunkan degup jantungku.

Rival sampai ketika aku menghirup kopi yang sudah disediakan. Kali ini matanya biasa saja. Sedikit membuat aku tenang.

“Kakek pemilik pondok di mana, ya?”

Aku bertanya karena sejak sore kemaren, setelah menemani kami dengan ramah untuk makan bersama, aku tidak pernah melihatnya lagi.

Tidak ada yang menjawab walaupun sudah agak lama menunggu. Aku tidak menanyakan lagi, dan mengambil kesimpulan, mereka menganggap pertanyaanku tadi tidak penting bagi mereka.

Perlahan, sinar matahari semakin terang. Mengusir sebagian kabut. Dan yang tertinggal, membentuk gumpalan-gumpalan awan. Aku mengambil hand phoneku lalu mengambil beberapa video. Merekam keindahan pagi di Bukit Macan ini.

Suasana hening. Tidak ada suara burung ataupun suara yang lain. Hanya denting gitar yang dipetik oleh Igo.

Rival duduk menyendiri, menjauh dari kami. Aku tidak berani memperhatikan lebih.

“Apa yang terjadi?” Pertanyaan ini semakin menguasai otakku dan meninggalkan misteri yang entah kapan mendapat jawabannya.

Ketika matahari makin tinggi, aku berdiri, ingin mengelilingi bukit yang baru pertama kali aku kunjungi. Langkah kaki aku arahkan pada rimbun pepohonan bambu. Semakin lama semakin masuk ke dalam.

Ada ceceran berwarna merah di depan. Aku berjongkok, menyentuh dengan ujung telunjuk.

“Darah… ”

Untuk membuktikan, aku mendekatkan ke hidung. Seketika bulu kuduk ku merinding. Aku perhatikan ceceran darah tersebut yang mengarah jalan yang akan aku tempuh.

Semakin lama, seluruh tubuhku semakin membuat aku tidak nyaman. Satu sisi hatiku penasaran dengan ceceran darah di depan, sisi lain menyuruh aku untuk kembali.

Kresek! Ada suara daun bambu terinjak di balik rimbunan pokok bambu sebelah kiri. Aku tidak bisa bergerak. Suara pada daun bambu semakin dekat. Ketika ada bayangan tertangkap oleh mataku, hand phoneku bergetar keras dengan melodi yang memekakkan telinga.

Bayangan hilang. Getar dan melodi seketika menghilangkan rasa meremang pada tubuhku dan membuat aku berbalik.

Aku melihat layar, rupanya Fatur menelpon. Dengan telunjuk aku menggeser ke atas layar hand phone.

“Halo, iya, ada apa, Tur”

“Abang di mana?”

“Di bambu-bambu.”

“Mau ke mana?”

“Jalan-jalan saja.”

“Abang kembali lagi ke tenda. Sekarang!” Perintah Fatur dengan tegas. Lalu menutup telpon.

Tanpa sempat bertanya lagi, dan tanpa ada bantahan, aku segera meninggalkan tetesan darah. Aku berlari-lari menuju tenda. Hanya untuk sekedar menguji daya tahan nafas.

Tersengal-sengal aku sampai pada rombongan. Semuanya memandang lega ke arahku. Membuat aku penasaran.

“Ada apa?” Aku ingin arti jawaban dari pandangan mereka.

“Jika ketemu seperti yang tadi, abang harus kembali!” Kalimat Rival penuh emosi. Aku tertegun. Jantungku berdegup keras.

Aku ingin bertanya lebih lanjut, tapi mata Jo mengisyaratkan untuk jangan bertanya.

Dengan kesal Rival meninggalkan kami. Melompat menuju arah aku menemukan tetesan darah tadi. Aku tersinggung. Apa bedanya aku dengan dia? Aku disuruh mundur dan dia malah mengejarnya? Memangnya dia lebih hebat dari aku? Dasar bocah, mau pamer! Aku mengumpat dalam hati.

Dari seberang hutan bambu, kami mendengar suara lolongan anjing yang mengaing. Semakin lama kaingan itu semakin jauh.

Diaz, Jo, Fatur dan Igo tidak terpengaruh dengan suara itu. Mereka masih dengan kegiatan masing-masing. Ada yang menyeruput kopinya, ada yang menghisap rokok dalam-dalam sementara Igo masih bergitar dengan lagu lawasnya, dan Jo menyiapkan kopi untukku.

Angin kencang membawa Rival mendarat di antara kami. Ada darah menetes dari jari-jari tangan. kanannya. Bukan darahnya, mungkin darah anjing yang terkaing-kaing tadi.

Hingga kejadian yang baru saja, aku semakin tidak tahan lagi untuk bertanya. Tapi selalu saja ada kekuatan yang tidak terlihat yang mengurungkan pertanyaan-pertanyaan untuk dilontarkan

Baiklah, aku tunda dulu pertanyaan-pertanyaan ini. Mungkin belum pantas aku tanyakan saat ini. Mengingat baru pertama kali kami bergabung dan masing-masing pribadi masih misteri bagiku.

Siang dengan panas matahari, pada tepat tengah hari, Makan siang sudah disiapkan oleh Jo dan Rival. Aku tidak begitu nafsu untuk makan. Selain memang aku tidak lapar, juga pikiran yang memenuhi otakku menghambat nafsu makanku. Walaupun alam sangat mendukung nafsu makan sebenarnya

Aku menikmati makan siangku tanpa ada keinginan untuk makan, hanya menghargai yang sudah memasak dan yang lainnya yang sudah kelihatan sangat lapar.

Prank! Piring yang ada di tanganku terlepas dan menimpa gelas di bawahnya. Darah yang tiba-tiba ada di atas nasiku mengejutkan aku.

Hueks! Aku muntah. Muntahku juga darah. Semua pori-pori di lenganku juga merembesi darah.

Jo langsung melompat dan menyentuh beberapa bagian pada tubuhku. Sepertinya menotok titik tertentu untuk menghentikan darah pada tubuhku, karena perlahan tidak ada lagi darah yang keluar dari pori-pori maupun muntahan.

Aku dibopong masuk tenda. Semua orang menghentikan makan siangnya. Dan berubah pada posisi berjaga-jaga.

Dari bawah lembah, tempat suara patahan bambu tadi malam berasal. Ada suara tetabuhan yang suaranya sangat lantang. Suara itu seperti genderang perang disertai suara lolongan-lolongan anjing.

Jo merangkul tubuhku, dan melompat menjauhi tenda. Melewati jalan yang kami tempuh kemaren sore. Ketika mendekati jalan setapak pada dinding pembatas dua lembah yang berbentuk jurang, Jo memindahkan aku ke punggungnya dan selanjutnya aku berpegangan pada punggung seekor harimau yang berlari kencang menyusuri jalan setapak menuju desa.

Aku melirik ke belakang. Ada empat harimau menyusul kami. Satu harimau belang, dua harimau putih, dan satu harimau kumbang. Sambil memegang erat-erat punggung Jo yang merupakan harimau belang, aku menerka-nerka sosok siapa saja dari bentuk harimau-harimau di belakang.

Jalan yang kami tempuh sekarang berbeda dari jalan kemaren sore. Kalau kemaren sepanjang jalan adalah pohon-pohon kopi, sekarang kami menempuh hutan dengan pohon-pohon besar. Udara hutan yang basah menjadi lembab.

Dengan kecepatan penuh lari seperti sekarang, perkiraanku, harusnya kami sudah sampai di perkampungan. Tapi kami masih menembus hutan berlumut tebal. Jauh di depan ada cahaya menerobos sela-sela dedaunan. Dan ke sanalah tujuan kami. Harimau-harimau ini mempercepat larinya dan berhenti di tengah-tengah lapangan yang tidak begitu luas. Mungkin sedikit lebih luas dari dua lapangan volley.

Kami berhenti tepat di tengah-tengah lapangan tersebut. Sesaat kemudian, harimau-harimau tersebut berubah. Harimau hitam berubah menjadi Fatur dan harimau putih berubah ke sosok dan Rival. Harimau belang yang bertubuh agak sedikit lebih langsing bertransformasi ke Igo.

Aku mengucek-ngucek mataku. Tidak yakin pada penglihatan. Manusia harimau selama ini hanya ada dalam bacaan dan sinetron, tapi siang panas disertai hujan ini, aku melihat sendiri, dan mereka semuanya masih sangat muda dan dari desa yang sama. Berasal dari keluarga yang masih ada keterkaitan kekeluargaan.

Aku bertekad, mulai saat ini, aku harus tahu lebih banyak tentang mereka, tentang desa mereka, tentang ceceran darah yang membuat Rival marah padaku dan mengapa aku bisa melayang-layang di udara tadi malam.

Ups, aku tidak melihat Diaz. Di mana dia sekarang? Baru saja aku memikirkan sosok pemuda yang paling muda di antara yang lain, seekor Harimau putih lain muncul di sampingku, dan berjalan melenggang. Selanjutnya merubah diri menjadi sosok gempal Diaz.

“Mereka bingung ketika menemukan tenda kita kosong. Dan sudah kembali ke hutan bambu hitam di seberang bukit.”

Laporan singkat harimau yang masih sekolah ini tentang sebab kami meninggalkan tenda dengan buru-buru.

Aku duduk di pinggir lapangan, dan Rival di sampingku.

Di tengah-tengah lapangan berdiri Igo dan Jo. Dua pemuda ini siap dengan kuda-kuda bertarung, aku kira. Mungkin mereka akan latihan.

Dua harimau belang ini mau bergerak, dua angin yang datang bersamaan, berhembus sesaat. Tiba-tiba, ada sosok pemuda lain masuk dan berdiri di tengah-tengah antara dua pemuda yang siap bertarung.

Rupanya Aldhan dan Desta, dua pemuda yang menyebabkan aku ada di desa mereka. Aldhan dan Desta adalah juniorku di dunia seni.

“Abang kami undang ke desa kami, bang.” Demikianlah kalimat awal yang kemudian membuat aku memutuskan meninggalkan kota dan meninggalkan kesibukanku.

“Pelabar ini hanya digunakan pada malam hari.”

Ada nada teguran dari mulut Aldhan yang mengurungkan niat latihan dua harimau Sumatera yang saat ini melangkah ke pinggir lapangan.

“Pelabar itu apa?” Tanyaku pada Rival.

“Lapangan ini adalah pelabar. Lapangan tempat latihan silat khas Rejang dan Serawai.” Penjelasan Rival ini membuat aku mengangguk-angguk.

Tanpa ada tanda, Rival memanggul aku di punggungnya. Berlari mengikuti enam ekor harimau di depan. Berlari entah ke mana tujuannya.

Penulis: Bagus SLE

Posting Terkait

Jangan Lewatkan