Nadiem dan Murid di Desa Pedalaman

Oleh Bagus SLE |

Kabar terbaru, mendikbud di desak mundur oleh DPR dari fraksi PAN. Hal ini disebabkan dengan mundurnya NU, Muhammadiyah dan PGRI dari Program Organisasi Pendamping (POP) si menteri. Dipicu oleh kebijakan Nadiem yang memberikan dana hibah 20 milyar pertahun kepada dua yayasan perusahaan besar dan kaya milik Putra Sampoerna dan Tanoto.

Selain dari ketersinggungan dua organisasi besar yang telah membentuk manusia Indonesia melalui pendidikan sejak jaman penjajahan dulu, NU dan Muhammadiyah, menurut Saleh Partaonan Daulay, belum ada prestasi mencolok dari pendiri transportasi online tersebut, terlebih dalam masa pandemi sekarang.

Nadiem dengan latar belakang pendidikan sarjana Hubungan Internasional dengan gelar MBA, mestinya punya terobosan yang mumpuni dalam membentuk wajah pendidikan Indonesia, bukan dengan semakin memberatkan orang tua murid, dan harusnya juga memikirkan ketidakmerataan fasilitas belajar bagi warga yang berada di pedesaan dan pedalaman yang ekonominya dibantai oleh wabah ini.

Melihat banyaknya keluhan orang tua murid yang setiap hari muncul di beranda FB, mempermasalahkan kebijakan belajar di rumah, sepertinya memang ada masalah dalam kebijakan tersebut.

Kebijakan Nadiem sebagai mendikbud tidak memikirkan kualitas pendidikan dan kemampuan secara ekonomi serta tingkat pendidikan orang tua siswa. Kebijakan ini hanya menguntungkan bagi para pebisnis daring, operator kuota, perusahaan yang mengeluarkan android dan semua yang berhubungan dengan keuntungan bisnis dalam ‘kebiasaan baru’ yang kabarnya akan dipermanenkan ini.

Sebelum gembar gembor wabah saja, banyak orang tua murid yang harus keluar sebelum azan subuh dan pulang setelah azan maghrib demi membiayai kebutuhan sehari-hari dan pendidikan anak-anak mereka, agar bisa hidup lebih baik. Dan, bagaimana dalam situasi seperti sekarang ini?

Membaca status-status fb kaum ibu yang tidak bisa fokus antara kewajiban mengurus rumah tangga dan mendampingi anak dalam belajar, membuat kita berfikir, memang sekolah dan guru sangatlah penting. Karena masing-masing memiliki peran pada bidangnya.

Orang tua mendidik dan mempersiapkan moral, sosial dan agama, sedangkan guru pada peningkatan pendidikan di bidang lain, sains misalnya. Dan itu tidak cukup dengan belajar melalui android di tangan.

BACA JUGA:  Pers Watch Dog Pemerintah, Penjaga Kedaulatan Rakyat ?

Jangan lupa, ikatan batin antara guru dan murid sangat penting bagi anak dalam menyelesaikan pendidikan. Ikatan batin ini menimbulkan rasa hormat, segan dan sayang dari para murid. Ikatan yang sangat indah ini berusaha dijauhkan dan diganti dengan sebuah benda.

Sayangnya, yang kehidupannya lebih beruntung secara finansial dan taraf pendidikan, malah ikut mencemooh curahan hati kaum marjinal. Bagi mereka membeli android, kuota dan mendampingi belajar anak tidaklah masalah. Apakah mereka tidak menyadari, sebagian besar penduduk Indonesia belum seberuntung mereka? Semoga mereka, mendikbud, pejabat dan semua orang, memiliki penilaian sosial yang berkeadilan.

Kebiasaan baru dunia pendidikan ini kabarnya malah akan dipermanenkan. Di manakah letak kelebihan dan keunggulannya selain keuntungan bisnis yang terlibat? Tidak ada, justru kekuranganlah yang banyak dikeluhkan oleh masyarakat Indonesia

Keputusan bijak dan menyentuh hati banyak masyarakat sangat ditunggu dari meja Nadiem Makarim. Misalnya membagi jam masuk setiap kelas, menjadi dua. Otomatis kehadiran setiap kelas menjadi 50℅ seperti himbauan kepada transportasi umum dan fasilitas umum lainnya.

Untuk sekolah yang memiliki sedikit murid, seperti di daerah pedalaman, hal ini tidak perlu, karena muridnya sedikit.

Sebelum masuk gerbang sekolah, setiap orang dicek suhu tubuh, dan setiap sekolah menyediakan tempat cuci tangan berikut sabun, serta mengharuskan setiap anak dan semua orang menggunakan masker.

Bagaimana dengan jam istirahat guru? Atur jam mata pelajaran.

Ini ilustrasi sederhana saja, tentu pak mendikbud bisa mencari jalan terbaik dan terindah bagi seluruh rakyat Indonesia, pemikiran dan keputusan kelas menteri. Kan menteri, bukan seperti saya, yang hanya tukang seduh kopi.
“””””””””””””””””””””””””””””””””””””””””
Penulis selain sebagai Tukang Kopi di Pantai Panjang yang menjadikan tempat usahanya sebagai rumah singgah dan ‘kampus terbuka’, juga sebagai traveler, youtuber, bloger, seniman dan sastrawan, juga beberapa kali mengisi materi dalam seminar-seminar di kampus.

Posting Terkait

Jangan Lewatkan