New Normal: Cara Baru Hidup Ambyar

Oleh: Nu’man Iskandar

Sekarang orang menjadi latah menyebut dan menggunakan istilah “new normal“. Sayangnya, istilah ini justru paling sering digunakan oleh para pejabat negara yang harusnya menjadi teladan dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahasa Indonesia kita, rusak oleh anak bangsa sendiri.

Apakah ‘saking‘ (terlalu -red) miskinnya bahasa Indonesia kita sehingga istilah “new normal” yang justru dipilih dan digunakan untuk mendeskripsikan sebuah kondisi baru menghadapi wabah virus Corona ini. Atau memang sudah ada perasaan rendah diri berbahasa Indonesia dengan baik baik dan benar, sehingga merasa tidak ‘keren’ lagi. Seringkali ada semacam perasaan jika tidak campur ‘nginggris‘, rasanya tidak shahih dan bukan intelektual.

Bahasa Indonesia sering hanya dibangga-banggakan, tapi dalam praktiknya sering kali ditinggalkan oleh anak bangsa sendiri yang harusnya menjaganya dalam setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Nasionalisme penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar hanya untuk kebutuhan upacara-upacara an sich. Tidak lebih, tidak digunakan pada keseluruhan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Merumuskan Istilah

Dari sisi istilah saja, pada saat kita menyebut “new normal“, kita telah kehilangan identitas bahasa nasional kita, bahasa yang harusnya menjadi bahasa kebanggaan ini. Tapi mau bagaimana lagi, soal penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, kita sudah ambyar. Aturan pemerintah tentang kewajiban menggunakan bahasa Indonesia yang baik ini sering dilanggar sendiri oleh aparatnya.

Karena itu, sudah seharusnya istilah “new normal” ini diganti dengan bahasa yang memang menjadi identitas negara kita ini. Mengapa harus diganti dengan istilah baru? Selain tentu saja sebagai jati diri kita, juga pada siapa lagi kita mengharapkan bahasa Indonesia ini dijaga jika bukan oleh anak bangsa sendiri.

Kondisi “new normal” ini sebenarnya hampir mirip seperti sebuah kondisi pada laki-laki dan perempuan lajang yang kemudian mereka memutuskan menikah. Karena sebelumnya mereka hidup sendiri dan kemudian berdampingan, maka mereka memasuki hidup kehidupan baru. Karena itu, ucapan selamat atas sebuah pernikahan sering digunakan istilah “selamat menempuh hidup baru”.

Sebelum ada virus corona, kita nyaman dengan kehidupan kita masing-masing. Namun sekarang, sebagaimana menurut petunjuk bapak Presiden bahwa kita harus berdamai dengan corona. Ini artinya, kita akan hidup berdampingan dengan virus corona secara sah, meski tanpa ikatan.

Melihat ini, harusnya kita tidak lagi digunakan istilah “new normal“, tetapi kita bisa gunakan istilah “hidup baru”, “damai baru” atau bahkan kita adaptasikan dalam bahasa kita dengan “hidup nomal baru”.

Hidup Baru Ambyar

Selain terkait soal istilah yang digunakan, juga terkait dengan fakta kondisi nyata kebijakan pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi wabah virus corona ini. Jika kita mau jujur, negara kita ini ada dalam wajah yang amburadul. Tingkat kerusakannya sudah pada tahap TSM, makna lain dari terstrukrur, sistematis dan masif akibat politik pragmatis.

Menghadapi wabah ini sebenarnya kita punya UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Kita juga punya UU No. 23 tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk Pertahanan Negara atau sering disebut UU PSDN atau Bela Nagara. Sayangnya kedua UU ini tidak digunakan. Nasib kedua UU ini, jangankan ditengok, dilirik pun tidak.

Maka lahirlah aturan baru yang kita kenal dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Aturan baru yang dibuat terburu-buru ini malah seringkali menimbulkan konflik pada ranah implementasi. Sebagai salah satu contoh kasus yang menimpa Habib Umar Assegaf di Surabaya beberapa waktu yang lalu, itu contoh penerapan kegagalan aturan PSBB yang membingungkan.

BACA JUGA:  Jelang Rapat DPR RI Bahas "Transaksi 349 T", Presiden RI Panggil PPATK dan Menkopolhukam

Era hidup normal baru saat ini adalah kita musti mampu beradaptasi dengan berbagai paradoks. Paradoks inilah yang menjadi kunci hidup normal baru. Ini artinya, jika tidak ada paradoks maka hal itu tidak bisa disebut hidup normal baru.

Hal ini bisa kita lihat, kebijakan pemerintah kita yang seringkali tumpang tindih, saling anulir, dan tidak konsisten atau sering berubah-ubah menjadi inti “hidup normal baru”. Contoh lain misalnya, jika nanti tidak ada lagi kebijakan yang saling anulir, berarti itu bukan era “hidup normal baru”. Ini artinya, jika nanti ada kebijakan yang tidak lagi tumpang tindih, berarti tidak termasuk “hidup normal baru”.

Paradoks sebagai inti dari hidup normal baru ini dapat kita saksikan dari kebijakan apa yang dihasilkan selama pandemi ini. Beberapa Undang-Undang yang dihasilkan dan dibahas selama ini, sama sekali justru tidak berkaitan dengan bagaimana secepatnya mengatasi dan menyelesaikan penyebaran virus corona ini.

Banyak sekali kebijakan gelap yang justru menumpang pada saat pandemi ini. Lihatlah Perppu No.1 tahun 2020 ini yang disebut-sebut sebagai Perppu untuk mengatasi wabah corona ini, ternyata isinya justru lebih banyak membahas sesuatu yang lain, seperti upaya penyelamatan ekonomi yang tidak ada kaitan dengan corona.

Anggaran untuk pencegahan dan penanggulangan corona, hanya sepersekian persen dari 400 triliun anggaran yang digeser dan diubah tersebut. Hanya saja, anggaran yang sangat kecil ini sering tidak dilihat. Mengapa? Karena anggaran 400 triliun itu dikasih jubah sebaga anggaran mengatasi corona, dan inilah yang justru dibesar-besarkan seolah-olah itulah anggaran sesunngguhnya. Masyarakat terbutakan oleh besaran anggaran ini.

Ini belum lagi terkait dengan mekanisme penganggaran DPR yang dikebiri dengan kelahiran Perppu tersebut. Hak anggaran yang dimiliki DPR juga diamputasi begitu saja. Lahirnya Perppu No. 1 tahun 2020 ini adalah pembuka kebijakan dari “hidup normal baru”.

Kebijakan lain pada saat masa Pandemi ini, Pemerintah dan DPR tiba-tiba “ngebut” menuntaskan UU Minerba yang baru sebagai UU tentang Perubahan atas UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang disahkan dalam Sidang Paripurna pada Selasa 12 Mei 2020 lalu. UU yang lahir untuk melayani oigarki dibanding kebutuhan rakyat sendiri.

Beberapa UU tersebut menambah daftar penumpang gelap kebijakan selama pandemi. Banyak sekali kebijakan selama masa pandemi ini yang “colong playu”, beroperasi dengan menggunakan kesempatan dalam kesempitan karena bekerja diruang gelap demokrasi.

Apakah UU tersebut sah? Karena semua telah dipakaikan jubah formalisme, tentu saja UU dari kebijakan “colong playu” tersebut sah menurut hukum. Sekali lagi, dasarnya ada formalisme. Soal substansi yang berseberangan dan merugikan masyarakat banyak, itu soal dan hal lain. Bagi oligarki politik hal itu tidak penting.

Hidup normal baru ini kita ini ditandai dengan banyak paradoks kebijakan, dicirikan dengan kebijakan colong playu. “New normal” adalah cara hidup baru ambyar.

Sama seperti ambyarnya hati para fans Siti Nurhaliza, yang tiba-tiba tanpa izin kepada para fans menikah dengan Datuk Seri Khalid Mohamad Jiwa, laki-laki yang memiliki status duda dengan 4 orang anak. Apalagi sebelumnya Siti Nurhaliza sudah berikrar tidak akan menikah dengan laki-laki berkumis. Ambyar.

Salam Brutal

Salam Ambyar