Pringsewu, WordPers.ID – Di tengah geliat aktivitas ekonomi rakyat, satu sudut kota Pringsewu tetap menjadi potret ironis dari pembangunan yang timpang. Pasar Sarinongko, yang semestinya menjadi jantung perekonomian masyarakat kecil, justru menjadi etalase kegagalan manajemen publik. Alih-alih dibenahi, pasar ini dibiarkan tenggelam dalam kubangan masalah yang tak kunjung selesai, Minggu (11/5/2025).
Becek, bau, dan semrawut. Itulah kesan pertama yang langsung menyergap siapa pun yang melangkah ke kawasan pasar ini. Jalan berlubang, tanah urug asal jadi, drainase jebol, hingga genangan air kotor yang dibiarkan berserakan, seolah menjadi bagian dari “identitas visual” pasar. Bahkan, tak jarang pengunjung harus memilih antara membeli kebutuhan pokok atau menyelamatkan sepatu mereka dari lumpur hitam tak bersahabat.
“Sudah dari dulu begini. Kalau ada perbaikan pun cuma sebentar. Hujan sedikit, rusak lagi. Kita capek mengeluh,” ungkap Kinarti (47), pedagang sayur yang setiap hari membuka lapak di atas lantai yang nyaris tak lagi layak disebut tanah.
Dalam setiap kampanye dan forum publik, pemerintah Kabupaten Pringsewu kerap mengklaim peduli terhadap sektor UMKM dan pasar tradisional. Tapi jika bicara realisasi, Pasar Sarinongko adalah saksi bisu dari bagaimana janji politik seringkali hanya menjadi alat retorika, bukan peta kerja nyata.
Tak hanya soal estetika dan kenyamanan, kondisi ini juga menimbulkan persoalan serius di bidang kesehatan. Sampah yang dibiarkan menumpuk, comberan yang meluap ke area jual beli, dan bau menyengat yang tak kunjung hilang menjadi sumber potensi penyakit. Sayangnya, belum terlihat upaya sistematis dari pemerintah daerah untuk menyelesaikan persoalan ini dari akarnya.
Padahal, revitalisasi pasar bukan sekadar proyek fisik. Ia mencerminkan keberpihakan negara pada ekonomi kerakyatan. Ketika pasar dibiarkan rusak tanpa solusi jangka panjang, yang rusak bukan hanya infrastruktur, tapi juga kepercayaan masyarakat pada niat baik pemerintah.
Sudah saatnya Pemkab Pringsewu berhenti memperlakukan pasar sebagai proyek dadakan menjelang pemilu. Dibutuhkan komitmen politik yang serius, pengelolaan anggaran yang transparan, serta keterlibatan aktif warga dalam perencanaan tata kelola pasar.
Karena jika tidak, Pasar Sarinongko akan terus menjadi panggung sandiwara, tempat rakyat berjualan di tengah lumpur, sementara para pemangku kebijakan duduk manis menonton dari tribun dengan nyaman dan kering, tentu saja.
( Davit )