Pringsewu, WordPers.ID ( OPINI) – Kalau pemerintah daerah sedang rajin membangun, wajar kita senang. Tapi kalau angka yang dihabiskan bikin jidat mengerut, rasa senangnya mendadak kalah oleh rasa curiga. Enam proyek puskesmas di Pringsewu ini misalnya dari judulnya saja sudah terdengar manis, demi kesehatan rakyat. Tapi dari nilainya, siapa tahu yang benar-benar sehat justru isi rekening pihak tertentu.
Tender sudah dilakukan lewat SPSE. Katanya pakai harga terendah. Tapi kita semua tahu, harga terendah itu kadang hanya drama awal sebelum biaya membengkak diam-diam. Di dunia nyata, harga murah belum tentu hemat, dan harga mahal belum tentu mewah. Bedanya, kalau ini proyek pemerintah, uangnya bukan dari dompet pribadi, tapi dari keringat pajak rakyat yang sering kali tak ikut diajak musyawarah.
Menurut standar SNI 2008, membangun puskesmas bisa tembus Rp 3 miliar. Itu untuk bangunan lengkap, bukan sekadar ruangan seadanya. Tapi di Pringsewu ini, empat puskesmas pembantu nilainya cuma Rp 876–877 juta per unit. Murah? Jangan buru-buru percaya. Dengan uang segitu, orang sudah bisa bangun rumah pribadi dua lantai, ada garasi, ruang tamu lega, dapur modern, sampai taman mungil buat santai sore. Tapi yang dibangun ini hanyalah pustu kecil, yang kalau difoto dari jauh, malah mirip rumah kontrakan agak besar. Jadi, yang hemat ini anggarannya atau yang dihemat itu kualitasnya?
Dan lihat saja papan proyek Puskesmas Pembantu Sumberejo nilainya tepat Rp 878.839.000 untuk 90 hari kerja. Artinya, proyek yang nilainya nyaris setara satu rumah mewah ini harus rampung dalam waktu tiga bulan. Logikanya, dengan waktu sesingkat itu dan nilai sebesar itu, hasilnya seharusnya tidak hanya kokoh, tapi juga punya standar fasilitas yang benar-benar layak untuk masyarakat. Tapi kalau nanti hasilnya hanya bangunan biasa dengan fasilitas seadanya, maka yang luar biasa hanyalah cara menghabiskan uang rakyatnya.
Penambahan ruangan di Puskesmas Banyumas sampai menghabiskan Rp 1,18 miliar. Kalau cuma nambah dua ruangan, harga segitu bisa bikin dindingnya dilapisi marmer, pintunya dari kayu jati, dan atapnya mungkin dilengkapi panel surya. Tapi sayangnya, kita tahu itu jarang terjadi. Yang sering terjadi justru biaya tinggi untuk hasil biasa-biasa saja, dengan bonus cerita sudah sesuai spesifikasi yang diulang-ulang seperti kaset rusak.
Dan yang paling bikin mata membesar adalah relokasi Labkesda senilai Rp 10,97 miliar. Angka itu kalau dibelikan rumah, bisa satu komplek full AC. Kalau dibelikan ambulans, bisa bikin iring-iringan panjang yang dikira pawai kemerdekaan. Tapi ya namanya proyek, semua pasti ada alasan teknis yang sulit dibantah, apalagi kalau sudah dibungkus laporan tebal dan tanda tangan pejabat.
Semua ini tentu harapannya untuk rakyat. Katanya untuk meningkatkan layanan kesehatan. Tapi pengalaman mengajarkan, bangunan bisa saja megah, plakat peresmiannya kinclong, tapi rakyat tetap harus antre panjang dan membeli obat di luar. Jadi wajar kalau kita bertanya, ini benar-benar untuk kesehatan masyarakat atau cuma untuk menjaga kesehatan anggaran yang mengalir ke kantong tertentu? Rakyat punya hak untuk tahu, dan jawabannya seharusnya bukan sekadar paragraf resmi yang manis di kertas tapi pahit di kenyataan.
Kalau pemerintah mau membuktikan bahwa semua ini murni demi rakyat, maka jawabannya mudah: buka semua dokumen secara transparan, biarkan publik mengakses rincian biayanya, dan tunjukkan progres pembangunannya tanpa sensor. Karena kalau rakyat terus dibuat buta, jangan salahkan kalau di warung kopi orang mulai membicarakan proyek ini bukan sebagai “peningkatan layanan kesehatan”, tapi sebagai “peningkatan layanan kesehatan dompet”. Dan sekali rakyat sudah menganggap begitu, sakitnya tidak bisa diobati oleh puskesmas manapun.