“Seluma Dijual Demi Emas: Wakil Rakyat dan Kepala Daerah Tuli terhadap Jeritan Bukit Sanggul”

Ironi sedang dipertontonkan di Kabupaten Seluma. Rapat paripurna tanggal 1 Juli 2024 terjadi pengesahan perda RT/RW mendukung tambang emas di Kabupaten Seluma.

Di tengah gelombang suara rakyat yang semakin lantang menolak tambang emas di Bukit Sanggul, yang diyakini akan menjadi bom waktu bencana ekologis—justru mayoritas wakil rakyat dan kepala daerahnya serempak mengamini rancangan tata ruang wilayah (RTRW) yang membuka jalan legalisasi tambang.

Dari delapan fraksi di DPRD Seluma, hanya Fraksi PKS yang berdiri sendiri menolak pengesahan perda ini.

Publik pun bertanya: untuk siapa mereka bekerja? Untuk rakyat, atau untuk pemilik modal?

Demokrasi yang Diserahkan pada Kepentingan Oligarki

Ketika suara-suara kritis hanya tinggal satu di tengah koor kepatuhan, itulah tanda bahwa demokrasi tak lagi sehat. Fraksi PKS lewat Hj. Yusnaini menyuarakan satu penolakan bernalar, dengan tujuh alasan mendasar dan sepuluh catatan kritis. Tapi logika dan etika itu tenggelam dalam arus mayoritas yang sudah lebih dulu mengunci sikap—dengan atau tanpa nalar.

“Kami dari Fraksi PKS menolak Raperda RTRW diturutkan menjadi Perda, karena di sini kami ada 7 unsur yang menyebabkan kami menolak Raperda ini dan ada 10 catatan yang menjadikan landasan kami untuk menolak Raperda ini, itu secara garis besarnya soal tambang emas, mungkin kami satu-satunya fraksi yang menolak namun dengan kesepakatan ini kami juga menghargai dan menghormati keputusan ini dan kami ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan Perda ini,” terang Yusnaini.

Filsuf klasik seperti Hannah Arendt mengingatkan bahwa bahaya terbesar dalam kekuasaan adalah banalitas kejahatan, di mana kebijakan destruktif bukan dijalankan karena niat jahat semata, tapi karena ketaatan buta terhadap prosedur dan sistem yang dikendalikan kepentingan modal. Mereka bukan pelaku utama kehancuran, tapi eksekutor administratif yang tunduk pada “arahan atas.”

Emas yang Berujung Bencana

Tambang emas yang diklaim bisa meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), justru berpotensi menjadi musibah abadi. Rakyat Seluma bukan menolak kemajuan, tapi menolak kehancuran yang dibungkus jargon pembangunan. Kita tahu, tambang emas selalu menyisakan kisah suram: air tercemar merkuri, lahan kritis, banjir bandang, dan konflik horizontal.
Bukit Sanggul adalah wilayah hulu yang menjaga keseimbangan ekologis. Merusaknya sama saja dengan merobek paru-paru Seluma.

BACA JUGA:  Sukseskan Pemilu 2024, RRI Bengkulu Akan Gelar Dialog Interaktif "Parlemen Menjawab"

Ketika Kekuasaan Mengabaikan Rakyat

Ucapan Wakil Ketua DPRD Samsul Aswajar yang menyebut “PKS punya kajian sendiri” seolah mereduksi suara minoritas sebagai gangguan kecil dalam sistem. Padahal, dalam demokrasi sejati, suara minoritas tak bisa dibungkam hanya karena kalah jumlah. Demokrasi bukan semata perhitungan suara, tapi keberanian menjunjung nilai dan nalar, bahkan ketika harus sendirian.

Sementara Bupati Seluma, Teddy Rahman, menyatakan bahwa segala proses “masih sosialisasi di provinsi”, tapi di saat yang sama mendukung penuh skema investasi tambang asal bagi hasilnya “maksimal.” Retorika ini adalah bentuk kompromi vulgar kekuasaan terhadap ekonomi ekstraktif. Kata “rakyat” hanya jadi alat retoris, bukan landasan kebijakan.

Realitas Sosial yang Dihabisi oleh Kapital

Mengutip Noam Chomsky, “kapitalisme tanpa kendali akan mengarah pada otoritarianisme pasar.” Dan inilah yang tengah berlangsung: ketika ruang hidup rakyat diserahkan pada pasar dan korporasi, ketika hutan dan bukit dilepas tanpa memperhitungkan ekosistem, ketika wakil rakyat tidak lagi berpihak pada suara publik.

Apa yang dipertontonkan di Seluma adalah cermin kerusakan sistemik: para penguasa lokal lebih takut kehilangan simpati elite ketimbang kehilangan kepercayaan rakyatnya sendiri.

Di Mana Harapan?

Satu-satunya harapan kini ada pada rakyat yang masih bersuara. Pada gerakan warga yang tak lelah menjaga Bukit Sanggul. Pada aktivis lingkungan, guru, petani, dan generasi muda Seluma yang tak rela kampung halamannya dihancurkan atas nama emas.

Dalam sejarah kekuasaan, kemenangan bukan selalu ditentukan oleh jumlah, tapi oleh keberanian moral untuk berdiri melawan yang salah. Dan hari ini, Fraksi PKS memberi contoh kecil—bahwa walau sendiri, suara yang benar tetap harus dinyatakan.

Karena kelak, ketika air sungai tak lagi jernih, ketika tanah tak lagi subur, dan ketika banjir melanda sawah dan rumah—kita tidak bisa menyalahkan siapa pun kecuali diamnya kita sendiri hari ini.

Mereka menebang pohon demi tambang, lalu menanam bencana untuk anak cucu. Kita bisa memilih: diam, atau bertindak.

Writer: Vox Populi Vox Dei

banner 728x90

Posting Terkait

Jangan Lewatkan