Siapa di Balik Ajakan Demo Bubarkan DPR?

Narasi beragam muncul dalam ajakan berunjuk rasa bubarkan DPR di media sosial. Adakah jejak para pendengung dalam unjuk rasa itu? Lalu, apa pula tujuannya?

Berkali-kali memilih DPR, berkali-kali pula rakyat dikecewakan oleh para penghuni gedung parlemen di Jakarta itu. DPR kerap menuai kritik lantaran anggotanya terseret korupsi, tidak berpihak kepada rakyat, hingga mengesahkan undang-undang kontroversial. Krisis kepercayaan terhadap DPR terlihat pula dari serangkaian protes berujung unjuk rasa yang terjadi sepanjang masa lembaga itu berdiri.

Demonstrasi pada 25 Agustus 2025 juga merupakan puncak dari ketidakpercayaan rakyat kepada DPR. Ajakan unjuk rasa menuntut pembubaran DPR yang beredar di media sosial berbuah kesadaran segenap elemen masyarakat, tak terkecuali pelajar dan mahasiswa, untuk turun ke jalan.

Sentimen protes terhadap DPR itu juga muncul seiring dengan adanya pemberitaan media massa terkait pemberian tunjangan perumahan bagi anggota DPR. Tunjangan itu diberikan karena sejak Oktober 2024, anggota DPR 2024-2029 tidak lagi mendapat fasilitas rumah jabatan. Sebagai gantinya, negara mengalokasikan tunjangan perumahan Rp 50 juta per bulan.

Padahal, tanpa tunjangan rumah, penghasilan satu anggota DPR ditaksir Rp 230 juta per bulan, menurut perhitungan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra). Pemberian tunjangan itu dinilai berlebihan dan tidak mempertimbangkan kondisi masyarakat yang sedang kesulitan ekonomi.

Gaji dan tunjangan fantastis wakil rakyat itulah yang kemudian memunculkan narasi #BubarkanDPR. Ajakan pembubaran DPR juga disampaikan melalui tagar #DesakPrabowoBubarkanDPR dan #BubarkanDPRSontoloyo. Hal ini berdasarkan penelitian Drone Emprit melalui analisis media online dan media sosial pada periode penelitian 10-26 Agustus 2025.

Lead Analyst Drone Emprit Rizal Nova Mujahid di Jakarta, Selasa (26/8/2025), menjelaskan, dalam setiap pemberitaan negatif terkait DPR, gagasan pembubaran DPR konsisten muncul. Namun, dalam konteks aksi demonstrasi 25 Agustus lalu, ajakan pembubaran DPR semakin menguat di X (sebelumnya Twitter) dan Youtube sejak 15 Agustus. Selain itu, juga di Facebook dan Instagram pada 19 Agustus dan Tiktok pada 22 Agustus.

Respons dari sejumlah anggota DPR turut memicu kemarahan publik. Pernyataan Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni, salah satunya. Politikus Partai Nasdem itu menyebut orang yang menyerukan pembubaran DPR adalah ”orang tolol sedunia”.

Sebenarnya, Ketua DPR Puan Maharani telah mencoba meredam narasi dengan mengatakan, ”DPR terbuka pada masukan”. Namun, publik tetap merespons skeptis pernyataan itu.

Interaksi di media sosial dan media online terkait demo DPR cenderung tinggi. Sedikitnya terdapat 2.978 artikel terkait demo bubarkan DPR, dan dibicarakan di media sosial sebayak 23.165 mention. Khusus pada 25 Agustus, ada 29.500 mentions dengan 356 juta interaksi. Percakapan memuncak dipicu oleh ajakan demo, ajakan aksi, hingga sorotan kinerja DPR dan pengamaan Polri.

Tiga kluster narasi

Dalam peta percakapan digital, Nova menjelaskan, terdapat tiga kluster besar. Pertama, kelompok pro-aksi yang meyoroti DPR korup, arogan, tidak berguna, dan tidak peduli pada rakyat. Kelompok pro meraup sentimen positif hingga 67 persen, atau mendominasi percakapan medsos. Narasi yang diangkat dalam kelompok ini cukup beragam, salah satunya pembubaran DPR akan menghemat anggatan negara. Muncul pula narasi bahwa upaya pembubaran DPR pernah dilakukan pada era Presiden Sukarno melalui dekrit pembubaran DPR, era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dan juga saat aksi 1998.

Kedua, terdapat kelompok kontra yang mempertanyakan demonstrasi dan mencurigai aksi ditunggangi, baik untuk melemahkan DPR maupun mendesak Presiden Prabowo Subianto membubarkan DPR. Kelompok ini mempertanyakan agenda demo tidak jelas, inisiator aksi tidak jelas, tuntutan pembubaran DPR akan menguntungkan eksekutif, dan mencurigai demo ini didorong untuk kepentingan tertentu.

Selain itu, juga terdapat kelompok yang lebih netral, yakni pemberitaan media massa yang mengabarkan situasi terkini demo di gedung DPR, aktivitas aparat terkait demo, dan update profesi peserta demo.

”Berbeda dengan media online yang cenderung netral karena sebagian besar memberitakan situasi aksi, media sosial lebih dominan positif terhadap aksi demo. Ini menunjukkan ruang digital menjadi katalis utama narasi anti-DPR,” kata Nova.

Ia juga menjelaskan, dari pemantauan analisis jaringan sosial dan perjalaan tren percakapan terlihat beberapa catatan penting, termasuk adanya partisipasi dari akun-akun terindikasi pedengung yang mendukung pembubaran DPR. ”Keterlibatan akun-akun ini cukup signifikan dalam meramaikan percakapan. Hal tersebut menimbulkan diskusi publik, apakah akun-akun tersebut menunggangi atau justru menciptakan gelombag protes di media sosial,” katanya.

Selain itu, juga terdapat keberagaman narasi yang diangkat dalam demo di DPR. Hal ini berbeda dengan demonstrasi lainnya yang umumnya memiliki narasi dan tuntutan sama. Demo pembatalan pengesahan revisi Undang-Undang tentang Pilkada, misalnya, memiliki slogan tunggal, #KawalPutusanMK. Unjuk rasa itu digelar sebagai bentuk protes atas tindakan Badan Legislasi DPR yang mengabaikan putusan MK dalam merevisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Melalui pertimbangan putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024, MK menyatakan bahwa calon bupati harus memenuhi syarat usia minimal 25 tahun terhitung sejak ditetapkan sebagai peserta pilkada, sedangkan gubernur 30 tahun. Namun, dalam draf revisi UU Pilkada yang disusun Baleg disebutkan bahwa syarat usia minimal calon kepala daerah dihitung sejak tanggal pelantikan. Publik menduga, klausul yang disepakati Baleg DPR itu diatur guna memberikan jalan bagi putra bungsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo, Kaesang Pangarep, untuk maju dalam Pilkada 2024.

”Kalau demo mahasiswa, kan, biasanya jelas, ada kajian, ada tuntutan spesifik. Misalnya saat revisi UU Pilkada, konsolidasinya cepat, hanya 24 jam, tapi terarah dengan tujuan mengawal putusan MK. Nah, 25 Agustus ini campur aduk, ada yang minta DPR dibubarkan, ada yang mengusulkan parlemen jalanan atau pemilu ulang. Jadi tidak fokus,” ujar Nova.

BACA JUGA:  “SUMARDI KOMBES” Tegaskan Rohidin Layak Lanjutkan Memimpin Bengkulu

Keberagaman narasi dalam undangan unjuk rasa yang muncul di sosial media diduga membuat kelompok massa yang berdemo tidak terkoordinasi. Mereka juga tidak terorganisasi dalam satu komando.

Berdasarkan pantauan Kompas, unjuk rasa di sekitar kawasan Gedung DPR, 25 Agustus 2025, melibatkan beragam kelompok, tetapi tidak terorganisasi dalam satu komando. Pantauan hingga pukul 17.30 WIB menunjukkan, kelompok massa didominasi anak muda berpakaian bebas dan sebagian mengenakan seragam pelajar atau putih abu-abu memadati berbagai sisi jalan.

Kelompok massa pun tersebar di beragam titik. Di persimpangan jalan layang Slipi, misalnya, mereka berkumpul, mengibarkan bendera Merah Putih, dan sesekali meneriakkan yel-yel. Massa berkumpul tidak hanya di satu titik atau tak terorganisasi. Mereka terbagi dalam kelompok-kelompok kecil (Kompas, 25/8/2025).

Ajakan aksi 25 Agustus juga dinilai janggal karena bercampur dengan agenda lain, seperti aksi mahasiswa (21 Agustus), aksi buruh (28 Agustus), hingga rencana demo pengemudi ojek daring. Keberagaman narasi dan agenda dalam demo di DPR itu lalu menimbulkan pertanyaan, benarkah publik sepenuhnya organik dalam menyerukan pembubaran DPR?

Namun, satu hal yang pasti, menurut Nova, isu utama mengenai penolakan gaji DPR dan seruan pembubaran DPR menujukkan krisis kepercayaan publik serta desakan pada penindakan korupsi. ”Dari sini kita bisa melihat bahwa publik menuntut trasparansi pengelolaan anggaran dan akuntablitas kinerja anggota DPR,” kata Nova.

Narasi khas pasukan siber

Sementara itu, pengajar Departemen Politik dan Ilmu Pemerintahan Universitas Diponegoro, Wijayanto, menjelaskan, dalam ekosistem digital ini, suara masyarakat sipil kerap membaur dengan opini yang sengaja dibagikan para petugas siber. Pandangan itu disampaikan dalam Seminar dan Launching Buku ”Pasukan Siber, Operasi Pengaruh dan Masa Depan Demokrasi Indonesia” di Jakarta, 25 Agustus 2025.

Ada berlapis aktor yang bertugas dalam jaringan siber untuk memengaruhi opini publik. Mereka mendapatkan pemasukan bulanan dan tugas khusus untuk menyuarakan suatu pesan tertentu kepada publik. Kehadiran pasukan siber menimbulkan kekhawatiran serius karena salah satunya dapat merusak kualitas debat publik.

Terdapat indikasi bahwa isu tersebut tidak murni lahir dari dinamika masyarakat sipil, melainkan ada pengaruh agenda politik dengan pola peredaran isu khas pasukan siber.

Terkait demo di DPR, Senin lalu, ia menilai, unjuk rasa berslogan ”Bubarkan DPR” itu menimbulkan sejumlah tanya. Menurutnya, terdapat indikasi bahwa isu tersebut tidak murni lahir dari dinamika masyarakat sipil, melainkan ada pengaruh agenda politik dengan pola peredaran isu khas pasukan siber (cyber troops).

Salah satu alasannya adalah siapa yang pertama kali mendengungkan narasi bubarkan DPR di media sosial tidak jelas. Selain itu, aksi demo juga tidak banyak dibahas dalam grup masyarakat sipil yang punya rekam jejak jelas. Hal ini menimbulkan pertanyaan siapa yang memulai narasi pembubaran DPR.

Bukan hanya, menurut Wijayanto, tuntutan pembubaran DPR juga tidak tepat sasaran. ”Isu pembubaran DPR mengingatkan kita pada praktik politik otoriter era Sukarno,” katanya.

Wijayanto menjelaskan, keresahan masyarakat mengenai kenaikan tunjangan DPR yang tidak mencerminkan realitas masyarakat dengan tantangan ekonomi sangat valid. ”Tetapi, jangan lupa bahwa kenaikan tunjangan DPR itu disetujui pemerintah. Seharusnya, pemerintah yang lebih layak dikritik,” ujarnya.

Lebih jauh, ia menyoroti pola penyebaran isu yang menyerupai operasi pasukan buzzer. ”Dalam kasus Pilpres 2019, omnibus law, hingga Pemilu 2024, ciri khas cyber troops adalah isu viral secara tiba-tiba dalam waktu singkat, konten dibuat profesional, dan akun-akunnya anonim, pola itu juga terlihat sekarang,” ujarnya.

Ia mengingatkan agar masyarakat sipil tetap waspada dan tidak mudah terseret dalam agenda politik elitis yang penuh intrik. ”Mengkritik DPR itu bagus, tapi menyerukan pembubaran DPR tanpa menyebut peran pemerintah adalah keliru. Di sinilah pentingnya masyarakat sipil hadir dengan agenda strategis sendiri. Kita harus lebih hati-hati, jangan sekadar ikut arus narasi yang diarahkan pasukan siber,” kata Wijayanto.

Meski demikian, pengajar Ilmu Politik di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, A Bakir Ihsan, menilai, di balik keberagaman narasi yang ada, tuntutan pembubaran DPR merupakan puncak ekspresi terhadap kebebalan DPR dalam merespons aspirasi masyarakat. ”DPR bersikap lebih merepresentasikan kepentingan diri dan kelompok atau partainya, terputus dari masyarakat sebagai basis suara yang mengantarkan mereka menjadi anggota parlemen,” ujarnya.

Menurut Bakir, para wakil rakyat cenderung mengingat peran mereka sebagai anggota DPR yang merupakan lembaga tinggi negara sehingga menuntut fasilitas setara. Tetapi, mereka lupa bahwa tanpa suara dan partisipasi warga, mereka tidak pernah ada dan menempati posisinya.

Meski demikian, eksistensi DPR tetap penting sebagai lembaga yang punya fungsi kontrol, budgeting, dan menyusun legislasi untuk keberlangsungan sistem demokrasi. ”Aksi massa merupakan kontrol atas kinerja DPR yang berfungsi setengah hati. Hukuman tepat terhadap kinerja buruk DPR adalah tak membiarkan mereka hadir lagi di Senayan pada pemilu yang akan datang,” katanya.

Sementara itu, Professor of Comparative Political Anthropology, University of Amsterdam & Senior Researcher, KITLV, Ward Berenschot mengatakan, ada sejumlah langkah yang perlu diambil untuk memastikan demokrasi berjalan di tengah iklim digital. Langkah itu mulai dari pentingnya pemerintah menyusun kerangka hukum transparansi komunikasi digital hingga memberi label iklan pada semua konten politik berbayar. Selain itu, redaksi media massa harus lebih kritis agar tidak mengamplifikasi narasi pesanan pasukan siber dan perusahaan platform digital harus mendorong transparansi dengan menandai unggahan berbayar.

Penulis:Denty Piawai Nastitie  Editor:Anita Yossihara  Penyelaras Bahasa:Galih Rudanto

Posting Terkait

Jangan Lewatkan