Terminal Gadingrejo Pringsewu Dijadikan Pasar Malam!, Salah Kelola atau Sengaja Dijadikan Proyek Basah?

Pringsewu, WordPers.ID – Sebuah ironi kembali tersaji di Kabupaten Pringsewu, Lampung.  Terminal Tipe B Gadingrejo, yang seharusnya menjadi simpul pelayanan transportasi publik, malah disulap menjadi lokasi pasar malam.  Bukan sekadar hiburan rakyat, melainkan ladang karcis, dentuman musik, dan jejeran permainan ketangkasan yang seolah mengusir fungsi utamanya terminal.

Pertanyaannya sederhana tapi tajam: apakah ini bentuk kelalaian pemerintah daerah dalam menjaga tata kelola ruang publik, atau justru ada “pembiaran terstruktur” demi keuntungan pihak tertentu?

Pasar malam bertajuk Arista Jaya ini direncanakan berlangsung mulai Jumat malam, 20 Juni 2025. Namun seperti biasa, aktivitas gelap-gelapan sudah dimulai sehari sebelumnya.  Tiket sudah dijual, wahana sudah beroperasi, dan musik keras sudah memecah malam di tengah bangunan terminal yang harusnya sunyi dari aktivitas hiburan.

Ketua Laskar Merah Putih Pringsewu, Muhyin NP, tak tinggal diam.  Ia secara terbuka mengkritik keras aktivitas tersebut.

“Terminal bukan tempat hiburan. Ini bisa menimbulkan persoalan hukum dan sosial,” kata Muhyin, dengan nada kecewa.

Dan benar saja.  Terminal dibangun dengan uang rakyat, tapi alih-alih dipelihara untuk kepentingan mobilitas publik, justru dimanfaatkan untuk aktivitas ekonomi berbasis profit yang tidak punya urgensi logis. Siapa yang bertanggung jawab atas ini?

Lebih mengejutkan lagi, pihak pelaksana lapangan bernama Andi mengaku tidak tahu-menahu soal izin.  Ia justru menunjuk orang lain, Agus Purnomo, sebagai orang yang mengurus semua dokumen legalitas.

Agus, melalui pesan WhatsApp, mengaku sudah kantongi izin dari Pihak terkait.  Surat dikeluarkan sehari sebelumnya.

Ini bukan hanya soal legalitas administratif, tapi soal etika dalam tata kelola publik.  Terminal adalah ranah perhubungan, bukan panggung organ tunggal.  Ketika pemerintah daerah melalui Dinas Perhubungan maupun Satpol PP membiarkan ini terjadi, publik berhak curiga.  Apakah mereka lengah, atau malah sengaja membiarkan?

BACA JUGA:  Pemkot Bengkulu Jalin Kemitraan dengan Pemkab Pesisir Barat

Warga Gadingrejo Utara pun bersuara. Mereka merasa terusik.

“Masih banyak tempat lain. Jangan terminal dijadikan pasar malam. Ini dibangun pakai uang rakyat, bukan buat tempat tong setan,” kata salah satu warga dengan nada kesal.

Bagi sebagian orang di lingkaran kekuasaan, terminal mungkin sekadar lokasi strategis yang bisa disulap jadi lahan recehan.  Tapi bagi rakyat, terminal adalah harapan agar transportasi publik bisa tertib dan terarah.

Fenomena ini tidak berdiri sendiri. Ia menunjukkan gejala klasik: lemahnya pengawasan, tumpulnya keberpihakan, dan tergusurnya fungsi fasilitas negara oleh kepentingan ekonomi pragmatis.

Jika pemerintah daerah tak segera mengevaluasi dan bertindak, maka yang hilang bukan hanya fungsi terminal tapi juga kepercayaan publik terhadap niat baik penyelenggara negara. ( */team )

Jangan Lewatkan