“Ketika Rohidin, Helmi, dan Teddy Kompak Menjual Alam untuk Emas”
Di negeri yang katanya demokratis ini, ironi bisa tampak begitu telanjang. Lihat saja Kabupaten Seluma. Pada 1 Juli 2024, DPRD dan kepala daerahnya secara resmi mengesahkan Perda RTRW yang membuka jalan bagi tambang emas masuk ke jantung ekologis Bengkulu: Bukit Sanggul. Kawasan hutan lindung yang menjadi rumah bagi 10 sungai besar, kini hanya tinggal nama dalam peta konservasi. Yang tersisa hanyalah angka konsesi dan jargon investasi.
Dan siapa trio pemain utamanya? Rohidin Mersyah, mantan gubernur yang memulai pengusulan konversi hutan lindung menjadi hutan produksi; Teddy Rahman, Bupati Seluma yang menjadi penyambut hangat kedatangan tambang emas; dan Helmi Hasan, gubernur saat ini, yang memilih diam dalam kebisingan jeritan rakyat.
Demokrasi Disandera Oligarki
Rapat paripurna itu menjadi titik kulminasi dari demokrasi prosedural yang kehilangan makna substantif. Dari delapan fraksi di DPRD Seluma, hanya Fraksi PKS yang menolak. Suara Hj. Yusnaini mengingatkan kita bahwa integritas dan akal sehat belum sepenuhnya punah, walau kini jadi barang langka. Tapi sisanya? Berpadu dalam barisan tunduk pada kepentingan korporasi, bukan pada kepentingan rakyat.
Bukankah demokrasi seharusnya mendengar suara rakyat, bukan sekadar menghitungnya? Lalu di mana proses partisipatif, dialog terbuka, dan pelibatan masyarakat dalam perubahan tata ruang yang akan mengubah nasib ribuan jiwa?
Helmi Hasan: Bungkam adalah Sikap
Gubernur Helmi Hasan saat ini seperti sedang sibuk dengan hal lain. Ia tak mengeluarkan satu pun pernyataan resmi menentang tambang emas Bukit Sanggul. Padahal, ia punya kuasa untuk mengevaluasi dan mengusulkan pencabutan SK Menteri LHK yang lahir atas dasar usulan Rohidin. Tapi ia memilih diam. Diam, dalam isu yang justru menuntut keberanian moral.
Seorang pemimpin diuji bukan dalam peresmian proyek atau festival budaya, tapi saat harus memilih antara rakyat dan modal. Dan sayangnya, Gubernur Helmi lebih memilih jalan sunyi: membiarkan krisis ekologis bertunas tanpa sikap.
Teddy Rahman: Bupati yang Legalkan Petaka
Bupati Teddy Rahman tak lebih baik. Dalam narasi publik, ia menyebut semua “masih tahap sosialisasi.” Namun rekam jejaknya menunjukkan dukungan penuh pada tambang asal “bagi hasilnya maksimal.” Sikap ini bukan hanya inkonsisten, tapi cerminan dari banalitas kekuasaan yang dijelaskan Hannah Arendt: kejahatan bukan lagi lahir dari niat jahat, tapi dari keterlibatan pasif dan kepatuhan terhadap sistem rusak.
Rohidin Mersyah: Arsitek Ekspansi Tambang
Rohidin tak bisa pura-pura bersih tangan. Ia adalah arsitek awal yang mengirim empat surat resmi ke Kementerian LHK mengusulkan konversi 60.927 hektare hutan di Bengkulu, termasuk Bukit Sanggul. Hasilnya? Surat Keputusan Menteri LHK Nomor SK.533/Menlhk/Setjen/PLA.2/5/2023. Sebuah SK yang kini jadi legitimasi hukum untuk menjual paru-paru ekologis kepada dua korporasi tambang emas: PT Energi Swa Dinamika Muda dan PT Perisai Prima Utama.
Apa motivasinya? Rakyat tak tahu. Yang jelas, yang mereka rasakan kini adalah ketakutan: sawah bisa berubah jadi kolam lumpur, air minum bisa berubah jadi racun, dan bencana ekologis tak lagi sekadar ancaman.
Antara Solusi dan Perlawanan Rakyat
Apa yang bisa dilakukan saat demokrasi prosedural lumpuh? Jawabannya: kembali pada kekuatan rakyat. Perlawanan tak bisa hanya diserahkan pada satu fraksi atau satu tokoh. Gerakan rakyat harus bersatu—guru, petani, mahasiswa, tokoh adat, pemuka agama, semua.
Sudah saatnya:
1. Gubernur Helmi Hasan mengambil langkah administratif dan politik untuk mengusulkan revisi RTRW Provinsi dan pencabutan SK Menteri LHK.
2. Bupati Teddy Rahman menghentikan seluruh proses perizinan tambang emas di wilayah Seluma.
3. DPRD Bengkulu dan DPR RI dipaksa membuka forum dengar pendapat publik.
4. Rakyat menolak segala bentuk investasi yang tak transparan dan tak berpihak pada keberlanjutan lingkungan.
Jika tidak? Maka sejarah akan menulis nama-nama mereka bukan sebagai pemimpin, melainkan sebagai perusak alam. Anak cucu kita akan mengenang mereka bukan karena jalan yang mereka bangun, tapi karena sungai yang mengering, sawah yang tak bisa ditanami, dan tanah longsor yang menelan kampung.
Mereka menebang hutan untuk menambang emas, tapi yang ditanam hanyalah nestapa.
Seluma tak butuh emas yang mematikan. Seluma butuh bukit yang hijau, sungai yang jernih, dan pemimpin yang waras. Dan itu semua, saat ini, sedang terancam oleh tiga nama yang kompak menjual masa depan: Rohidin Mersyah, Helmi Hasan, dan Teddy Rahman.
Writer: Vox Populi Vox Dei