Wisata Kebun Kopi, Wisata Anti Mainstream di Bengkulu.

Oleh: Bagus President SLE

Kata wisata identik dengan bersenang-senang, tempat yang indah-indah, baik pantai, gunung, air terjun, taman-taman bunga, lahan persawahan, tempat-tempat bersejarah atau mall-mall. Dan harus menyenangkan dan gampang ketika mencapai lokasi-lokasi tersebut.

Tapi kali ini, seperti biasanya aku berwisata untuk mengisi waktu liburan, bayangan hal yang biasa itu tidak menarik sama sekali bagiku. Aku lebih suka hal-hal baru dan menantang.

Seperti kali ini, aku akan berwisata ke kebun kopi. Sesuatu yang ‘sle’ atau aneh bagi masyarakat Bengkulu. Walaupun aku pernah mengusulkan ide ini delapan tahun lalu pada pihak yang bersangkutan, dan tentu saja mereka tolak mentah-mentah.

Alasan penolakan saat itu adalah ide ini ‘gila’ disertai dengan pertanyaan “Siapa yang akan membeli?”. Mereka belum memikirkan wisata para pemilik uang yang sudah bosan dengan wisata ‘biasa’. Golongan ini butuh hal baru.

Setelah Bali melakukan, dan sangat laku, maka Bengkulu baru mau mulai meniru. Dan kabupaten Kepahyang yang baru melakukannya, padahal daerah Dempo sudah lebih dulu. Andai ide delapan tahun lalu diterima…. Ah sudahlah…

Pagi yang cerah, sekitar jam 07 wib, aku dan saudara Ibnu, yang akan jadi pemandu perjalananku kali ini, meninggalkan Kedutaan Republik SLE di Liku Sembilan, menggunakan dua motor.

Tujuan adalah kebun kopi rakyat di desa Batu Bandung, Kepahyang.

Perjalanan santai, karena aku ingin menikmati sejuknya udara gunung Liku Sembilan yang kiri kanannya ditumbuhi oleh pohon-pohon besar. Wajar, karena wilayah ini masuk dalam kawasan hutan lindung. Sayangnya di balik pohon-pohon ini sudah banyak yang gundul. Entah apa sebabnya, perambahan oleh rakyat, perkebunan, atau oleh pertambangan. Entahlah….

Kita tinggalkan cerita perjalanan selepas hutan lindung, karena aku sudah tidak sabar ingin menggambarkan apa yang aku lihat di sisi kiri kanan jalan ketika memasuki desa Batu Gunung yang berada pada ketinggian bukit.

Memasuki perbatasan desa, melihat ke atas bukit, aku terpesona oleh atap-atap seng coklat, menunjukkan tuanya atap-atap tersebut, yang menaungi rumah-rumah tua berdinding papan, berbentuk panggung, yang berjejer yang akan menyambut kedatanganku.

Aku tidak sabar ingin melihat lebih dekat lagi rumah-rumah tersebut. Segera aku tarik gas motor, untuk mendaki jalan, dan segera sampai pada desa.

Wow…. Aku benar-benar terpesona. Begitu melewati tebing, aku disuguhi oleh pemandangan yang sangat indah. Langit biru cerah, ada gumpalan awan-awan kecil yang putih bersih, jadi latar belakang rumah-rumah tua yang dibangun mengikuti lekuk bukit yang berundak-undak.

Sepanjang badan jalan, setiap depan rumah, dihampar jemuran kopi. Dan aromanya, hmmm… Benar-benar paduan sempurna dengan ‘lukisan’ di depan sana.

Di ujung desa tua, karena, setelah rumah ini, sudah dibangun rumah-rumah baru dengan gaya modern dan sudah menggunakan semen, di rumah tua yang terakhir, kami belokkan motor kami memasuki halaman. Aku tidak sabar untuk menjelajah tiap senti dari rumah tersebut.

Sayangnya, rumah ini terkunci, karena si pemilik rumah telah menunggu kami di kebun kopi miliknya. Dengan rasa kecewa, aku harus menunda keinginan tersebut.

Baiklah, perjalanan sebenarnya akan di mulai dari sini. Berwisata ke kebun kopi yang luasnya tidak kurang lima hektar. Membayangkannya saja aku sudah capek duluan hehe…

Setelah melewati pekarangan rumah di seberang rumah tujuan tadi, kemudian melangkah di bawah pohon kopi di belakangnya, yang ditanam pada lereng tebing yang lumayan curam, kemudian melewati anak sungai yang jembatannya dari kayu, maka kami sudah memasuki gerbang kawasan kebun kopi milik masyarakat setempat, yang salah satu lahannya yang akan kami tuju.

Aku tidak melewati momen untuk menikmati sejuknya air yang jernih ini. Sayangnya, ketika keluar dari anak sungai tersebut, wajah dan ujung tangan yang tidak terlindungi oleh pakaian, terkena bulu-bulu beracun yang ada pada daun jelatang, tumbuhan yang nama lokalnya adalah ‘sempiang’. Jangan tanya bagaimana rasanya. Panas dan gatal. Ini, kalau tidak segera ditangani akan terasa hingga satu minggu ke depan, bahkan lebih jika jelatang yang mengenai kita adalah jenis ‘sempiang uso’ yang bentuk daunnya lebih lebar dari ‘sempiang ayam’ atau ‘sempiang bulan’.

Kalau sempiang ayam, adalah jelatang yang kadar panas dan gatal racunnya hanya hitungan jam, minimal 4 jam. Sedangkan jelatang bulan bisa menyiksa kita hingga tiga hari.

BACA JUGA:  Kemenag Provinsi Bengkulu Gelar Pembinaan Bagi ASN

Untungnya, jelatang yang mengenai aku, yang banyak tumbuh dipinggiran anak sungai ini adalah jenis jelatang bulan.

Begitu terkena, aku langsung masuk sungai lagi dan mengambil lumpur berpasir di dasar, lalu melumuri punggung tangan dan wajah yang terkena, sambil menggosok-gosok, agar bulu-bulu jelatang yang sempat menempel terlepas dan juga mengurangi kadar racun yang masuk ke pori-pori. Berulang-ulang hingga gatal dan panas mulai berkurang. Setelah itu, keringkan dan melumuri dengan minyak kayu putih yang selalu aku bawa ke setiap perjalananku.

Aku menyarankan, sebelum kalian melakukan perjalanan ke alam bebas, baiknya bekali pengetahuan tentang tumbuhan dan binatang-binatang kecil yang akan mengurangi keasyikan kita dalam menikmati alam, dan siapkan juga abat-obat P3K.

Setelah mengurangi efek racun jelatang, perjalanan dilanjutkan lagi dengan mendaki tebing yang sudah jadi kebun kopi, memiliki tingkat kemiringan lerengnya mendekati 35°. Baru setengahnya saja, nafas sudah ngos-ngosan. Selama pendakian bukit pertama ini, aku disuguhi oleh warna-warni buah kopi, dan aroma wangi kembang kawo, bahasa lokal menyebut kopi, yang masih mekar.

Di atas tebing, pada tanah yang agak datar, kami istirahat di pondok petani. Pondok ini sebagai pos istirahat kami sebelum melanjutkan perjalanan.

Di pondok ini, kami dihidangkan masing-masing segelas kopi asli. Dan inilah bagian yang ingin aku nikmati. Mereguk air kopi asli langsung di tengah-tengah perkebunannya, ditemani gemericik air, cericit burung-burung hutan, dan aroma bunga kopi.

Sejam kemudian, kami melanjutkan perjalanan yang akan melewati dua pematang (bukit) lagi, yang kemiringannya lebih sadis lagi hehe.

Jika tidak naik turun menyusuri jalan di bawah-bawah pohon kopi ini, waktu tempuh ke tujuan utama, paling memakan waktu 15 menit. Tapi karena aku butuh tantangan, maka perjalanan ini sangat mengasikkan, walau memakan waktu hampir setengah jam.

Hamparan jemuran buah kopi di halaman menyambut kami. Menurut pemiliknya, jumlah kopi yang di jemur saat ini tidak kurang dari satu ton. Hasil petik selama satu minggu oleh dua orang pemetik.

Lagi-lagi di pondok terakhir ini, disuguhi aroma seduhan kopi dalam air panas mendidih di hadapan kami. Dilengkapi dengan singkong rebus yang ditaburi oleh parutan kelapa muda dan dikasih garnis potongan-potongan gula merah. Amboi… Kalian tidak akan pernah mendapatkan dan merasakan nikmatnya sepasang penyuguh kenikmatan di lidah ini, di kota atau di cafe-cafe yang kalian banggakan.

Memetik kopi di lahan yang miring, sambil menggendong ‘bronang’, rasanya aku akan menyerah. Tapi aku tidak boleh takluk dengan kecengengan si manja. Dan, aku berhasil memetik satu bronang kopi merah, sambil membuang dahan-dahan baru yang tidak diinginkan. Walau ditertawakan karena memakan waktu lama, tapi ini adalah prestasi bagiku yang belum pernah melakukan seumur hidupku.

Capek? Jangan di tanya. Puas? Tentu saja, dan rasa puas itu mengalahkan rasa capek dan sakit pada paha. Ngos-ngosan? Apa lagi. Dengan paru-paru yang hampir diasapi dengan asap rokok sepanjang waktu, membuat dadaku sesak dan sakit. Dan menurut orang yang sudah biasa, semua yang aku rasakan, karena belum terbiasa. Dan aku setuju itu, melihat mereka juga perokok berat, tapi tidak lagi mengalami ‘sesak nafas’ seperti yang aku alami.

Mandi sungai adalah program berikutnya dalam wisata ini. Berendam dalam aliran air yang sejuk, membuat aku lupa dengan semua ‘siksaan’ ketika panen tadi. Badan dan otak benar-benar segar. Rasanya tidak ingin cepat-cepat meninggalkan jernihnya air yang berasal dari sela-sela bebatuan pegunungan ini.

Program terakhir sebelum pulang, makan bersama. Aku sangat mengidamkan suasana ini. Makan di dalam kebun, lengkap dengan suguhan alam lainnya, nasi yang ‘diibat’ dengan daun pisang, sambal cung (tomatnya orang lokal) yang baru dipetik dari pohonnya, goreng ikan asin, tumis kacang panjang segar…. ahayyy…. Menu termahal dan terenak restoran mahal, kalah jauh oleh semua menu ini.

Mendekati jam lima sore, aku dan Ibnu akan meninggalkan sorga baru bagi penikmat wisata alam yang memacu semangat ini. Satu jam setengah ke depan, dari penitipan motor tadi, kami akan sampai lagi di Kedutaan Republik SLE.

Sayang sekali, aku belum menjelajah ruang demi ruang dalam rumah tradisional tua penduduk setempat. Dan aku akan melakukan itu satu saat nanti.

Posting Terkait

Jangan Lewatkan