Misteri Byuto Bab 12: Dibantai Oleh Nenek Caya

Cerpen Bengkulu bY: ie_majie

Racun apa yang digunakan oleh Sari untuk membunuh aku? Jari manis kaki aku rasakan kaku dan perlahan mulai naik. Aku cemas.

“Fokus terbang untuk semakin jauh. Waktu kita cuma tiga batang rokok sebelum membuat kaku seluruh tubuh. Jangan banyak berfikir dan jangan cemas. Cemas akan membuat detak jantung lebih cepat dan akan memicu racun menyebar lebih cepat.”

Datuk Pi’i berusaha menenangkan aku. Tapi aku tidak bisa tenang. Apa lagi aku lihat anjing-anjing Byuto berlari searah dengan penerbanganku. Lolongan mereka membuat aku tidak bisa menenangkan hatiku.

Ada bayangan seekor harimau putih dan satu ekor harimau belang memotong pengejaran pasukan Byuto yang akan menunggu kejatuhanku.

Sekarang aku perlahan bisa tenang. Diaz dan Jo akan menghalangi pembuat lolongan berisik di bawah sana.

Baiklah, aku akan terbang hingga kepak terakhir dari sayapku sebelum seluruh tubuhku kaku.

Wussshhhh….aku meluncur ke bawah. Tapi bukan sebagai elang. Aku kaget bukan kepalang. Aku melihat ke atas. Elang putih bersayap hitam dengan jambul hitam sedang berusaha terbang cepat setenang mungkin.

Sebelum aku mencapai tanah, Jo langsung menangkap tubuhku dan langsung menggendong sambil berlari lebih cepat. Diaz berusaha menghalangi anjing-anjing Byuto.
Semakin lama jarak antara aku dan pasukan pengejar semakin jauh, hingga akhirnya tidak kelihatan sama sekali.

“Terimakasih, Jo…” Ucapku tulus penuh syukur.

“Berpegangan yang kuat, bang, sebelum Abang kehilangan kesadaran.” Ada nada sangat khawatir dari salah satu harimau muda.

“Pejamkan mata dan usahakan Abang tidur.” Itu perintah. Aku tidak membantah. Hingga akhirnya aku tidak tahu lagi bagaimana kejadian selanjutnya.

Byur! Byur! Byur! Terpaan air berkali-kali membuat aku terbangun. Ketika membuka mata, aku berada di atas karang yang selalu kena air ketika ombak mulai memecah.

Hah?! Aku senang bukan kepalang. Aku ternyata masih hidup! Yiha…! Ups! Aku tidak bisa bergerak. Dari kesenangan menjadi ketakutan.

“Tuuukkkk….Datuuuukkkk…!” Aku berteriak sekuat tenaga untuk mengalahkan suara ombak yang terus menerpaku.

Aku takut gelombang laut ini akan menghanyutkan aku dan aku juga takut dengan kondisiku yang tidak bisa bergerak.

Jo dan Diaz muncul dari atas tebing lalu keduanya mengeluarkan aku dari ceruk karang tempat aku berada.

Entah mengapa, aku menjadi tenang dengan adanya mereka.

“Abang Cemen!” Aku merasa Diaz menggodaku.

“Baru satu jarum dari Sari saja, Abang sudah tidak bisa bergerak. Abang payah!” Lanjut Jo disambut oleh tawa cengengesan mereka. Aku nyengir kuda hehe…

“Besok-besok Abang suruh Sari melemparkan jarumnya pada kalian.” Aku menanggapi candaan mereka.

Dengan meloncat-loncat ringan Jo dan Diaz membawaku ke sebuah pondok. Di dalamnya sudah ada tembikar tanah liat yang lebih besar dari drum di atas tungku dengan api besar. Uap keluar dari dalamnya.

Seorang perempuan muda dengan dandanan menor sedang mengaduk isi tembikar. Aku dibawa ke sini dan siap dimasukkan ke dalam air yang mendidih.

“Hei, kalian gila? Kalian mau membunuhku? Lepaskan! Lepaskaaannn….! Aku memberontak. Dengan tubuh yang kaku, pembeontakan tubuhku tidak ada arti sama sekali.

“Abang akan kami jadikan sop, lalu akan kami makan sebagai penambah energi…” Suara Diaz disambut tawa oleh orang-orang yang ada di dalam ruangan. Aku panik.

Ketika tubuhku mulai dimasukkan ke dalam wadah besar ini, aku takut setakut-takutnya. Mataku mendelik begitu tubuhku menyentuh air yang mendidih.

Lah…lah…lah…kok tidak panas? Kok cuma hangat? Perlahan kecemasan dan ketakutanku menghilang. Tapi tidak lama. Karena apa yang terjadi selanjutnya membuat aku malah geli sendiri.

Dua bakul besar irisan jeruk purut dimasukkan ke dalam air lalu diaduk-aduk lagi. Terbayangkan bagaimana isi hatiku? Hihi…

Perempuan menor yang bertubuh bagai model itu melakukan tugasnya sambil sekali-kali melirik bagian bawah perutku. Walau aku masih bercelana pendek dan di dalamnya masih ber-CD tetap saja aku menutupi bagian sensitifku dengan telapak tangan. Aku lihat Jo dan Diaz pura-pura tidak melihat.

Datuk Pi’i, duduk bersandar di dinding sambil menatapku lucu.

“Jo, kalian bergantian dengan nenek Caya mengaduk-aduk isi tembikar. Setiap 3 sepenanak nasi kalian tambahkan air dan limau harumnya. Ingat, jangan sampai terlambat dalam menambahkan air dan limaunya.”

Jo dan Diaz hanya mengangguk angguk. Mata mereka memandang sang nenek. Juga aku. Jelas pandangan kami adalah pandangan ketidakpercayaan yang absolut haha.

Wanita menor, berkulit halus dan kencang dengan rambut hitam, panjang yang dijalin itu ternyata sudah nenek-nenek? Datuk Pi’i pasti bercanda.

Selama 3 hari 3 malam aku digodok tanpa henti. Hari demi hari kondisiku sudah mulai membaik. Pas pada hari ke 3 tepat tengah malam, aku diangkat.

Jo dan Diaz memapah tubuhku yang basah dan dibawa ke dalam kamar belakang. Lalu keluar. Pakaian ganti sudah disiapkan.

Sebelum aku membuka pakaian yang masih basah, aku menggerak-gerakkan tubuh. Hmm… Ternyata aku sudah sangat bugar. Aku harus menanyakan pada Datuk Pi’i dan Nenek Caya tentang pengobatan ini.

Setelah berganti pakaian, segera ke ruang tengah pondok. Di ruangan yang hanya diterangi lampu minyak ini membuat apapun terlihat redup. Sudah ada makanan di tengah-tengah semua orang yang duduk melingkar.

Terlalu banyak obrolan setelah makan ini membuat aku tidak dapat mengingat apa saja yang jadi obrolan. Yang aku ingat jelas adalah pijatan-pijatan dari ombak yang menerpa tubuhku selama 3 hari 3 malam untuk menghambat penyebaran racun dan asin air laut untuk mengurangi kadar racun dalam darah.

Sedangkan proses ‘merebus’ dan ‘menggodok’ tubuhku dengan ramuan air jeruk purut untuk menetralkan racun sekaligus mengeluarkan melalui uap yang keluar dari tubuhku.

“Ah, aku tidak paham dengan semua itu… Yang penting aku sehat.” Cuma dalam hati, kalau diucapkan langsung takut bakal dibilang orang tidak tau terimakasih hehe

Aku, Jo dan Diaz sedang menikmati udara malam bulan purnama penuh di Tapak Balai. Tempat ini adalah wilayah Keramat Palik. Entah ada pengaruh magis atau apa, tempat ini jauh berbeda dengan yang dilihat oleh pandangan dari biasanya.

Pandangan umum melihat kalau Keramat Palik ini adalah tanah sempit dan langsung jurang yang selalu diterpa oleh ombak samudra Hindia di bawah tebing.

Tapi selama di sini, kami berada di ladang padi yang luas, datar dan nyaman. Di tengah-tengah ladang ada pondok Datuk Pi’i. Di dalam pondok itulah aku diobati.

“Bang, nenek Caya mau menjadikan Abang muridnya.” Kalimat Diaz tanpa mengubah pandangannya dari memandang laut.

“Iya, bang.” Sambung Jo.

“Murid apa? Merebus orang?” Aku anggap mereka bercanda dan aku menanggapi dengan candaan juga.

“Abang nanti kualat. Nenek Caya, menurut Datuk Pi’i adalah tabib dan terapis yang hebat.”

“Kalian saja. Abang malas…” Jawabku masih memandang langit.

“Masalahnya, kami tidak memenuhi syarat untuk itu. Aku sama Diaz sudah menawarkan diri. Setelah melihat struktur tulang dan pembawaan, kami langsung terdelete.” Jawab Jo serius.

Byur! Sebuah hantaman sangat keras dari gelombang besar membuat kami terpelanting hingga lebih dari 30 meter. Padi-padi roboh mengikuti jalur kami.

Tentu saja kami kaget. Apa ada tsunami?

“Pemalas! Ayo bangun!” Nenek Caya dengan wajah sangat kejam memandang kami. Kami terperangah karena tidak menduga ini sama sekali.

“Jangan terlalu keras dengan mereka, Nek!” Datuk Pi’i berteriak dari dalam pondok.

“Diam!” Sebuah gelombang air bergerak dengan sangat cepat menuju pondok.

“Bang, ini nyata atau kita sedang nonton Avatar?” Diaz berbisik padaku.

“Mana Abang, tahu….” Juga berbisik!

Hantaman ‘bom’ air jatuh dari atas membuat kami lagi-lagi terpelanting.

“Ayo bangun! Kita latihan!” Muka cantik dan menor itu kelihatan sangat kejam. Tubuh gemulai itu berdiri dengan kuda-kuda sangat gagah.

“Nek, latihan apa?!” Aku berteriak.

“Kamu pikir aku ke sini melatih kalian merayu perempuan? Ayo berdiri!” Kami saling berpandangan. Masing-masing ingin tersenyum. Tapi tidak berani.

Buru-buru kami bangkit.

“Ikuti yang aku lakukan. Pusatkan kekuatan pada pangkal telapak tangan!”

Aku tidak tahu apakah kami mengikuti instruksi itu karena takut, atau karena kharisma si perempuan tua tapi bagai perawan tersebut?

“Arahkan gerakan kalian pada air di sekitar, dan tujukan pukulan pada masing-masing kalian!”

Kami hanya mengikuti apa yang diperintahkan. Tidak tahu ke mana arah tujuan perintah tersebut.

Sebuah gelombang air sangat besar berasal dari lautan di bawah sana naik dengan sangat cepat lalu menggulung kami.

Aku megap-megap. Jo dan Diaz entah di mana. Ketika air surut, ternyata kami dikumpulkan di tengah-tengah ladang.

“Nek, latihan apa?” Jo protes.

“Jangan bodoh! Aku tidak ingin mengajari orang bodoh! Ikuti perintahku, maka kalian akan selamat.”

Kalian bingung? Sama, kami juga bingung. Tapi daripada kami mati ditenggelamkan dengan gelombang laut, lebih baik mengikuti kata-kata dan gerakan nenek sadis ini. Soal hasil, jangan dulu difikirkan, hehe

Sudah hampir pagi. Tidak satupun dari kami yang mampu membuat sebuah gelombang. Jangankan gelombang, riak saja tidak kelihatan.

“Dasar bodoh!” Belum selesai kalimat itu, ujung gelombang sangat besar menggulung kami lalu dilemparkan ke laut yang sedang berangin lembut.

“Bagi siapa yang tidak bisa membuat aliran air di udara, akan dilemparkan ke tengah-tengah sana!” Telunjuk lentik milik nenek kejam itu menunjuk ke tengah laut.

Dua orang anak gunung, Jo dan Diaz mau menangis. Teriakan minta tolong dari mereka tidak ada yang menghiraukan.

“Datuk, toloooonggg….” Bergantian suara itu timbul tenggelam.

Bagaimana denganku? Sama saja seperti mereka hahaha….

“Buat kuda-kuda di dalam air. Pusatkan kekuatan di pinggul. Gerakkan air dengan tarian lembut kedua lengan. Pusatkan kekuatan di pergelangan tangan. Aku tidak akan mengulang petunjuk ini. Yang bodoh silahkan menyerah!”

BACA JUGA:  Demokrasi di Indonesia Menuntut Perempuan Harus Aktif Terlibat Politik

Dengan kesal, dengan amarah, dengan rasa tidak dihargai, dengan rasa diremehkan dan rasa-rasa lain berkecamuk dalam dada dan otak kami. Tapi kesimpulannya, kami tidak ingin disebut ‘bodoh!’

“Yang berhasil silahkan naik ke atas, yang gagal tidak ada makanan!”

Kalimat ini benar-benar menantang kami.

“Nek, bagaimana kami bisa latihan dengan baik jika kami sekarang sudah lapar?!” Diaz si tukang makan sudah mengeluh.

Sebuah tamparan air membuat tubuh gempal itu terjengkang.

Melihat situasi seperti ini, kami sepakat tidak lagi bertanya atau mengeluh. Percuma. Masing-masing fokus bagaimana menciptakan gelombang air di udara.

Aku benar-benar frustasi. Jo tidak memerlukan waktu lama sudah bisa membentuk apa yang diinginkan oleh nenek Caya. Dengan menyilangkan kedua tangan ke depan, kedua telapak tangannya mampu menarik 2 gelombang sekaligus, lalu disatukan dan dorong ke depan, maka sebuah aliran air terbentuk di udara dan meluncur lurus.

Walau buyar beberapa meter di depan, dia sudah berhasil dan meninggalkan ‘gelanggang penyiksaan’ ini. Aku benar-benar merasa tersiksa!

Dengan keberhasilan Jo membuat Diaz terpacu. Perlahan dia mulai bisa menggerakkan air dengan gayanya sendiri. Aku sedikit geli melihat gerakan tangannya seperti gerakan anak-anak gaul penari ‘breakdance’ jaman dulu.

Telapak tangannya bergerak naik turun tapi akhirnya bisa menimbulkan dua gulungan air yang bila dilepaskan akan menghasilkan 2 pukulan sekaligus.

Yang bikin semakin geram diriku adalah, dua pukulan tersebut ditujukan padaku. Sambil melompat tubuh gempal itu memukul raga dan batinku sekaligus! Sialkan…? Hehe

Galau dan malu membuat aku tambah frustasi. Semua gerakan yang aku ciptakan kacau dan tak berarti. Maghrib sudah berlalu. Malah sudah mendekati tengah malam lagi. Aku lelah, lapar dan kehilangan gairah.

Ada gerakan sirip hiu berenang ke arahku. Aku kenal pemilik sirip itu.

“Gendut, enyah jauh-jauh! Atau kau akan kupotong-potong seperti daging Bagar hiu!”

Teriakan dari pinggir tebing membuat arah renang si hiu putih berbalik arah.

Siapa sebenarnya Nenek Caya hingga Datuk Pi’i dan Datuk Hiu putih tidak bisa berbuat apa-apa? Aku benar-benar penasaran.

Di sela-sela latihanku aku mencari akal bagaimana agar bisa segera keluar dari arena penyiksaan ini. Setelah dianalisa tidak satupun yang bisa aku terapkan.

Tepat tengah malam, sebuah lidah gelombang air mengangkat aku tinggi-tinggi lalu dihempaskan di halaman pondok. Aku tidak bisa bernafas. Aku semaput!

Sebuah tendangan mampir tepat dipinggangku hingga aku melayang tinggi melewati puncak pohon kelapa. Jo dan Diaz hanya bisa memandang. Tidak berani melakukan apapun.

Aku benar-benar merasa diremehkan oleh seorang nenek tak tahu diri. Seolah dia sangat berkuasa atas siapa saja di sini. Baiklah…! Rasakan pembalasanku.

Aku berubah dengan sangat cepat. Melebihi perkiraanku. Sebagai seekor elang aku siap menyerang perempuan tua di bawah sana. Aku meluncur cepat berputar bagai gasing menuju sasaran.

Gelombang air menghadangku dan membuat seranganku tertahan. Sebaliknya gelombang air buyar ke mana-mana. Aku terbang tinggi lalu mengitari sasaranku. Nenek Caya dengan airnya membuat cambuk yang mengejar ke mana saja aku berada . Jleb! Cambuk air itu mengikat tubuhku lalu dibanting sekuat tenaga ke tanah. Aku mempersiapkan diri ketika saat berbenturan.

Tapi, sebelah lengan menyambutku dan mengepit tubuhku. Selanjutnya membawaku ke tengah-tengah pondok. Tubuhku sudah berubah ke wujud asliku.

“Caya, kamu keterlaluan. Buyung baru saja lepas dari racun. Bagaimana bisa dia menguasai kendali air milikmu yang sangat susah itu? Tubuhnya masih lemah malah akan kamu kubur hidup-hidup dengan ilmu cambuk penggali kubur?” Datuk Pi’i melindungiku.

“Bagaimana dia akan menguasai ilmuku jika dimanja begini?” Nenek Caya meradang, tapi menghentikan semua serangannya.

Dalam hati aku membatin, ” Siapa juga yang mau ilmunu? Kasih saja sama Jo dan Diaz. Mereka yang mau.” Aku palingkan muka dari nenek sok kuasa ini.

“Iya, Nek, kasih saja sama kam. Abang Ryu lemah, mana pantas menerima ilmu nenek yang hebat itu?” Diaz dengan polosnya memprovokasi si nenek-nenek. Tapi aku tahu dia ingin mencairkan suasana yang mulai terlihat kaku.

Murid kelas 3 SMA itu berhasil. Si wanita dengan kebaya tradisional lengkap dengan kain yang menyulitkan gerakan (tapi tidak baginya) mulai tenang. Dia cemberut.

Datuk Pi’i membersihkan tubuhku dengan penuh kasih sayang. Tapi membuat nenek yang menggunakan pemerah bibir tebal ini semakin tidak senang.

“Caya cantik, Buyung masih sangat lemah. Berilah dia waktu 3 hari. Aku jamin dia akan bisa menguasai kendali air darimu.”

Nah, Datuk Pi’i mulai genit, ku rasa. Atau memang cara melembutkan hati perempuan pemarah nan anggun ini seperti ini?

“Diaz, Jo, jangan ada makanan bagi si lemah ini!” Sambil berdiri dan berlalu nenek cantik dan menor ini meninggalkan pondok dengan mengendarai gelombang menuju tengah samudra. Entah ke mana.

“Aman, Nek. Tidak akan kami kasih makanan buat si lemah ini…” Aku lihat Jo tersenyum ke arahku, dan aku merasakan senyum itu menjijikkan. Dia telah berkhianat dariku. Baiklah…. Aku mengeraskan tekadku untuk tidak makan.

Melihat sikapku, senyum Diaz lebih menjijikkan lagi, kukira. Hikss…

Tinggal Datuk Pi’i yang masih berpihak kepadaku.

“Datuk juga tidak dikasih makan, kan, Nek?” Teriak Diaz ke arah perempuan pengendara gelombang yang sudah menjauh.

“Iya!” Suaranya keras di telingaku.

Datuk Pi’i memandang seolah tidak percaya pada 2 ekor harimau ini.

“Dengarkan, tuk? Datuk dan Abang Ryu tidak boleh makan. Otomatis jatahnya untukku…” Tanpa malu Diaz mengucapkan itu. Jo malah mendukung kalimat itu dengan senyum penuh kemenangan.

Uuuuhhh….kalau tidak ada Datuk Pi’i di sini, sudah aku habisi mereka berdua. Tapi dengan apa? Ilmu elang yang masih sangat cetek ini? Hihihi

Aku tidak menduga kalau nenek-nenek tidak tahu diri itu akan datang hari ini. Hari ketiga setelah dia pergi. Kedatangannya membuat aku jadi ciut. Apa lagi yang akan aku terima dari tangan halus itu?

“Pi’i, tidak ada alasan bagimu membela dia hari ini. Jika dia tidak mampu menguasai kendali air, aku akan hempaskan dia di batu karang bawah sana!”

Siapa sebenarnya wanita ini? Tanpa beban dia menyebut hanya nama Datuk Elang. Aku mencurigai 2 harimau muda di dekatnya sudah bersekongkol. Sialan, mentang-mentang mereka sudah bisa mengendalikan air main meremehkan aku dan Datuk Pi’i begitu saja?

“Awas kalian!” Mataku mengisyaratkan kalimat itu dan aku kirimkan ke mata mereka.

Dua pasang mata itu malah membalas senyuman penuh kemenangan.

“Jangan terlalu keras, Caya…” Ada permohonan dari pelindungku saat ini sambil mendorong tubuhku ke arah nenek Caya kemudian langsung disambut dengan sabetan air setipis selendang dan aku dilemparkan kembali ke dalam air.

“Kalau dia tidak bisa menguasai air sesuai keinginannya, maka dia tidak boleh menerima elang darimu!”

Tidak ada yang berani membantah. Termasuk aku. Terus terang aku sudah jatuh cinta dengan wujudku sebagai elang putih yang sangat gagah itu.

Konsekwensinya adalah aku harus bisa menggerakkan air sesuai dengan keinginanku.

Kenapa begitu sulit bagiku untuk menciptakan sebuah gelombang sesuai kehendakku? Riak saja tidak pernah terbentuk.

Diaz dan Jo semakin hebat dalam membentuk air sesuai dengan yang mereka inginkan. Air bersilangan lahir dari tangan Diaz. Jo membuat air bergerak bagai gasing mengikuti putaran ke dua tangannya. Dan aku? Cuma menonton pertunjukan mereka.

Si harimau belang dan harimau putih saling pandang lalu tersenyum. Selanjutnya gelombang air dari tangan-tangan mereka menyerangku. Serangan itu membuat aku terbawa arus jauh dari tempatku semula.

Tidak cukup sebatas itu. Kembali gelombang air bagai gasing ingin menggulungku. Air berbentuk ‘X’ menerjang dan mengarahkan tubuhku masuk dalam lingkaran gasing tersebut. Aku tersedot.lalu dengan kecepatan luar biasa menghantam dinding tebing.

“Hoi, kalian mau membunuhku?” Aku berteriak sambil menahan sakit yang tak kepalang.

Jo membentuk tambang dari air dan memainkannya naik turun mengarah ke tubuhku. Sedangkan air ‘X’ milik Diaz berputar-putar ganas mencari pinggang dan leherku.

Aku tidak bisa menghindar dari duet serangan yang berbahaya ini. Dengan kedua lengan menyilang di dada aku siap menerima dengan pasrah. Dengan mata terpejam aku berharap ada dinding baja atau dinding apa saja melindungiku.

Byaarrr… Byaarrr…! Aku menunggu. Ternyata serangan Diaz dan Jo tidak juga menyentuh tubuhku. Tidak sabar aku segera membuka mata. Seketika air berbentuk dinding buyar di depan mataku.

Apakah aku sudah bisa membuat sesuatu dari air sesuai apa yang aku pikirkan? Aku mencoba lagi. Kali ini tanpa memejamkan mata.

Perlahan tirai air naik meninggi. Jo dan Diaz mengirim serangan lagi. Tirai air menahan air bentukan mereka yang ditujukan padaku. Aku ubah imajinasiku terhadap tirai air menjadi baling-baling helikopter yang bergerak mengarah pada dua penyerangku.

Berhasil! Serangan gelombang mereka tak berarti apa-apa. Aku gembira bukan kepalang.

“Yes! Ayo serang lagi!” Aku tertawa sambil memainkan imajinasiku dari air.

Kali ini busur dengan 2 busur aku lesatkan pada 2 bocah di depan. Tidak sempat menghindar. Kalau tidak saja aku tahan, dua anak panah tersebut menembus kening mereka

“Hahaha…. Siapa yang lemah sekarang? Hahaha…”

Aku naik ke atas tebing dengan menapak anak tangga yang aku ciptakan dari air. Jo dan Diaz melongo dan mengikuti langkahku. Saat anak tangga terakhir, mereka injak, aku buyarkan tangga tersebut. Hasilnya mereka melorot dan jatuh kembali ke dalam air dasar tebing

Datuk Pi’i menyambutku dengan riang. Nenek Caya menyeringai dengan senyum tidak percaya. Dua harimau melompat untuk membalas perlakuanku pada mereka.

Ah, ending ini tidak asyik. Mudah ditebak. Persis film atau sinetron kejar tayang yang ada di tivi-tivi…

Posting Terkait

Jangan Lewatkan