Disusun oleh :
Rendra Edwar Fransisko, S.H,.M.H. dan Dr. Alauddin, S.H,.M.H.
OPINI PUBLIK
Polemik silang pendapat terjadi dikalangan akademisi hukum ihwal Putusan MK Nomor : 02/PUU-XXI/2023, Putusan MK Nomor Nomor 67/PUU-XVIII/2020 dan Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 yang kemudian di hubungkan dengan Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah, kemudian di tafsirkan berdasarkan putusan MK tersebut Rohidin Mersyah tidak bisa mencalonkan diri kembali menjadi Gubernur Bengkulu dalam PILKADA 2024 benarkah tafsir hukum oleh Ahmad Wali, S.H.,M.H. yang dimuat dalam media online dengan judul : “Dampak Putusan MK Nomor 02/PUU-XXI/2023, Rohidin Mersyah Tak Bisa Maju Jadi Cagub”, web akses jam 1.56 tanggal 25 Maret 2024: https://www.bengkulunetwork.com/news/1604446262/dampak-putusan-mk-nomor-02puu-xxi2023-rohidin-mersyah-tak-bisa-maju-jadi-cagub dan Prof. Dr. Juanda, S.H.,M.H. dalam media online dengan judul : “Juanda : Petahana Rohidin Tidak Bisa Nyalon Gubernur”, web akses jam 2.17 tanggal 25 Maret 2024 : https://www.rri.co.id/hukum/595643/juanda-petahana-rohidin-tidak-bisa-nyalon-gubernur
Tulisan ini merupakan wujud keresahan kami sebagai akademisi hukum yang melihat distorsi penafsiran terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 02/PUU-XXI/2023 yang kemudian di tayangkan secara lifve (siaran langsung) di studio BETV tanggal 19 Maret 2024. Selain itu tulisan ini juga akan merespons lebih lanjut pendapat hukum Ahmad Wali, S.H.,M.H. dan Prof. Dr. Juanda, S.H.,M.H.
Selain itu, tulisan ini mencoba memberikan perspektif penafsiran lain atas putusan Mahkamah Konstitusi 02/PUU-XXI/2023, Putusan Mahkamah Konstitus Nomor Nomor 67/PUU-XVIII/2020 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009 disela waktu yang sangat terbatas mengingat pembukaan pendaftaran calon Kepala Daerah di tahun 2024, hanya menghitung bulan.
Point pertama, tafsir putusan Mahkamah Konstitusi 02/PUU-XXI/2023 terhadap uji materil Undang-Undang No 10 Tahun 2016 tentang PILKADA dengan Pemohon Edi Damansyah sebagai orang yang pernah menjabat Pelaksana Tugas Bupati Kutai Kartanegara untuk mengikuti Pemilihan Bupati Kutai Kartanegara pada PILKADA serentak tahun 2024. Lalu bagaiman cara memahami putusan Mahkamah Konstitusi 02/PUU-XXI/2023 ?
Ada dua (2) cara yaitu :
Pertama, membaca utuh amar putusan
Kedua, pertimbnagan hukum yang sifatnya mengikat
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi 02/PUU-XXI/2023, hakim MK mempertimbangkan perkara-perkara sebelumnya yang berkaitan dengan norma perkara yang diuji atau mutatif mutandis.
Contoh pertama, Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009, permohonan uji materil ini diajukan oleh Nurdin Basirun. Pada priode pertamanya sebagai bupati karimun melalui masa jabatan defenitif sejak 25 April 2005 sampai 14 Maret 2006). Pada pilkada kedua, terpilih sebagai bupati karimun dan dilantik pada tanggal 15 Maret 2006. Mahkamah Konstitusi hanya mempersoalkan penghitungan jabatan defenitif Nurdin Basirun.
Kemudian pertimbangan putusan MK Nomor 02/PUU-XXI/2023 menyebutkan berdasarkan pertimbangan putusan-putusan diatas, khususnya pertimbnagan hukum dan amar putusan MK nomor 22/PUU-VII/2009 yang menyebutkan “masa jabatan yang di hitung satu (1) priode adalah masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih dari setengah masa jabatan”.
Kemudian pertimbangan kedua (2) yang bisa dijadikan rujukan penguat adalah putusan Mahkamah Konstitus Nomor 67/PUU-XVIII/2020. Putusan ini mengenai bupati Bonebolango priode 2010-2015 yaitu Hamin Pou yang menjadi pelaksan tugas bupati selama dua (2) tahun delapan (8) bulan sembilan (9) hari, kemudian kemudian Hamin Pou menjadi Bupati defenitif selama dua (2) tahun 3 (tiga) bulan dan 21 (dua puluh satu) hari. Bahwa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XVIII/2020 tidak menyatakan Hamin Pou tak memenuhi syarat sebagai calon bupati periode 2021-2026 karena terhitung dua (2) priode. Akhirnya Hamin Pou menjabat bupati Bonebolango priode 2021-2026, padahal PLT bupati selama dua (2) tahun delapan (8) bulan sembilan (9) hari, sudah melewati 2,5 tahun akan tetapi yang di hitung dalam putusan adalah sejak defenitif bukan sejak PLT Bupati.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XVIII/2020 menjelaskan cara menghitung masa jabatan bupati adalah sejak pelantikan atau sejak definitif dan pertimbangan hukum terkait Hamin Pou mirip dengan situasi yang dihadapi pemohon Edi Damansyah (putusan putusan MK Nomor 02/PUU-XXI/2023). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XVIII/2020.
Berdasarkan penafsiran putusan-putusan Mahkamah Konstitusi diatas, penulis hubungkan dengan pristiwa hukum Rohidin Mersyah Gubernur Pertahana Bengkulu, apakah telah melewati dua setengah tahun atau lebih ?
Rohodin Mersyah, berdasarkan surat Menteri Dalam Negeri nomor 112.17/2928/SJ prihal Penugasan Wakil Gubernur Bengkulu selaku Pelaksana Tugas Gubernur Bengkulu tanggal 22 Juni 2017.
Rohodin Mersyah, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 215/P Tahun 2018 tentang Pengesahan Pemberhentian Dengan Hormat Wakil Gubernur Bengkulu Masa Jabatan Tahun 2016-2021 dan Pengesahan Pengangkatan Gubernur Bengkulu Sisa Masa Jabatan Tahun 2016-2021, tanggal 23 November 2018, dan berdasarkan keputusan ini mulai berlaku sejak Rohidin Mersyah dilantik yaitu mulai berlaku pada tanggal 10 Desember 2018.
Kesimpulan, putusan MK 02/PUU-XXI/2023, Putusan MK Nomor Nomor 67/PUU-XVIII/2020 dan Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009, dan di hubungkan dengan pristiwa hukum Rohidin Mersyah, masa jabatan Rohidin Mersyah sebagai Pelaksana Tugas (PLT) Gubernur Bengkulu adalah satu (1) tahun lima (5) bulan delapan belas (18) hari dan sebagai Gubernur Bengkulu Defenitif selama dua (2) tahun dua (2) bulan lima belas (15) hari tidak bisa digabung karena secara historis atau yurisprudensi putusan MK tersebut diatas, tidak ada menyebutkan satu priode adalah gabungan antara PLT Gubernur dan Pejabat Definitif, sehingga tafsiri Ahmad Wali, S.H.,M.H. dan Prof. Dr. Juanda, S.H.,M.H. secara logika hukum dalam menyusun argumentasi hukum adalah kurang tepat dan keliru.
Penulis Adalah: (Dosen Fakultas Hukum Universitas Prof. Dr. Hazairin, S.H. Bengkulu)