Inpres Enggano Mandek: Negara Hadir dalam Teks, Absen dalam Tindakan?

Bengkulu, Word Pers Indonesia — Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 12 Tahun 2025 tentang Penanganan Darurat Pulau Enggano yang sempat disambut dengan antusias, kini justru dinilai stagnan dan minim implementasi. Wacana besar yang tertuang dalam Inpres itu dikhawatirkan sekadar menjadi teks administratif tanpa aksi konkret di lapangan.

Hal ini mengemuka dalam diskusi publik yang digelar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu, Sabtu (29/6/2025), yang melibatkan akademisi, aktivis, jurnalis, dan tokoh adat. Mereka menilai, negara hanya hadir dalam dokumen, namun absen dalam tindakan nyata di Pulau Enggano.

“Tim Pemprov yang seharusnya dibentuk sesuai amanat Inpres, mana? Sampai sekarang tidak ada kabarnya. Ini membuktikan kurangnya keseriusan pemerintah daerah dalam menangani persoalan Enggano,” tegas Ketua AMAN Bengkulu, Fahmi Arisandi.

Gubernur Bengkulu Helmi Hasan mendapat sorotan tajam karena dianggap lebih fokus pada kegiatan seremoni dan proyek infrastruktur di daratan utama, seperti peresmian jalan, jembatan, hingga festival budaya. Sementara Pulau Enggano yang berstatus darurat, justru belum tersentuh program prioritas.

“Ketika bicara Enggano, yang muncul justru wacana pesawat perintis senilai puluhan miliar yang sampai sekarang belum terealisasi. Tidak ada aksi nyata di lapangan. Enggano seakan dipinggirkan karena tidak ada ‘proyek gemuk’ di sana,” ujar Fahmi.

Akademisi Universitas Bengkulu, Dr Arie Elcaputra, menambahkan bahwa keterlibatan 21 kementerian dan lembaga dalam Inpres seharusnya bisa mempercepat penanganan. Namun yang terjadi justru sebaliknya, karena masing-masing pihak menunggu langkah dari yang lain.

“Kalau begini terus, Inpres ini akan menjadi dokumen mati. Tidak ada roadmap, tidak ada target waktu yang jelas,” kata Dr Arie.

Menurut pengamat kebijakan Publik VPVD, Pulau Enggano terjebak dalam politik simbolik, di mana perhatian pemerintah lebih diarahkan pada proyek-proyek yang secara visual dan politik menarik, tetapi minim dampak sosial transformatif.

BACA JUGA:  LBH Padjajaran : Kekuasaan Mutlak Agenda Korupsi

“Kemiskinan dan keterisolasian seperti di Enggano tidak menguntungkan secara politik. Ini realitas pahit birokrasi kita,” katanya.

Dalam kacamata sosiologi kekuasaan, distribusi perhatian pemerintah seringkali hanya diberikan pada wilayah yang mendatangkan insentif ekonomi dan elektoral.

“Enggano tidak menghadirkan itu semua. Maka jangan heran kalau mereka terus diabaikan,” tambahnya.

Jangan Biarkan Inpres Jadi Artefak Politik

Inpres 12/2025 lahir dari perjuangan masyarakat sipil. Tapi jika pengawasan tidak ketat, dan kepala daerah seperti Gubernur Helmi Hasan tidak menunjukkan leadership konkret, maka ia hanya akan menjadi artefak politik: dipajang, dipuji, tapi tidak mengubah apa pun.

Kini, bola ada di tangan masyarakat, media, dan jaringan sipil untuk terus mengawal. Karena kalau kita menyerah pada simbol, maka kita juga sedang mengubur harapan mereka yang hidup jauh di batas terluar negeri — dan itu bukan sekadar soal pulau, tapi soal harga diri bangsa.(*)

Writer: Vox Populi Vox Dei
Editor: Redaksi

Posting Terkait

Jangan Lewatkan