Sasriponi Ranggolawe Protes: Helmi Minta 20% Saham Emas Abaikan Teddy Penguasa Otonomi Seluma!

Opini Publik | Oleh: Vox Populi Vox Dei

Tak ada yang lebih mahal dari tanah yang dijanjikan kesejahteraan, tapi hanya meninggalkan lubang-lubang luka. Begitulah suara yang bergema dari kaki Bukit Sanggul, Seluma. Di sana, di tengah riuh tambang emas yang hendak dibuka, orang-orang kampung menunggu kabar: benarkah janji kemakmuran itu akan jatuh ke pangkuan mereka?

Helmi Hasan, Gubernur Bengkulu, belakangan tampak rajin menebar kata “saham” untuk menenangkan kritik. Ia menjanjikan Pemerintah Provinsi lewat Video Tiktok akan mendapat 20 persen saham dari perusahaan tambang yang hendak mengeruk perut Bukit Sanggul. Tapi janji di atas kertas tak membuat Adv.H. Syech. Sasriponi Bahrin Ranggolawe.S.Ag.SH.MH tidak tinggal diam saja. Sebagai Ketua KNPI Pertama di Seluma, sekaligus Advokat yang juga dikenal vokal membela warga Ulu Talo ini menegaskan: jangan cuma Pemda Provinsi Bengkulu yang menikmati, Pemda Seluma dan Rakyat Seluma juga punya hak atas saham tambang Bukit Sanggul.

Adv.H. Syech. Sasriponi Bahrin Ranggolawe.S.Ag.SH.MH Foto/DOk: Ist

“Kalau Provinsi Bengkulu, Helmi dapat 20 persen, maka Kabupaten Seluma dapat apa? Teddy juga harus bersuara tuntut saham sebagai penguasa sah wilayah otonomi daerah,” kata Sasriponi Ranggolawe. Dengan nada suaranya seperti palu, mengetuk ingatan para pejabat yang kerap lupa: tanah Seluma bukan milik provinsi Bengkulu atau Helmi seorang, apalagi milik korporasi tambang semata. Tapi milik rakyat Seluma sebagai Harta Pusaka Nenek Puyang, jauh sebelum Indonesia merdeka. Tegas Sasriponi Ranggolawe.

Sasriponi Ranggolawe kembali mengingat 14 desa penyanggah di Kecamatan Ulu Talo, ribuan warga menanti kejelasan. Mereka tidak sekadar menuntut angka saham, tetapi juga ruang hidup yang dijanjikan negara. Undang-Undang No. 2 Tahun 2025—yang merevisi UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara—tegas memerintahkan: masyarakat sekitar tambang harus dilibatkan. Tidak bisa ditawar.

UU itu juga membuka jalan bagi koperasi desa, UMKM, hingga ormas keagamaan untuk mendapat prioritas izin usaha pertambangan. Ada harapan, setidaknya dalam pasal-pasal, agar emas tidak hanya memperkaya konglomerat, tetapi menetes ke piring makan warga yang tanahnya dikeruk.

BACA JUGA:  Pulau Emas di Bagian Barat Pulau Sumatera

Janji vs Realita

Di Jakarta, Kementerian ESDM berkali-kali menegaskan hal serupa. Kepala Biro Komunikasi Kementerian ESDM, Agus Cahyono Adi, menyebut perusahaan tambang wajib menjalankan Program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM). Lewat Permen ESDM Nomor 41 Tahun 2016, setiap jengkal penambangan harus berbanding lurus dengan peningkatan ekonomi, kesehatan, pendidikan, hingga kebudayaan warga sekitar tambang.

Kuncinya satu: peta sosial. Sebuah peta yang harusnya lebih penting daripada peta konsesi tambang. Dalam peta sosial, perusahaan mesti tahu: berapa banyak anak yang butuh sekolah layak, berapa rumah warga yang butuh air bersih, berapa ladang yang terancam, berapa bibir sungai yang rentan tercemar.

Sayangnya, peta sosial sering tenggelam di bawah tumpukan dokumen amdal dan janji investasi. Warga hanya mendengar janji. Sementara di ruang rapat, angka cadangan emas jadi rebutan elite. Yang kasat mata justru cerita panjang di negeri tambang: kerusakan lingkungan, janji reklamasi yang mangkrak, konflik horizontal yang meretakkan kampung.

Jangan Cuma Retorika

Sasriponi menuntut DPRD Seluma berani bersuara lantang. Bupati Teddy Rahman, pemilik mandat rakyat Seluma, juga tak boleh hanya jadi penonton di pinggir meja negosiasi saham. Di era otonomi daerah, kepala daerah bukan sekadar stempel formal izin tambang, tetapi garda depan untuk memastikan tanah yang digali mendatangkan untung, bukan kutukan.

Di Bukit Sanggul, nasib ribuan warga dipertaruhkan pada kata-kata “kalau”. Kalau saham benar dibagikan. Kalau PPM benar dijalankan. Kalau tanah benar dipulihkan. Kalau suara rakyat benar didengar.

Sayangnya, sejarah tambang di republik ini sering membuktikan: kata “kalau” adalah lubang galian paling dalam. Di situlah emas sering berubah jadi pasir mimpi. Yang tersisa hanyalah suara sunyi orang-orang kampung: menunggu janji yang tak kunjung ditepati.

Posting Terkait

Jangan Lewatkan