Part #10 Tuhan Jangan Kau Cabut Dulu Bunga Bunga Indah Ini

Oleh: Bagus Republik SLE

Jangan Terima Aku Apa Adanya

Masih ingat dengan sosok karyawan yang tersenyum bahagia melihat Ryu dan anak-anaknya berbaring di tempat tidur Jago, lalu menunduk sedih?

Dia adalah Siti Nurbaya. Salah seorang karyawan di cafe ini, dan satu-satunya wanita di antara tiga karyawan lainnya.

Siti adalah oase di antara kerasnya sikap para lelaki di tempat dia bekerja.

Pagi di hari yang panas, Siti sedang berbenah. Rutinitas setiap libur kuliah dan belum masuk jam kerja. Dia menyusun beberapa helai pakaian sederhananya yang memang tidak seberapa ke dalam kardus mie instan yang jadi lemarinya. Kamar kostnya yang ukuran 2×2 ini harus selalu kelihatan rapi dan bersih, supaya sedikit agak lega.
Tidak ada kasur, hanya sehelai tikar pandan sebagai alas tidur, dan tumpukan beberapa buku, modul, makalah, dan beberapa catatan di tempel Disudut dinding.

Disudut kamar ada gayung berisi perlengkapan mandi, dan tempat ‘mengampaikan’ pakaian yang sudah dicuci karya tangannya sendiri dari potongan-potongan kayu bekas yang dia minta dari bapak kost, sekarang ini cuma berisi handuk kualitas rendah yang sepertinya baru saja dipakai, dan setengah lusin hanger. Di balik pintu ada ‘telekung’ dan sajadah tergantung. Hanya itu isi kamar ini.

Tidak ada cermin, apalagi lemari hias.

Dan sepertinya Siti tidak butuh itu. Wajah khas suku Rejang, putih, dan selalu manis dengan gaya natural. Tanpa bedak, lipstik ataupun make up yang jadi menu wajib bagi para perempuan. Dengan penampilannya seperti ini saja sudah membuat banyak teman kampusnya mabuk kepayang.

Di antara mereka itu ada mahasiswa Aceh yang bermata biru dan berkulit putih, diam – diam mengagumi siti secara rahasia. Untuk seorang laki-laki, wajah dan tubuhnya hampir sempurna di mata para perempuan. Ditunjang lagi oleh karakter wajah blasteran. Wajar kalau banyak teman wanita di kampusnya memasang ‘jaring’ untuk mendapatkannya. Dari yang modis, wangi, hingga yang kaya raya.

Bahkan ada yang sangat frontal, hingga mengabaikan kemuliaannya sebagai perempuan. Tapi bagi Udin, selalu dia tekankan nama itu ketika memperkenalkan dirinya, mereka itu tidak menarik sama sekali. Kalah jauh dari Siti yang sederhana penampilannya.

Siti telah berbenah. Dia melihat jam di HP android sederhananya.

“Hm… Masih banyak waktu sebelum jam kerja” Gumamnya perlahan. Tangan dan matanya tertuju ke susunan buku dan mencari – cari, dan mengambil salah satunya. Mulai membuka untuk di baca.

Praaaannnkkkk….!!! Suara sesuatu yang di banting. Mungkin piring, gelas atau sejenisnya, dari rumah mewah sebelah kamar. Ada guratan ketidaknyamanan dari mimik muka siti.

“Pokoknya kita cerai!” Suara perempuan melengking disusul suara sesuatu yang dibanting kembali.

“Kamu pikir aku takut? Dasar perempuan tak berguna!” Suara seorang laki – laki menimpali.

“Baik, kita cerai! Dasar laki – laki bangsat”

Siti menengadah ke langit – langit. Tampak dia menarik dan menghembuskan nafas kesal. Dia berusaha untuk tidak mendengar kalimat -kalimat berikutnya, yang lebih mengerikan dari yang baru saja dia dengar. Siti sudah hapal kalimat – kalimat yang akan keluar. Bagaimana tidak hapal, kalau pertengkaran suami istri ini, dalam seminggu pasti ada saja keributan? Siti tidak mau tahu apa penyebabnya, tapi yang Siti heran, kata ‘cerai’ selalu ada dalam pertengkaran itu sejak awal Siti menempati kost ini, dan itu sudah empat tahun lalu. Dan anehnya lagi, kenapa selalu ada pertengkaran, sedangkan mereka masa pacarannya hampir sepuluh tahun? Dan ini dia ketahui dari isi pertengkaran tetangga tersebut. Lalu, apa gunanya masa penjajakan, kalau pacaran itu adalah masa penjajakan untuk mengetahui karakter masing-masing? Siti menanamkan kalimat itu kuat-kuat dalam benaknya.

“Pulang sana ke orang tua kamu, minta diajarkan sopan santun!” Teriak sang suami.

“Kamu yang pergi ke orang tua kamu, minta diajarkan moral! ” Timpal sang istri.

“Menyesal aku menikah dengan kamu, ternyata ketika pacaran dulu kamu manis bagai puteri itu palsu! ” Suara sang suami.

“Kamu pikir aku senang nikah sama kamu? Mestinya kamu beruntung nikah sama aku. Menyesal aku terima kamu apa adanya waktu kamu nembak aku. Ternyata kamu pemalas, tukang selingkuh, dan itu tidak berubah.”

“Kamu yang bodoh! Kenapa mau terima aku apa adanya!”

Siti menghentikan kegiatannya. Dia tidak mau lagi mendengar pertengkaran itu. Buru-buru dia bangkit dan keluar, tidak lupa menutup pintu. Dia belum ada tujuan mau ke mana. Yang jelas dia tidak ingin tersiksa lebih lama oleh pertengkaran tetangganya. Dalam hati Siti bertanya, apakah tetangga lain sudah kebal telinganya, atau sudah memaklumi, atau bahkan menikmati? Dan bagaimana anak dari pasangan itu yang masih berusia dua tahun? Apakah dia juga sudah terbiasa? Siti menggelengkan kepalanya, berusaha menghalau pemikiran lebih lanjut.

“Ah, lebih baik aku segera ke cafe saja… ”

Bisiknya kesal. Lalu dia memesan ojek lokal dari Andonk Buddy, referensi bosnya di cafe.

“Mereka garcep dan memuaskan.” Kata bosnya waktu itu. Dan memang ternyata benar.

Sepanjang perjalanan Siti berusaha mengenyahkan pikirannya terhadap pertengkaran tetangganya tadi. Dia mengenang ibunya yang ada di kampung, jauh di pelosok sana. Mengenang perjuangan ibunya yang tidak memiliki apa-apa dalam menghidupi dirinya dan Siti. Apa saja dia lakukan, asal halal dan bisa memberikan makan pada anaknya.

Menurut cerita ibunya, ayahnya meninggalkan mereka ketika ibunya baru saja seminggu habis melahirkan dirinya. Pergi tanpa pamit, tanpa meninggalkan apa-apa.

Dan sekarang Siti sudah berusia 23 tahun, kuliah dan bekerja. Walau dia dan ayahnya tinggal di kota yang sama, namun hingga sekarang, tidak ada keinginan Siti untuk menemui orang yang telah menyebabkan Siti lahir ke dunia ini.

Seperti kebiasaannya, jika lebih dulu sampai di tempat kerja, dan kali ini menemukan ruang depan cafe yang kosong lagi, Siti langsung beres-beres, walaupun sebenarnya tugas utamanya sebagai barista, tapi Siti tidak keberatan sama sekali menyapu dan membersihkan cafe. Setelah itu merapikan alat-alat yang menjadi tanggung jawabnya.

Tangannya sibuk membersihkan kompor, dan dari mulutnya keluar alunan lagu ‘Aku Papua’ milik Edo Kondologit. Siti tidak tahu mengapa dia sangat suka lagu ini.

“Hitam kulit, lkeriting rambut, aku Papua…. ”

Suara merdu Siti masuk ke telinga Ryu. Tapi Ryu tidak bisa menikmati suara dan lagu tersebut. Dia masih sesak, tersakiti dan merasa kehilangan.

Sementara Jago sedang di kamar mandi, tidak tahu kalau salah seorang karyawannya sudah datang. Setelah memotong kuku ayahnya, dan setelah melihat penerimaan sang ayah atas permintaannya tadi, Jago merasa dia harus menyegarkan tubuh dan pikirannya. Mandi adalah obat ampuh.

Baru saja Siti selesai berbenah, sudah ada tamu yang datang. Dua orang remaja perempuan. Modis dan wangi. Siti segera mengantarkan daftar menu ke meja tamu pertama mereka hari ini.

“Selamat pagi adek-adek cantik. Silahkan dipilih ya menu-menunya.”

“Terimakasih, mbak.” Jawab salah seorang dari mereka.

Siti tersenyum ramah. Baru saja dia ingin berbalik, remaja satunya lagi menahan langkah Siti dengan panggilan sedikit lebih pelan. Tepatnya hampir berbisik.

“Mbak, anak yang punya cafe, ada?”

“Yang mana?’ Jawab Siti setengah menggoda. Dalam hatinya tentulah mereka adalah penggemar rahasia Tegar atau Jago.

BACA JUGA:  Republik SLE Adalah Simbol Perlawanan

” Tegar.”

“Jago.”

Mereka menjawab berbarengan, lalu saling pandang, selanjutnya tertawa riang.

“Jago, ada. Lagi di kamar, habis mandi… ” Siti berhenti sesaat dan tersenyum menggoda pada anak yang menyebut mama Jago.

Si pengagum Jago kelihatan sumringah. Dia membayangkan wajah Jago yang segar dan wangi. Senyumnya semakin mengembang.

“Tegar, mbak?” Anak yang satunya tidak sabar.

“Tegar nginap tempat sepupunya. Belum pulang… ”

“Yaaaaa…… ” Penggemar Tegar langsung menampakkan kekecewaannya. Dia langsung lesu, dan tidak lagi berminat dengan daftar menu.

“Mau dipanggilkan Jago nya?”

Tanya Siti pada anak yang berkuncir ekor kuda.

“Eh, jangan mbak.” Jawabnya cepat. Muka polosnya bersemu merah. Malu.

“Gimana sih, tadi nanya Jago.”

“Nanya aja sih, mbak… ” Selanjutnya dia menyerahkan daftar menu yang sudah diisi.

Siti menerima nota pesanan dan melangkah ke belakang. Siti sempat melihat kalau si penanya celingukan memandang ke dalam. Sepertinya berharap melihat Jago.

“Bang, bantu ayuk di depan ya. Ada pesanan seblak dua porsi.” Teriak Siti setelah mengetuk pintu.

Jago memang sering membantu karyawan kalau ada pesanan, terutama kalau masih agak pagi. Karena jam operasional cafe mereka mulai jam sepuluh pagi. Sedangkan sekarang baru jam sembilan.

“Iya, yuk…. ” Sahut Jago dan langsung membuka pintu.

Ayuk adalah panggilan umum khas masyarakat Bengkulu untuk wanita yang lebih tua dari si pemanggil.

“Oh, ya, ditanya tuh oleh pelanggan.” Sambung Siti ketika Jago sudah keluar kamar.

“Siapa?” Sahut Jago penasaran.

“Cewek cantik…! Sahut Siti.

Jago semakin penasaran. Dia segera melangkah ke depan.

Di mejanya, si kuncir ekor kuda salah tingkah. Semakin salah tingkah ketika Jago mendekati mereka.

” Selamat pagi cantik. Sudah lama?”

Jago menyalami mereka. Anak yang mencari Tegar menyambut dengan malas. Dan yang mencari Jago malah menunduk malu. Ketika menyambut tangan Jago, dia langsung menariknya. Jago tersenyum manis, membuat gadis di depannya mendekap dada, mungkin menahan jantungnya agar tidak meloncat, hehe

“Seblaknya pedas atau sedang?” Tanya Jago.

“Pedas, eh sedang. Eh, pedas saja bang… ” Jawab penggemar Jago cepat.

“Pedas atau sedang?” Jago menggoda sambil tersenyum manis lagi. Cewek yang mengenakan gaun ini semakin salah tingkah, dia memeluk temannya dan menyembunyikan wajahnya di belakang punggung sang teman. Si teman merasa risih.

“Pedas saja bang.” Jawab anak yang mencari Tegar. Dia agak lesu.

“Kok lesu? Sakit ya sayang?”

Jago menyapa pencari adiknya ini. Tapi justru yang menjawab si kuncir kuda, nadanya ketua! Barangkali panas ketika Jago mengucapkan kata sayang pada temannya. Siapa coba yang rela?

“Dia nyari Tegar! “

“Oh, adek Tegar. Bentar lagi pulang kok. Sabar ya… “

Wajah yang lesu itu langsung sumringah. Dia mencubit temannya tanpa sadar.

“Aduh!” Jerit yang kena cubit.

“Kenapa dek?” Jago menimpali sikap mereka.

“Oh, gak pa-pa, bang… ” Jawab si pencubit.

“Kalau gitu abang tinggal dulu ya. Bikin pesanan kalian.”

Jago langsung menuju dapur. Di meja minuman, Siti sibuk mengerjakan minuman pesanan dua remaja enam belas tahun itu.

Anak yang mengenakan gaun, rambut kuncir kuda itu mencuri-curi pandang ke Jago yang mengerjakan pesanan mereka, dan cepat-cepat menunduk atau memalingkan muka, jika Jago atau Siti memergoki tingkahnya.

Sementara si pencubit gelisah. Wajahnya acapkali melihat ke luar, dan memperhatikan setiap jalan masuk. Jelas kalau dia berharap akan kepulangan Tegar. Baginya setiap pergantian detik begitu lama dan menyiksa dirinya. Sekali-kali dia menampakkan pandangan iri dan tidak senang atas keberuntungan temannya.

Ah, dasar anak-anak labil, tidak senang melihat temannya senang.

“Bang, ayah kenapa belum keluar?”

Di antara kesibukan mereka, Siti penasaran, si bos tidak ada di meja biasa dia duduk kalau jam-jam segini.

“Sudah keluar tadi, yuk, tapi kayaknya sekarang lagi kurang sehat. Mungkin lagi istirahat.”

Ada tersirat penyesalan di suara Jago. Dia menyesal telah membuat ayahnya ‘sakit”.

“Kamu kok lesu?”

“Gak apa-apa kok, yuk… “

“Ya, udah kalau gitu.” Siti menata pesanan ke dalam nampan, dan segera mengantarkan pada tamu mereka.

Ketika melihat Siti yang mengantarkan pesanan, ada gurat kecewa pada si gaun berkuncir ekor kuda.

Biasanya Jago akan menemani tamu-tamu jika cafe lagi sepi seperti sekarang. Apa lagi tamu baru seperti dua gadis remaja ini. Tentu saja Jago akan melihat situasi terlebih dahulu, apakah tamu-tamu butuh ditemani atau tidak. Tapi kali ini ada rasa enggan di hatinya.

“Ayuk, kenapa ayuk tidak mau ketemu ayah ayuk?”

Tanya Jago pada Siti, begitu selesai mengantarkan pesanan dan duduk di sampingnya. Siti memandang Jago. Ada rasa enggan di hatinya untuk menjawab pertanyaan ini. Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya Siti menjawab juga.

“Laki-laki itu tidak pantas mendapatkan penghargaan berbentuk apapun. Mungkin jiwanya adalah jiwa binatang, habis mengawini betina, lalu meninggalkannya begitu saja.”

Jago termangu dengan jawaban ini. Tidak menyangka seorang Siti yang lembut, dan berpendidikan mengeluarkan kalimat seperti itu untuk seorang laki-laki yang seharusnya dia panggil ayah.

“Kamu tidak tahu, bang, bagaimana susahnya perjuangan ibu dalam melanjutkan hari-harinya demi aku. Kami ditinggalkan begitu saja tanpa pesan, tanpa kabar dan tanpa apa-apa, serta tanpa siaa-siapa .Bayangkanlah bagaimana ibuku harus bekerja keras di saat dia baru melahirkan aku. Mencari sekedar untuk makan, walaupun kadang dalam satu hari penuh kami tidak ada yang bisa kami makan. Alasan itu saja sudah cukup bagiku untuk tidak mengenalnya.

Ibu pernah membawa aku ketika usia dua tahun ke rumah orang tua orang tersebut di Pagar Dewa. Ibu membawa lima buah durian hasil dia menjaga durian malam itu. Aku digendong di tangan kiri dan durian ditenteng di tangan kananku. Tujuannya ingin memperkenalkan aku. Kamu tahu apa yang ibu dapatkan? Ibuku dihina, diusir, dan yang paling sakitnya lagi, laki-laki itu sudah menikah lagi dan hanya melihat saja orang tuanya dan istri barunya mencaci maki ibu.

Ibuku wanita hebat, ibuku wanita kuat. Walau terhina, dia membawaku kembali. Berjalan kaki dari Pagar Dewa ke Pasar Minggu. Kau tahu sendirilah jarak antara dua tempat itu. Rasanya tidak kurang dari delapan km. Karena ibu tidak punya uang sama sekali untuk naik kendaraan umum. Untuk pulang ke rumah, ibu menjual durian yang kami bawa.

Ibuku tidak pernah menceritakan penderitaannya ke padaku. Aku hanya mendengar dari nenek tetangga kami, tempat ibu mencurahkan penderitaan batinnya.”

Jago sempat merinding oleh nada geram dari luapan emosi Siti kala menceritakan semuanya. Kalimat penuh penderitaan ibunya yang direfleksikan pada nada bicara, air muka dan sinar matanya.

“Dan aku sekarang, akan mengabdikan diriku pada ibuku untuk membalas rasa sakit ibu selama ini, agar tidak ada lagi yang menghina ataupun merendahkan ibuku!”

Tekad yang sangat kuat tergambar dari kalimat itu. Jago kembali termangu.

Semakin kuat tekadnya mencari ayah kandungnya.

Di depan mereka, dua tamu masih menikmati pesanan mereka. Yang satu menikmati dengan lesu, satunya lagi menikmati sambil mencuri-curi pandang ke arah Tegar. Kadang senyum sendiri, kadang muka bersemu merah, kadang malah cemberut.

Next part #11.

Posting Terkait

Jangan Lewatkan