Oleh: IBNU TAUFIK Jr / Pemred BANGKA POS GROUP
Seorang kawan tiba-tiba menyela dalam sebuah diskusi saat acara buka puasa bersama di sebuah kafe di Pangkalpinang. Secara provokatif, dia mengatakan, “Profesi yang paling sulit masuk surga itu satu di antaranya adalah jurnalis alias wartawan.”
Kami semua terdiam dengan joke tersebut. Merasa jadi sasaran tembak, beberapa jurnalis yang ada di acara tersebut menelisik apa makna dari ungkapan tersebut.
Kebetulan di acara tersebut memang ada jurnalis, polisi, jaksa, birokrat, pengusaha, dan mungkin makelar timah. Kawan-kawan dari profesi lain yang sebelumnya banyak di-bully tampak mendapat angin dari joke tersebut, tampak lebih antusias menunggu penjelasan seorang kawan yang tiba-tiba menyerang profesi wartawan.
“Jadi begini, seandainya bagian tubuh seorang wartawan ini lolos dari pengadilan akhirat, maka akan menyisakan mulutnya yang harus kembali ke dunia karena harus kembali menebus dosa,” imbuh ‘sang provokator’ kembali mengundang perhatian kami semua.
Tangan seorang wartawan yang diibaratkan sebagai kemampuan untuk melakukan sesuatu barangkali lolos ke surga jika dia selama di dunia baik dan banyak membantu sesama. Perut dan juga badannya yang jika digambarkan sebagai sebuah kenyataan hidup boleh jadi mendapat toleransi lolos ke surga karena dia telah bekerja keras mencari nafkah untuk keluarganya dengan standar gaji jurnalis yang kebanyakan di bawah rata-rata.
Ia kemudian juga menyebut bahwa telinga seorang jurnalis lolos dari api neraka lantaran di sepanjang kariernya, telinganya sering mendengar kemarahan dari atasannya lantaran produk tulisannya ada di bawah standar. “Karena sering dimarahi bosnya, maka malaikat kasihan dan meloloskan telinga jurnalis masuk surga,” imbuhnya.
Kaki jurnalis yang mungkin diibaratkan sebagai sebuah perjalanan hidup, yang selalu dinilai ada di jalan kebaikan juga bakal diloloskan tanpa serangkaian ujian dan pengukuran. Perjalanan hidup seorang jurnalis dilahirkan untuk kebaikan sehingga semua jurnalis otomatis lolos ke surga.
Menurutnya, hampir seluruh bagian hidup dari jurnalis lebih banyak melakukan kebaikan, meski terkadang salah saat mengatasnamakan perbuatan mereka.
“Hanya saja, mulut, dalam hal ini mewakili apa yang dikatakan melalui tulisan seorang wartawan bisa jadi menghambatnya ke surga. Boleh jadi, jika seluruh bagian tubuhnya diterima di surga, malaikat akan memerintahkan mulut seorang jurnalis kembali ke dunia untuk penebusan dosa.”
Kenapa mulutnya yang bermasalah? Dan kenapa harus kembali ke dunia untuk melakukan penebusan dosa? Jawabannya ternyata sederhana, apa yang keluar dari mulut wartawan dalam arti yang lebih luas diwarnai banyak kebohongan dan bahkan tak jarang kemunafikan.
Wartawan sering melihat keburukan yang ada di orang lain dan mengatakannya dengan sok kritis, bersamaan dengan itu ia juga diam membisu atas keburukan yang lain. Pada tataran yang lebih parah, kawan ini menyebutkan bahwa banyak wartawan yang justru menerapkan kebenaran pada standar dirinya.
Beruntung, di penghujung diskusi sebelum azan magrib berkumandang, kawan yang ‘super provokatif’ ini membuat disclaimer yang menenangkan kami semua wartawan yang dibuat panas dingin di acara petang tersebut.
“Makin matang wartawan, maka teori itu makin tak relevan. Dan teori itu akan makin presisi untuk mereka, jurnalis yang masih labil dalam bersikap dan berpikiran kerdil. Masalahnya, banyak wartawan yang memilih untuk tetap menjadi kerdil serta merasa paling benar,” pungkasnya sembari melempar senyum kemenangan.
Selamat Idulfitri 1444 Hijriah, mohon maaf lahir batin. Semoga kita semua makin mampu bersikap dewasa untuk peradaban dan kehidupan pers yang makin keras tantangannya. (*)