“Audiensi Dulu, Demo Belakangan: Strategi Pemkab Pringsewu Ala Delay Express”

PRINGSEWU, WordPers.ID – 100 hari kerja Bupati Pringsewu baru saja berlalu dan seperti biasa, rakyat menanti bukti, bukan sekadar janji. Tapi yang mereka dapati di Pagelaran Utara justru jalan yang makin berlubang, bukan pembangunan yang bergelombang. Sudah begitu, ketika warga ingin menyuarakan aspirasi lewat aksi damai, Pemkab malah menyambutnya dengan “anjuran audisi.”

Ya, Anda tidak salah baca: audisi!, namun bukan ajang pencarian bakat, tapi proses yang seolah menilai dulu apakah suara rakyat layak didengar.

Warga Pagelaran Utara rencananya menggelar unjuk rasa damai atas infrastruktur yang tak kunjung disentuh. Namun, rencana itu ditunda. Alasannya? Pemerintah Kabupaten Pringsewu mengirim surat yang mengimbau warga melakukan audiensi lebih dulu. Entah itu bentuk keterbukaan atau strategi pengalihan, yang jelas, surat itu datang dengan nada seolah: “Kita ngobrol dulu ya, jangan ribut-ribut dulu.”

Hariyadi, Ketua Karang Taruna Kecamatan Pagelaran Utara, angkat suara soal ini. Dalam keterangannya, ia menyampaikan:

“Pemkab minta perwakilan saja, yaitu 5 sampai 10 orang nanti berangkat dari Selasa. Ya, nanti pas hari Selasa, kalau pertemuan itu declog, tidak ada titik terang, baru kita demo. Kabupatennya mau seperti itu, audiensi dulu gitu loh, jangan demo besar-besaran, karena bupatinya kan baru dilantik, baru 100 hari, malu, sudah kami hargai. Kami sebagai masyarakat bawah, karena taat hukum aturan, kami ikutin dulu. Cuman kalau keputusannya nanti ngomongnya tidak ada anggaran, tidak ada solusi, nggak ada keputusan pasti kapan mau dibangun, kami baru demo.”

Sikap Hariyadi ini mencerminkan kedewasaan sikap warga: menghargai pemerintah baru, taat aturan, dan tetap menaruh harapan bahwa suara mereka akan direspons dengan konkret bukan hanya seremonial.

BACA JUGA:  LSM Trinusa Ingatkan Warga: Jangan Mudah Beri Izin Pemasangan Tiang Jaringan Internet di Tanah Pribadi

Tapi publik pun bertanya: mengapa audiensi baru diusulkan setelah kabar aksi menyebar? Bukankah pemerintah yang proaktif seharusnya mendatangi rakyat sebelum rakyat turun ke jalan?

100 hari kerja seharusnya jadi etalase awal kinerja. Tapi jika jalanan tetap rusak dan warga harus “mengantre bicara,” maka etalase itu justru memamerkan kekosongan visi. Pemerintah mestinya tak hanya lihai membuat surat, tapi juga hadir langsung di tengah masalah. Jalanan rusak bukan hal sepele, ia bisa jadi cermin: rusaknya sensitivitas terhadap jeritan warga.

Jangan salahkan masyarakat jika nanti akhirnya tetap turun ke jalan. Karena seperti kata Hariyadi, jika pertemuan tak menghasilkan keputusan, “kami baru demo.” Dan jika itu terjadi, barulah kita tahu, apakah surat-surat dari Pemkab benar-benar solusi atau sekadar bentuk penundaan yang dibungkus formalitas.

( Davit)

Jangan Lewatkan