Byuto Bab 2: Desa Tanjung Alam

Oleh: Bagus SLE [Desa Tanjung Alam]

Tidak ada yang mengira jika aku harus berada di desa ini. Tidak menyesal, tapi waktu kembali yang selalu molor, hingga memakan waktu hampir seminggu, dari jadwal hanya dua hari, membuat aku sedikit berfikir.

Apa sebenarnya terjadi pada diriku? Aku sangat mudah kena rayuan anak-anak muda desa yang cantik ini. Berawal hanya berkemah di negeri kabut Bukit Macan, lalu kembali ke kota. Padahal aku sudah bersiap dan berkemas.

“Bang, di belakang ada pemandangan yang sangat sayang jika abang lewatkan begitu saja.”

Meldhan, pemilik sawah yang dia jelaskan tadi mengalihkan perhatianku dari tas yang sudah di atas kursi, siap untuk di bawa pulang.

“Iya, bang, mumpung sedang di sini..”

Ricky menyambung kalimat Meldhan.

Aku sedikit ragu. Saat lagi menimbang-nimbang, Jorghy yang sedari tadi selalu mendampingi aku, ikut nimbrung.

“Iya, bang. Aku yakin abang akan menyesal kalau melewati begitu saja. Apa lagi cuaca hari ini sangat mendukung.”

Lengkap sudah alasan yang membuat aku tidak punya alasan lagi untuk menunda ajakan mereka. Lagi pula jarak rumah Jorghy dengan lokasi yang akan mereka perlihatkan padaku, hanya memakan waktu tiga menit menggunakan motor.

“Hanya setengah jam saja.” Janjiku dalam hati.

Melewati rumah-rumah penduduk, lalu masuk pada persawahan. Sangat luas. Sejauh mata memandang. Ada yang baru saja di panen, siap di panen, baru sudah tanam, dan masih menguning, karena belum sempat dipanen.

BACA JUGA Cerita Sebelumnya: Byuto Bab I: Tujuh Harimau Muda

Dengan melewatinya saja dan mengedarkan pandangan ke sekeliling, aku tak berhenti berdecak.

Sempat sekilas aku melirik wajah-wajah perayu ku, dan mereka tersenyum. Senyum rahasia yang tidak dapat aku artikan.

Byur! Aku tercebur ke saluran air. Bukannya menolong, malah mereka ikut-ikutan nyebur. Maka jadilah drama Korea, atau sinetron murahan tivi-tivi Indonesia. Kami tertawa lepas, sambil siram-siraman air ke masing-masing teman.

Ups! Ada yang menggeliat-geliat di bawah telapak kakiku. Licin. Segera aku melompat dan naik ke bibir saluran air. Aku gemetar. Aku pias. Dan aku ketakutan amat sangat.

Suasana riang berubah seketika.

“Kita istirahat di pondok saya saja bang… ” Ajak Meldhan sambil menunjuk ke sebuah pondok sawah yang besar dan kokoh.

Aku berusaha berdiri. Karena gemetar, usahaku sia-sia. Jorghy, lalu memapah. Bukannya melangkah, aku malah melorot bagai tak bertulang.

Sigap Ricky menggendong aku. Mereka dengan cepat meniti pematang, menuju pondok yang hanya berjarak dua pematang sawah lagi.

Udara yang cerah, aku rasakan lembab. Ingin menyampaikan sesuatu pada mereka, tapi aku tak mempu membuka mulut. Hanya sengal nafas pemuda-pemuda ini yang dapat aku dengar. Sementara, mataku terpejam. Aku rasakan kaki dan tanganku hanya berayun.

“Baiklah, ini tidak akan menghawatirkan, aku hanya kaget dan cemas!” Bisikku dalam hati.

Aku mendengar dan merasakan, kalau kami sekarang menaiki tangga pondok, membuka pintu, lalu membuka pintu sekali lagi. Mungkin ini pintu kamar. Lalu aku dibaringkan di kasur.

“Ini bawang merah dan putih, juga minyak tanah, dang… “

Suara Jorghy. Bersama mereka beberapa waktu, membuat aku kenal karakter suara masing-masing.

Bajuku di buka. Aku rasakan ada tangan yang membaluri perut dan dadaku dengan sesuatu. Ada aroma minyak tanah masuk hidungku. Kemudian tubuh lemahku dimiringkan ke kanan dan kiri. Juga dilumuri dengan ramuan yang sama.

“Kenapa aku bisa selemah ini?” Aku hanya mampu berucap dalam hati. Membuka mata saja aku tidak sanggup. Apa lagi untuk bertanya atau menyampaikan sesuatu.

Aku rasakan celanaku dilepas. Tapi siapa pelakunya? Untung aku juga menggunakan celana pendek sebelum celana dalam. Tapi mereka melepaskan semuanya. Aku ingin menahan agar mereka tidak melakukan itu. Sebelum tangan Meldhan melucuti semua pakaianku, aku merasakan sesuatu menutupi tubuhku. Mungkin kain.

“Jorghy, semua pakaian basah, tolong dicuci lalu di jemur.”

Suara Meldhan, pemuda yang paling tua di antara mereka.

“Iya, dang… ” Aku merasakan Jorghy bergerak sigap, mengikuti perintah barusan.

“Kita bawa pulang ke desa atau di sini saja dulu, dang?”

Suara Ricky.

“Sementara di sini saja dulu, hingga sedikit lebih baik. Abang tidak apa-apa, cuma cemas.”

Penjelasan Meldhan ini membuat aku merasa aku begitu lemah. Cuma karena sesuatu yang menggeliat-geliat dan licin di bawah telapak kakiku, lalu aku berakhir dengan kondisi ini? Ini tidak boleh berlanjut lebih lama.

Tangan Meldhan dan Ricky mengurut kaki, perut dan punggungku dengan ramuan tradisional kakek nenek di kampung dalam mengatasi masuk angin.

Perlahan aku merasakan tubuhku mulai menghangat.

Ada suara tabuhan dari samping pondok tempat kami berada. Perkiraanku paling jauh sekitar lima puluh meter. Karena suaranya sangat jelas.

Suara serunai, rebana, kulintang dan lain-lain. Rupanya ada pesta di belakang. Tapi mengapa aku tidak melihat keramaian dan suara-suara, atau pertanda apapun, kalau sekarang ada pesta?

Selain suara tetabuhan yang mengalun, kadang rendah, lalu tiba-tiba meninggi, ada suara riuh orang-orang dengan kesibukan. Aku berusaha menangkap kalimat-kalimat mereka, untuk mengetahui apa saja yang mereka percakapkan., tapi tidak bisa.

“Panggil yang lain ke sini!” Perintah Meldhan, pemuda yang telah tiga tahun menamatkan kesarjanaannya. Instruksi yang sangat tegas. Aku sempat menangkap kekhawatiran dari kalimat itu.

“Baik, dang!” Jawab Ricky cepat.

Aku berusaha membuka mata dan akhirnya bisa. Masih agak kabur. Perlahan mataku bisa menyesuaikan dan dapat melihat wajah-wajah anak-anak muda yang sepertinya sangat mengkhawatirkan diriku.

Sambil meneliti situasi kamar yang kami ada di dalamnya, suara tetabuhan pesta semakin riuh. Aku sangat menikmati suara-suara keagungan alam masa lalu itu. Karena sudah sangat jarang bisa mendengar, apalagi menyaksikan. Semua sudah diganti oleh sebuah alat yang bernama orgen tunggal.

Dengan sekuat tenaga aku berusaha bangkit. Tapi di cegah oleh tangan putih dan kekar milik sarjana pendidikan ini.

“Jangan banyak bergerak, dang!”

Bagai anak penurut, aku akhirnya kembali berbaring.

“Pesta itu di mana?

Dengan suara lemah aku berusaha untuk mengetahui asal pasti suara riuh ini.

Tidak ada satupun yang menjawab. Seolah tidak mendengar pertanyaanku. Jujur, aku mulai kesal dengan sikap seperti itu. Dari Bukit Macan, lalu Bukit Hitam, kemudian sekarang, pertanyaan-pertanyaanku berlalu begitu saja.

Ada angin kencang masuk ke kamar. Tiba-tiba Sandi, Revan, Rio sudah ada bersama kami. Rupanya instruksi untuk berkumpul sudah sampai pada mereka.

Tidak lama kemudian, Jorghy bergabung. Rupanya dia sudah selesai dengan tugas yang diberikan oleh Meldhan tadi.

” Desa mana?” Pertanyaan Meldhan pada orang-orang ini, tanpa aku tahu maksudnya.

“Belum ada kabar, dang… ” Jawab Revan.

“Ada perawan atau perjaka yang sakit di desa kita atau desa lainnya?”

Selain aku, mereka semua berusaha mengingat.

“Tidak ada, dang… ” Jawab Rio dan Sandi berbarengan.

Meldhan mengangguk-angguk, tanpa aku tahu arti anggukan-anggukan itu.

Sepertinya pesta semakin meriah. Dari irama yang aku dengar, ini untuk mengiringi tarian penyambutan kedatangan pengantin pria. Oh, rupanya sumber suara-suara ini berasal dari rumah calon pengantin wanita. Aku menjawab pertanyaanku sendiri.

Pandangan Meldhan tajam mengarah ke mataku. Diikuti oleh mata yang lain. Membuat aku bergidik.

“Andes mana?” Tanpa mengalihkan pandangannya dari mataku, Meldhan mempertanyakan keberadaan salah satu dari mereka.

Aku ingat tentang kejadian kemaren malam, dan kemaren siang. Orang-orang ini adalah perwujudan dari tujuh harimau muda.

Revan bangkit lalu melangkah ke luar. Mungkin menuju ruangan lain.
Tidak lama kemudian, dia kembali dengan hand phone di tangan.

“Masih di kota, dang. Mengurus persiapan sidang skripsi.”

Penjelasan Revan, pemuda berkumis ini menimbulkan perintah lanjutan dari Meldhan. Aku ambil kesimpulan, bahwa dia adalah pemimpin dari tujuh harimau muda ini.

“Ambil bambu gading dan bawang putih, letakkan pada posisi Andes!”

“Siap, dang!” Sandi segera bergerak meninggalkan rumah. Dari bayangan yang terpantul di lantai, aku tau dia segera ke luar.

“Apa yang terjadi?” Ah, aku menyesali pertanyaan yang tidak bisa aku tahan. Seperti pertanyaan-pertanyaanku lain, berlalu tanpa ada jawaban.

Sandi masuk dengan pesanan pimpinan mereka. Menempatkan seruas bambu gading dan sebutir bawang putih, lalu diletakkan persis di samping perut, sejajar pusar, sebelah kanan.

“Ambil posisi masing-masing!”

Instruksi sang pemimpin dan langsung dilaksanakan oleh yang lain.

Meldhan berada tepat di atas kepalaku, Revan sejajar pundak kiri, Sandi sebaliknya. Rio sejajar pusat sebelah kiri dan Ricky di ujung kaki. Jorghy menduduki kedua lututku.

Aku ingin protes. Tapi pasti akan sia-sia. Pasrah tapi tak rela sebenarnya. Yang menjadi pertanyaan besar bagiku, apa maksud semua ini?

Sesaat aku merasa berada antara sadar dan tidak. Aku berusaha mempertahankan kesadaran dengan memperhatikan enam orang yang mengelilingiku. Duduk bersila dengan mata terpejam, kedua telapak tangan di lutut, dengan posisi terbuka ke atas dan jari ujung telunjuk dan jempol menyatu. Mulut komat kamit dan aku tidak bisa mendengar apa yang mereka ucapkan.

Aku sangat ngantuk. Perlahan aku memejamkan mata. Hampir senyap. Suara tetabuhan pesta semakin menggila. Saat hampir saja aku tertidur, Meldhan menempelkan tangan kanannya tepat di ubun-ubunku. Rasa hangat dari tangan tersebut mengembalikan kesadaranku.

Hening. Tidak ada lagi suara tetabuhan. Hanya desau angin dari tengah sawah yang aku dengar.

Dari lokasi pesta, kembali suara serunai meninggi, diikuti oleh tetabuhan lainnya. Suara-suara itu langsung menuju puncak.

“Hoaammm… ” Kembali rasa kantuk menerpaku. Perlahan aku akan memasuki alam tidurku.

Sepertinya ada tangan-tangan lain mencegah aku pulas. Bahu di kanan dan kiriku ada aliran hangat, selain di ubun-ubun. Aku urung tidur.

BACA JUGA:  Destita: Bangga! Akhirnya Bengkulu Punya Pimpinan di Lembaga Tertinggi DPD RI

Senyap kembali. Suara pesta berhenti. Lalu mengulang lagi, langsung menuju klimaks suatu irama. Aku masih sadar, ketika aku merasakan ada tangan berusaha menarik kesadaranku. Aku hampir saja berhenti bernafas. Aku berusaha mengumpulkan udara dengan membuka mulut.

Di saat genting itu, rasa hangat mengalir di pusarku, dan itu membuat aku kembali bisa bernafas. Aku terbatuk.

Brak! Sepertinya suara dinding kamar ini hancur. Di susul oleh suara yang entah datang dari mana.

“Hentikan semuanya! Kami telah mengadakan penjemputan untuknya!” Suara itu menggema dan membuat bulu kudukku merinding.

“Rebut dia!” Suara itu memberi perintah, entah pada siapa.

Ada tangan-tangan yang tidak terlihat menyentuhku. Lebih dari dua.

Rasa hangat yang dialirkan pada tubuhku membuat tangan-tangan itu lepas. Dan selalu begitu berulangkali.

“Ratu kami telah lama menunggunya. Mengapa kalian cegah?” Kembali hanya suara yang bisa aku dengar.

Aku tidak mengerti dengan semua yang asal suara itu bicarakan.

“Kalian salah! Dia bukan yang kalian inginkan!” Suara Meldhan dari atas kepalaku. Tangannya tetap mengalirkan hawa hangat di ubun-ubunku.

Dari mesjid desa terdengar suara azan. Sangat jelas masuk ke telingaku, dan mengembalikan seluruh kesadaranku. Begitu tersadar, aku melompat.

“Kami akan kembali. Karena dia milik kami.”

Masih sempat aku mendengar suara itu, sebelum benar-benar tenggelam oleh lantunan azan.

“Mereka pasti salah orang… “

Kalimat Revan mengandung ketidakpercayaan. Dan disetujui oleh lima orang lainnya.

Lagi-lagi aku merasa, jika aku bertanya akan sia-sia. Walau pertanyaan itu banyak sekali dalam otakku.

“Abang sudah bisa berjalan?”

Pertanyaan Rio menggiring pandangan semua orang ke arahku.
Aku mengangguk mantap! Selanjutnya, kami meninggalkan pondok yang menimbulkan banyak pertanyaan di benakku.

Sebelum meninggalkan halaman, aku sempat memperhatikan arah pesta tadi. Tidak ada perkampungan di situ.

“Mungkin di balik rimbunan pohon-pohon itu ada perkampungan.” Aku mencoba berlogika di dalam hatiku.

Malam purnama lima belas. Suasana desa Tanjung Alam semakin terang. Selain oleh lampu-lampu di depan rumah penduduk, sinar bulan menambah eksotis bentangan sawah yang terlihat olehku.

Malam ini, aku dan enam pemuda yang dari sore menemaniku, duduk bersama di halaman mesjid. Setelah tadi menunaikan sholat isya.

“Boleh abang bertanya?” Aku masih sangat penasaran dengan kejadian tadi sore.

Enam pasang mata memandang ke arahku. Ada peringatan yang disampaikan pada mata itu. Aku mengurungkan niatku.

“Abang takut sama belut?”

Pertanyaan Ricky ini membuat aku gelagapan. Dari mana dia tau kalau aku phobia pada mahluk itu?

“Tadi aku menangkap seekor belut dari bekas pijakan abang di saluran irigasi tadi.”

Malu-malu aku mengangguk.

“Iya… ” Jawabku sambil cengengesan dan menggaruk kepala bagian belakang yang tidak gatal.

“Hahaha…. ” Mereka tertawa ngakak. Hingga ada yang mengeluarkan air mata.

“Sejak kapan, bang?” Meldhan bertanya, tapi tidak mengalihkan pandangannya dari langit. Dia memandang bulan yang bulat sempurna.

“Tidak tahu juga sih, pokoknya, setiap kali melihat belut, abang merinding… “

Kembali mereka tertawa.

Suara tawa mereka langsung berhenti. Dari jauh ada suara riuh pesta seperti tadi. Dari asal yang sama. Beberapa orang yang mendengar dan berada di luar segera masuk ke rumah.

Entah kapan dan dari arah yang mana, Andes sudah berada di antara kami. Tampak wajahnya masih lelah.

“Belum selesai juga… ” Keluhnya.

“Sabar. Kamu harus lulus secepatnya. Banyak yang harus kita selesaikan setelah kamu lulus nanti.”

Meldhan menguatkan semangat pemuda yang baru saja sampai dari kota.

“Kita harus segera meninggalkan desa, sebelum irama serunai itu meninggi.”

Jorghy mengingatkan kami.

Tergesa-gesa mereka berjalan ke arah rumpun bambu dekat sungai. Aku mengikuti sambil berlari-lari kecil. Sungguh, aku tidak tahu apakah aku masuk dalam kata ‘kita’ yang disebut tadi atau tidak. Aku hanya mengikuti. Kalau bukan bersama mereka, lalu aku bersama siapa nanti kalau tinggal? Belum ada yang aku kenal di desa ini selain mereka.

Memasuki lindungan gelap pohon bambu, satu persatu mereka berubah menjadi harimau. Sebelum berubah, Revan menyuruh aku untuk naik ke pundaknya. Selanjutnya, tujuh harimau berlari memasuki hutan lebat. Menjauhi desa yang semakin indah kalau bulan purnama ini.

Sayup-sayup suara tabuhan dari pesta pernikahan masih bisa aku dengar. Semakin lama semakin hilang.

“Kita ke mana, Van?” Bisikku ke telinga harimau putih ini.

Hanya dengus yang aku dapatkan. Kembali pertanyaan yang tiada guna.

Sepanjang perjalanan, aku memperhatikan setiap seluk hutan yang dilewati. Untuk mencari tahu kami berada di mana. Tapi aku buta sama sekali.

Iring-iringan tujuh harimau menyusuri hutan, meliuk-liuk di antara pepohonan. Ada keinginan untuk merekam moment ini ke dalam video. Diam-diam aku merogoh kantong celana, berusaha mengambil hand phone.

“Pegangan yang kuat, bang. Kita akan meloncat!”

Belum sempat aku melakukan perintah Revan si Harimau Putih, kami sudah meloncati jurang yang dalam dan lebar. Aku terkejut dan hampir hilang keseimbangan. Hal ini mengganggu pergerakan Revan.

Dan, hup! Kami tidak bisa mendarat dengan sempurna. Kaki depan wujud harimau ini, tergelincir. Kami meluncur ke bawah. Aku berusaha mencengkeram kuat-kuat kulit punggung Revan, agar tidak terlepas.

Aku merasakan tubuh kami menerpa dahan sebuah pohon lalu tersangkut. Susah payah Revan berdiri dengan aku ada di punggungnya.

“Jangan lepaskan pegangan abang. Kita akan naik ke atas.”

Andaikan aku tidak mengalami langsung peristiwa ini, aku tidak akan pernah mempercayai, jika ada peristiwa seperti ini.

Berada di atas punggung harimau, meloncat-loncat dari dahan ke dahan antara pepohonan, lalu mendarat di bibir jurang yang tadi kami gagal capai dengan sempurna, lalu berlari dengan cepat menyusul enam harimau lain yang sudah jauh meninggalkan kami.

Baiklah, aku pasrahkan saja dengan garis hidupku malam ini. Apa yang akan terjadi ke depan, aku yakin, tujuh makhluk ini tidak akan membiarkan aku celaka.

Aku melonggarkan pegangan lalu menempelkan tubuh dan wajahku pada kulit Revan. Aku merasakan kehangatan dari aliran darah yang berpacu dari tubuh seekor makhluk yang hingga saat ini masih menyimpan energi yang sangat kuat bagi makhluk yang ada di depannya. Makhluk yang masih mendapatkan rasa hormat bagi penduduk desa pedalaman.

Revan membiarkan apa yang aku lakukan. Di tempat yang lapang kami berhenti. Revan berbaring istirahat. Sementara aku juga berbaring, menggunakan perutnya sebagai alas kepala. Kami memandang langit yang terang. Bulan purnama dan di kelilingi oleh taburan bintang.

Cahaya terangnya menerpa dedaunan pohon hutan lalu di pantulkan. Maka ada pendar keperakan dipancarkan memenuhi celah hutan. Begitu indah. Tidak ada kerugian ataupun penyesalan sedikitpun bagiku saat ini karena tidak bisa pulang ke kota.

Semua yang aku dapatkan sepanjang waktu memberikan pemahaman lain bagiku.

“Piu!” Ada suara dari dalam hutan di seberang lapangan.

“Piu!” Revan menyahut. Seiring dia mengembalikan wujudnya ke manusia.

Dalam hati aku bertanya, “wujud asli mereka ini yang mana, sebagai harimau, atau manusia?”

Kami berbaring menghadap langit. Dan aku sudah terbiasa jika ada angin. Sama seperti sekarang. Kedatangan angin lalu disusul keberadaan mereka satu persatu.

Di lapangan ini, berkumpul tujuh manusia harimau, berikut manusia yang mengikuti mereka. Eh, aku sebagai apa ya?

Jorghy melompat, mengejutkan beberapa orang. Dibandingkan dengan yang lain, dia memang paling awas dengan sekeliling.

“Ada apa?” Ricky mengikuti arah pandangan Jorghy. Jauh menembus sela-sela pohon hutan di seberang tempat yang mereka gunakan sebagai tempat menikmati keindahan langit saat ini.

Dengan satu loncatan, tubuh Jorghy berubah menjadi harimau belang dan masuk ke hutan. Tidak lama kemudian dia kembali. Langsung mengubah diri, berbaring dan kembali memandang langit, persis di sampingku.

Aku berada di antara Revan dan Jorghy. Aku tahu, mereka adalah yang akan melindungi aku, atau membawaku jika ada ancaman secara tiba-tiba.

Kembali rasa kantuk menyerangku. Seketika tubuhku meremang. Revan dan Jorghy merapatkan tubuh mereka ke tubuhku. Rio, Ricky dan Sandi langsung berdiri dan melompat, menyebar ke beberapa arah, menerobos pohon-pohon hutan.

Meldhan dan Andes mengawasi kepergian mereka.

Seperti tadi malam, ada suara lengkingan yang belum bisa aku terjemahkan. Hanya satu kali. Selanjutnya hening. Ada aroma darah masuk hidungku yang membuat aku mual.

“Mereka ada di sini!” Teriak Andes lalu melompati kami.

Beberapa ekor anjing sudah berdiri mengancam. Pandangan mereka mengarah tepat ke arahku.

Andes menghadapi mereka, dengan posisi melindungi.

“Andes, mundur!” Perintah tegas Meldhan yang sudah berada di samping pemuda yang telah memasang sikap siap menyerang.

Sesaat kemudian Andes melompat mundur dan berada di belakangku. Saat ini aku di kelilingi oleh tiga orang yang siap menghadapi serangan dari tiga arah.

Aku melihat Meldhan menjentikkan jarinya yang memantik adanya api. Semakin lama api itu semakin besar.

Tiga ekor anjing yang siap menyerang, malah melipat ekor ke bawah perut, dan menundukkan kepala dengan mulut yang menyentuh tanah. Lalu berbalik.

Perlahan api di tangan Meldhan mengecil, lalu mati.

Dari arah hutan yang dimasukin oleh Sandi, terdengar deru angin dan derak dahan patah. Ada kilau api menerobos sela dedaunan. Sepertinya ada pertempuran seru di arah sana.

“Piu!” Suara itu disambut oleh kata yang sama.

Aku menerka, Rio dan Ricky sedang komunikasi. Tidak lama kemudian mereka muncul dengan membawa kepala anjing, masing-masing di tangan mereka

Sandi melompat dari arena pertarungannya. Dia membawa tiga kepala anjing sekaligus.

“Bakar!” Perintah sangat tegas Meldhan yang masih berdiri di tempat dia mengusir tiga ekor tadi.

Udara tiba-tiba dilingkupi oleh dingin menusuk tulang.

Posting Terkait

Jangan Lewatkan