Byuto Bab 5: Janji

Oleh: Bagus President Republik SLE

“Jangan shely, jangan kau lakukan itu, aku mohon… “

Ricky memelas.

“Tapi aku harus melakukan itu… “
Jawab Shely sambil menunduk.

Udara sore di jalan desa yang ramai lalu lalang kepulangan warga yang dari kebun atau sawah. Ada bias jingga pada langit, membawa kabar dari ufuk, bahwa hari akan segera berganti malam.

“Bukankah kau sudah berjanjj, Shely?” Ricky memandang langit. Tidak sanggup memandang gadis yang ada di sampingnya.

“Jangan bicara soal janji… “
Gadis dengan tinggi di atas rata-rata gadis umumnya hanya mampu melihat ujung jemari kakinya. Mata bulatnya mulai sembab.

” Bukankah dulu kau yang membuat janji…?”

Pemuda yang merupakan satu-satunya harimau hitam dari tujuh harimau muda ini berusaha memandang wajah gadis penghuni ujung desa Tanjung Alam. Mencari kepastian dari ucapan gadis itu.

Shely sesenggukan. Bahu yang lebar milik gadis hobi membaca ini berguncang.

Burung ‘tekterew’ burung pengabar waktu maghrib mulai bersuara. Suaranya yang khas memenuhi angkasa desa, dan disambut oleh suara azan dari mesjid yang ada di tengah-tengah pemukiman.

Dua muda-mudi yang sedang dilanda kebimbangan memutuskan untuk pulang. Ricky menunggu gadis tersebut hilang di balik pintu rumah yang ada di belakang mereka , yang merupakan rumah Shely bersama kedua orang tuanya.

Ricky kemudian menghampiri motor, menaiki, menghidupkan mesin, lalu menyusuri jalan desa menuju rumahnya. Tampak mendung tebal menaungi wajah manisnya.

“Apa yang terjadi denganmu Shely?”

Gumamnya sepanjang jalan.

Aku yang menyertainya sejak sore hanya bisa memperhatikan dan diam. Tidak bisa bicara, apa lagi soal obrolan mereka tadi.

Langit senja yang cerah. Tapi tidak bagi Ricky, yang biasanya perpembawaan tenang. Sejak obrolan dengan gadis ujung desa tadi, dia bagai berada dalam dunia tanpa gairah.

Aku menduga-duga, apakah mungkin Ricky dan Shely adalah dua orang kekasih? Kalau misalkan iya, ada masalah apa sebenarnya? Dari kalimat yang aku dengar, sepertinya, Shely akan melakukan sesuatu, dan dia melanggar janjinya.

Minus Andes dan Meldhan, pasukan harimau muda berkumpul di rumah Revan. Kalau meneliti dari wajah-wajah mereka yang serius, menurutku mereka akan membahas sesuatu yang penting.

Aku menyingkir ke kamar Revan. Bukan tidak mau ikut serta, tapi mereka membicarakan sesuatu yang tidak baik kalau aku ada dalam rapat ini.

“Ini kesempatan mahal bagi kita. Kita harus sambut mumpung ada yang bersedia memberikannya pada kita.”

Suara Revan serius tidak lama aku masuk kamar.

“Aku setuju.”

Suara Rio menimpali, dan sepertinya disetujui oleh yang lain.

“Besok abang akan pulang. Travel sudah aku pesan.”

Rapat mereka sepertinya ada hubungannya denganku. Aku tajamkan pendengaran, walau bukan kebiasaanku menguping pembicaraan orang lain, menurutku aku tidak salah, karena suara-suara dari ruang tamu itu menembus pintu dan samar-samar masuk ke telingaku.

“Kalau ada alasan kita untuk menahannya lagi… “

Kali ini suara Sandi.

“Jangan, karena ada program penting besok sore, yang aku dengar ketika ada yang menelpon dua hari yang lalu.”

Pertimbangan dari Jorghy. Memang, aku harus menyelesaikan dubing film terbaruku.

Hening beberapa saat. Nyamuk yang mengganggu kenyamananku berbaring di pembaringan Revan membuat aku meraih raket pembunuh nyamuk, dan mulailah suara letupan-letupan penghisap darah tersebut. Tis tis tis…! Malam ini aku menjadi pembunuh yang kejam.

“Sepertinya abang memendam kesal pada kita.” Suara Ricky yang sore tadi menyimpan beban, dan ketika berkumpul saat ini, sama sekali tidak terlihat sama sekali.

“Biarkan saja. Nanti dia akan terbiasa. Karena yang akan datang semakin banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang tidak akan dapat jawaban..”

“Jadi, Revan otak dari kediaman mereka?”

Aku menggumam dan menyerang pasukan nyamuk dengan semakin ganas!

“Jangan-jangan otak dari rencana-rencana yang membuat aku lupa segala, juga dia?”

Dengan amarah yang mulai naik, aku raih selimut, dan membungkus tubuhku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Aku mau tidur, atau setidaknya merencanakan perlawanan dari setiap rencana mereka yang selalu membuat aku lemah.

“Harus ada perlawanan!”

Tekad yang aku tanamkan sebelum aku masuk dalam tidur. Aneh, kok tidak ada tanda-tanda yang bisa membuat aku langsung meninggalkan dunia sadar itu, seperti beberapa hari ini?

Satu jam pertama, hanya bolak-balik. Masuk jam kedua, aku masih mendengar suara pria-pria muda yang belum selesai dengan obrolan mereka. Jam ke tiga, membuat kepalaku pusing dan bersin-bersin. Aku gagal tidur, dan Revan sudah mendengkur di sampingku. Sialan!

Memperhatikan Revan, aku teringat dengan salah seorang karyawanku. Wajah mereka sembilan puluh persen memiliki kemiripan. Terutama kumis, hidung, dan jambang. Bedanya, Revan bertubuh agak kurus, tapi berotot. Sedangkan Ampe, karyawanku bertubuh lebih berisi dan berkulit putih.

Suara nafas pemuda satu dari harimau putih ini membuat aku semakin kesal. Dia begitu nikmat tidurnya, sementara aku hanya bolak-balik, tutup dan tarik selimut.

Mengingat dia mampu menggendong aku dengan kecepatan lari para harimau muda, tidak akan mengira kemampuan tersebut, bila melihat perawakan yang paling kecil di antara harimau lainnya.

Menyusuri pematang, melompat di antara pematang, meliuk-liuk di antara pepohonan, menyeberangi celah lembah hanya dengan satu lompatan, dan terakhir terjun ke sungai, dari bibir tebing hingga ke permukaan air, paling tidak ada tiga puluh meter, maka hanya anggukan salut yang akan kita berikan untuk pemuda, yang sehari-hari bekerja di jasa dekor pelaminan dan interior kamar pengantin.

Anak ke dua dari tiga bersaudara ini, memiliki jarak tujuh belas tahun dengan adiknya. Seorang perempuan yang cantik dan menggemaskan ketika berada dekat sang kakak. Maunya menempel terus dengan kakak tampannya. Dan Revan adalah seorang kakak yang sempurna bagi sang adik.

Melihat perbedaan kehidupan sehari-hari di dalam alam manusianya, penyayang, sedikit manja, suka bercanda, dan sangat hormat pada orang yang lebih tua, tidak ada yang menyangka, kalau si rambut ikal ini memiliki peran penting dalam penyelamatan dan perlindungan terdepan untuk hidupku beberapa hari ini.

Kalau saja tidak terjadi di depanku, saat gigi tajam harimau yang menggigit leher pasukan Byuto, lalu melempar ke udara dan ketika jatuh kembali cakar-cakar tajam mencabik-cabik tubuh anjing-anjing liar tersebut, dan dibandingkan dengan tubuh yang berbaring di sampingku saat ini, maka tidak akan mengira, bahwa Revan adalah salah satu dari tujuh harimau muda yang mungkin generasi tujuh harimau Sumatera yang legendaris tersebut

Revan, pemuda kampung pedalaman, adalah salah satu dari dua harimau putih yang sangat terkenal sebagai penjaga gerbang alam Rindu Hati yang ada di Bengkulu Tengah.

Sementara yang satunya lagi, adalah Sandi, remaja kelas tiga SMA bertubuh gempal dan hitam manis.

Tentu Tuhan tidak sia-sia saat ini menempatkan aku di lingkungan mereka. Tapi pertanyaannya adalah, apa maksud dari semua kejadian yang aku alami beberapa hari ini dan mengapa?

Aku harus mencari tahu itu.

Setelah azan isya tadi, Revan mengajak aku main ke rumah kakeknya.

Satu pertanyaan dari peristiwa yang hampir saja mengambil jiwaku, tentang pesta di samping pondok sawah Meldhan, pemimpin seluruh tujuh harimau dan merupakan harimau belang, aku dapatkan jawaban di sini.

Dari mulut lelaki tua, mata sudah tidak normal lagi penglihatannya, tapi memiliki ingatan yang sangat kuat.

“Itu adalah tetabuhan penyambutan calon pengantin baru.” Kalimat awal tentang tetabuhan pada sore itu.

Sama persis dengan dugaanku. Tapi yang membuat aku terkejut dan hampir jatuh dari kursi yang aku duduki adalah kalimat lanjutannya

“Setiap perawan atau perjaka desa ini dan sekitarnya ada yang meninggal, mereka selalu mengadakan penyambutan, persis seperti yang kamu dengar pada sore itu.”

Penjelasan lanjutan kakek yang membuat aku merinding dan pucat.

“Suara itu berasal dari pemakaman tidak jauh dari pondok itu.”

“Dan kamu adalah calon pengantin yang mereka tunggu.”

“Kenapa mereka menunggu aku?”

Seluruh tubuhku aku rasakan kaku.

“Kalau benar kamu adalah anak almarhum Harta, maka tidak salah kalau ‘mereka’ menunggu kamu. Kamu adalah keturunan ke empat dari orang yang bernama Rindu Hati yang berasal dari tanah bertuah kampung tua yang bernama Taba Lagan.

Rindu Hati yang sangat tampan, berbudi sangat baik, pemberani, memiliki ilmu agama yang baik pula, diidolakan oleh banyak sekali pengagum. Baik dari dunia manusia maupun dari alam jin.

Tetabuhan pesta itu berasal dari rakyat jin, yang dipimpin oleh ratu, yang sangat menginginkan hidup bersama dengan Rindu Hati sebagai suaminya. Si Ratu telah melakukan semua usaha, dari tipuan alam jin hingga nyata, tapi Rindu Hati selalu bisa menghindar dan menyelamatkan diri dari jebakan-jebakan ratu tersebut, dan membuat ratu sangat putus asa dan bersumpah, akan menjadikan pengantin setiap jiwa-jiwa perjaka dan perawan dari desa sekitar dia berada, dan akan selalu berusaha mendapatkan siapa saja keturunan Rindu Hati yang datang ke desa yang masuk dalam wilayah kekuasaannya.

Dan, kamu ada di sini, keturunan Rindu Hati yang melemahkan banyak hati wanita, termasuk ratu jin tersebut. Maka sangat wajar jika kamu mengalami hal seperti kemaren.”

Sangat panjang dan sangat menakutkan rangkaian kalimat ini.

“Dulu, Harta, bapakmu, juga mengalami hal yang sama seperti kamu. Dan itu adalah awal dari persaudaraan kami.”

Kalimat-kalimat kakek Revan membuat aku kembali bergidik. Di kamar Revan, di samping pemuda ini, membuat aku sedikit merasa aman.

Tok tok tok… Suara ketukan di kaca jendela kamar di mana aku berada. Aku perkuat pendengaranku. Kembali ketukan itu berbunyi. Aku berusaha meneliti dari bayangan yang diciptakan cahaya lampu rumah. Tapi kain jendela menghalangi.

BACA JUGA:  Tragedi Petani Kopi dan Harapan

Tok tok tok… Kembali ketukan berbunyi, tapi sekarang semakin kuat. Aku bangkit, menuju jendela, menyingkap kain gorden.

Wajah seorang gadis dengan senyum manis dari bibir merah menggoda. Hatiku berdesir. Jemarinya memberi isyarat agar aku keluar.

“Siapa?” Tanyaku perlahan.

Wajah cantik itu tidak menjawab. Senyum dan sinar matanya sangat menggodaku.

Sekali lagi dia memberi kode agar aku keluar.

Entah apa yang aku pikirkan, aku mulai mengikuti ajakan itu. Perlahan aku buka pintu kamar, lalu menuju pintu depan, dan membukanya.

Aku terpana memandang sosok di depanku. Di bawah cahaya lampu teras, sekarang sangat jelas sosok wanita itu. Sangat cantik. Dia tersenyum malu. Bahasa tubuhnya jelas menantang kelaki-lakianku.

Tapi tunggu dulu, siapa perempuan ini menjelang subuh mendatangiku? Aku masih berdiri di ambang pintu. Masih berusaha berpikir jernih. Si wanita melambaikan jemarinya yang gemulai.

Ada suara tabuhan lagi. Aku kembali disuguhkan suara redap yang mendayu-dayu, seolah mengajak aku ke alam penuh cinta. Aku merasa aku semakin berhasrat pada wanita ini.

Redap alunan cinta semakin mengikat hatiku dan menarik kakiku untuk melangkah mendekati si penggoda. Langkah demi langkah aku meninggalkan ambang pintu. Selangkah lagi berada dalam jangkauan si gadis, aku menghentikan langkah. Ada perasaan yang menghalangiku untuk lebih dekat lagi.

Wanita penggoda menjelang subuh semakin gencar menggodaku. Rupanya dia tidak sabar. Kaki dengan kulit halus melangkah mendekatiku. Ketika tangannya menyentuh wajahku, aku bagai disetrum aliran listrik tegangan tinggi. Langsung bergetar.

Dari kegelapan muncul iring-iringan penabuh redap lengkap dengan pakaian khas. Mengelilingiku. Ada juga tarian dua orang laki-laki berpedang. Di depan mereka ada sekapur sirih.

“Tunggu dulu!” Aku terkesima dan bingung dengan semua ini.

“Ada apa ini?” Tanyaku.

“Menyambut dikau wahai kekasih hatiku… “

Sangat jelas kalimat itu keluar dari bibir merah dengan senyum menggoda itu.

“Hei, kamu siapa?”

Siapa yang tidak takut dengan kalimat itu dari perempuan yang baru pertama kali dilihat, dan menjelang subuh?

Bisa saja ini adalah jebakan. Jebakan dari seorang wanita yang frustasi karena sudah sangat ingin nikah, misalnya? Aku mundur satu langkah.

Suara redap yang merayu semakin gencar. Tarian penyambutan semakin liar gerakannya. Langkah-langkab dua penari laki-laki gagah semakin mendekatiku. Aku mundur lagi selangkah.

Redap berganti irama ketika wanita berpakaian kebaya tradisional itu menjentikkan jemarinya. Setangkai kembang di atas telinganya dengan kelembutan yang memabukkan di lemparkan ke arahku.

Selanjutnya, tubuh yang sangat indah itu mulai menari. Tarian menggoda. Aduh mak, setiap gerakan itu mengandung cinta dan kerinduan… Siapa yang akan tahan dengan semua itu?

Ayam berkokok. Irama redap mulai buyar. Gerakan tubuh penuh cinta dan rindu mulai kacau. Wajahnya menampilkan kecemasan. Dan, dug… Sebuah ujung telunjuk menerpa keningku. Ada tangan-tangan menyergap tubuhku. Ketika aku merasakan tubuhku akan di bawa, aku segera memberontak. Tapi tidak ada gerakan yang bisa aku buat. Aku kaku.

Wuuusshhh… Kelebatan angin kencang menarik diriku menjauh dari si wanita dan pasukan penyambutannya.

Tangan seorang laki-laki membawa aku meloncati atap rumah dan mendekati mesjid yang mulai memperdengarkan alunan ayat-ayat alquran.

“Wanita itu adalah ratu jin yang diceritakan oleh Nek Nang tadi, bang, bersama pasukan penjemputannya.”

Nek Nang merupakan singkatan dari Nenek Lanang, digunakan untuk penyebutan pada ‘kakek’ dalam suku Serawai.

Tumben ada keterangan dari Revan mengenai sesuatu yang akan aku tanyakan.

Ada suara gemuruh dari arah belakang kami. Aku menoleh. Gulungan angin puting beliung mengejar kami.

“Rindu Hati….! Aku akan selalu mengejar keturunan kamu! Janjiku dari dulu, hingga kinj dan sampai kapanpun!”

Teriakan seorang wanita keras menggedor telinga dan sanubariku.

“Tenang bang, selagi kita berada dalam lingkungan mesjid, apa lagi sebentar lagi azan, kita akan aman… “

Kalimat Revan menenangkan hatiku.

Hampir saja angin itu mencapai halaman mesjid, tapi kemudian buyar tanpa bekas. Ada lengkingan-lengkingan ketakutan semakin menjauh bertepatan azan melantun dari pengeras suara, memenuhi udara desa Tanjung Alam.

“Ayo masuk, bang… “

Tawaran yang membuat aku ragu. Sudah sangat lama aku tidak masuk mesjid, apa lagi untuk sholat. Aku berusaha mengingat. Oh, sudah sangat lama.

Hari ini aku gagal lagi pulang. Revan membawaku jauh entah ke mana. Masuk hutan yang belum pernah aku lihat. Dengan kecepatan lari seekor harimau kami melewati entah sudah berapa bidang hutan dan kebun kopi.

Sesekali aku menempelkan tubuhku ke tubuh harimau putih ini ketika lari dengan kecepatan tinggi, kadang aku menegakkan tubuh bagian atas saat perjalanan santai.

“Di mana yang lain, Van?” Aku tahu pertanyaan ini akan sia-sia, tapi, ternyata dijawab oleh si harimau dengan bahasa manusia.

“Masing-masing ada pekerjaan yang harus mereka selesaikan, bang… “

“Pekerjaan sebagai manusia, atau harimau?”

Aku penasaran.

“Pekerjaan sebagai manusia… “

Jawab Revan berjalan santai. Tubuhku bergoyang-goyang mengikuti Irama gerakannya. Persis joki di atas punggung kudanya

Di bawah rindang pohon, di samping air terjun yang aku tidak tahu namanya, kami berhenti. Revan berubah sebagai manusia.

“Kita tunggu mereka di sini. Sekitar dua jam lagi mereka akan sampai.”

Revan langsung menyandarkan tubuhnya di akar pohon besar. Di lihat dari keadaannya sekitar pohon yang bersih, aku meyakini, kalau di sinilah tempat pertemuan mereka dan itu sering terjadi.

Grrrhhh… Suara dari dalam perutku berbunyi. Aku langsung memandang Revan, dan dia sedang memperhatikan asal bunyi tersebut.

“Abang sudah lapar ya. Sabar ya, kita tunggu mereka datang dengan makanan kesukaan abang… “

Aku tersenyum, lalu memandang langit yang biru bersih. Hmmm… Sudah tengah hari rupanya. Artinya sudah setengah hari kami berjalan, sejak meninggalkan mesjid tadi pagi.

Hoaaammm… Aku menguap!

“Abang jangan tidur!” Revan membentakku dengan amat kasar. Aku terkejut, karena belum pernah mendengar nada kasar ini sebelumnya dari Revan atau yang lainnya.

Revan siaga.

“Pinjam korek api, bang… ” Ucap pemuda yang sedang memperhatikan sekeliling sambil mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya.

“Abang harus merokok juga… ” Perintahnya.

Kalau soal merokok, mana pernah aku menolak? Maka aku menerima bungkusan rokok yang dia serahkan padaku. Dan segera menyalakan benda tersebut dan menghisap dengan nikmat.

Revan mengumpulkan daun-daun dan ranting-ranting kering yang ada di sekitar kami. Lalu menghidupkan api. Perlahan mulai menyala. Asapnya mengusir nyamuk dan serangga-serangga kecil lainnya.

“Abang jangan jauh dari api. Aku akan mencari dahan-dahan untuk menghidupkan api agar lebih besar lagi. “

Revan segera melangkah ketika aku sudah mengangguk. Dengan beberapa lompatan, tubuh kecil Revan menghilang masuk ke rerimbunan pohon.

Aku meniup-niup tumpukan daun agar api menyala. Sekilas aku melihat ada bayangan anjing melintas tidak jauh di depanku, tapi tidak begitu menarik perhatianku.

“Paling anjing milik petani di sekitar sini… ” Desisku sambil berusaha membuat api menyala.

Ketika api menyala besar, aku memandang api tersebut sambil menghisap rokok. Kembali aku melihat bayangan anjing. Kali ini tidak lagi satu ekor, tapi tiga ekor berdampingan menghadap ke arahku. Lidah menjulur dengan ludah yang menetes-netes. Mata tajam memandang ke arahku.

“Hus.. Hus… Hus… ” Aku berusaha mengusir mereka. Terus terang, aku tidak menginginkan kehadiran anjing-anjing tersebut. Aku bukan tipe penyayang binatang, apa lagi anjing. Kalaupun ada kucing di rumah, itu bukan aku yang mengurusnya

Dasar anjing. Diusir bukan menjauh, malah melangkah mendekat. Ranting yang dari tadi digunakan buat membantu membesarkan api, aku lemparkan ke arah salah satu anjing yang paling depan.

Berbarengan dengan lemparanku, anjing yang menjadi sasaran lemparan, meloncat tinggi. Tujuannya adalah leherku. Aku berdiri dan tanpa sengaja rokok yang ada di tanganku mengenai matanya.

Mendapat serangan tadi, reflek aku mundur. Anjing yang matanya terkena api rokok mundur terkaing-kaing. Serangan semakin gencar datang dari dua ekor lainnya. Aku terjerembab, menjauhi api.

“Vaaannn…. ” Aku berteriak memanggil Revan. Dan teriakan tersebut menghentikan serangan kepadaku, dan anjing-anjing itu tanpa dikomando masuk hutan.

Revan datang beberapa saat kemudian dengan beberapa potongan dahan.

“Ada apa, bang?” Pertanyaan yang teramat santai dari yang aku harapkan.

Aku sedikit tersinggung dengan tanggapan ini. Seolah-olah serangan tiga ekor anjing tadi tidak berarti apa-apa.

“Tidak apa-apa, Van, cuma memastikan kamu sudah dapat kayunya saja… “

Walau aku paksakan bernada santai, dalam hati aku geram.

“Piu… ” Suara dari kejauhan.

“Piu… ” Jawab Revan.

“Piu… ” Aku tidak mau kalah.

Revan memperhatikan aku dengan pandangan lucu.

Empat sosok pemuda harimau belang menghampiri kami dengan senyum lucu ke arah Revan. Revan malah menyambut senyum lucu tersebut dengan ekor mata memandang ke arahku. Aku benci, pasti senyum lucu itu ditujukan untukku yang menggunakan kata komunikasi mereka.

“Mana Sandi dan Ricky?” Sekedar mengalihkan perasaan saja…

“Piu… ” Suara dari dalam hutan.

“Piu… ” Aku mendahului.

“Hahaha…. Hahah…. ” Empat orang yang baru saja datang, diikuti oleh Revan, malah tertawa terpingkal-pingkal sampai mengeluarkan air mata.

“Hahaha.. Hahaha…. ” Aku tidak mau kalah.

Tawaku tidak membuat lima orang ini berhenti, malah ada yang tertawa semakin keras.

“Piu… ” Dua pemuda keluar dari hutan. Memandang bingung. Di punggung mereka membawa tas berisi makanan. Dari aroma yang menyeruak keluar, hidungku memberitahu pada otak, bahwa ada lema dalam tas yang mereka bawa.

Mengabaikan suara riuh, aku makan dengan lahap.

Udara siang dengan langit yang cerah mengiringi nafsu makanku. Tanpa peduli sekeliling.