Mukomuko, Word Pers indonesia — Tabir persoalan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Mukomuko mulai terbuka. Sejumlah potensi kebocoran penerimaan daerah mencuat ke permukaan, terutama dari sektor perkebunan kelapa sawit yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi daerah, namun diduga lalai menjalankan kewajiban pajak dan perizinan.
Sorotan utama tertuju pada tunggakan pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) serta Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) yang melibatkan sejumlah perusahaan sawit besar. Nilainya tidak kecil—ditaksir mencapai miliaran rupiah, dan berpotensi menimbulkan kerugian serius bagi kas daerah.
Kondisi ini memantik kritik keras dari kalangan masyarakat sipil. Aktivis Mukomuko, Saprin, menilai ketidakpatuhan perusahaan terhadap kewajiban pajak sebagai bentuk ketimpangan relasi antara investasi dan kontribusi nyata terhadap daerah.
“Harapan kita kepada seluruh investor jangan hanya mengeruk keuntungan di Mukomuko, tapi lalai dalam kewajiban. Sinergi itu harus diwujudkan dengan mendukung pembangunan daerah melalui kepatuhan pajak,” tegas Saprin, Minggu (14/12).
Tak hanya persoalan pajak, Saprin juga mengungkap adanya dugaan pelanggaran perizinan Hak Guna Usaha (HGU). Ia menyebut, hingga kini terdapat enam perusahaan perkebunan sawit yang diduga belum menyelesaikan perpanjangan izin HGU kebun inti mereka. Bahkan, ada indikasi pengelolaan lahan yang melampaui batas HGU.
“Ini bukan isu sepele. Dugaan menggarap lahan di luar HGU jelas pelanggaran serius dan harus disikapi tegas oleh Pemda Mukomuko dan DPRD,” ujarnya.
Ironisnya, hingga saat ini belum terlihat langkah konkret dari pemerintah daerah maupun legislatif untuk menertibkan dugaan pelanggaran tersebut. Padahal, lemahnya pengawasan berpotensi memperparah kebocoran PAD sekaligus memicu keresahan masyarakat di sekitar perkebunan, mulai dari persoalan limbah hingga konflik lahan.
Saprin juga menyinggung kewajiban kebun plasma yang melekat pada setiap perusahaan pemegang HGU. Berdasarkan regulasi yang berlaku, perusahaan perkebunan diwajibkan menyediakan minimal 20 persen dari total luas HGU untuk kebun masyarakat.
Kewajiban tersebut diatur dalam:
- UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, Pasal 58
- Permentan Nomor 26 Tahun 2007
- Permentan Nomor 98 Tahun 2013
- Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018
- UU Cipta Kerja
Program plasma bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kebun, menciptakan keadilan pengelolaan lahan, serta memperkuat kemitraan antara perusahaan dan petani lokal. Bahkan, pada perpanjangan HGU, kewajiban plasma dapat ditingkatkan hingga 30 persen.
“Jika kewajiban plasma ini diabaikan, sanksinya jelas—bahkan sampai pencabutan HGU. Ini bukan ancaman, tapi amanat undang-undang,” tegas Saprin.
Ia mendesak Pemkab Mukomuko segera melakukan audit menyeluruh, baik terhadap kepatuhan pajak BPHTB, PBG, kewajiban plasma, maupun legalitas HGU perusahaan sawit. Menurutnya, ketegasan pemerintah menjadi kunci agar investasi benar-benar membawa manfaat bagi daerah, bukan justru menjadi sumber persoalan berkepanjangan.
“Kita mendukung investasi, tapi penegakan hukum dan keadilan bagi masyarakat tidak boleh dikorbankan,” pungkasnya.(*)
Reporter: Bambang.S
Editor@ Redaksi



























