Festival Tabot Bengkulu Warisan Budaya yang Layak Naik Kelas Internasional

Oleh: Latifah Khoiriyah

Setiap bulan Muharram, tanah Bengkulu berdenyut dengan gema bedug Dol, aroma rempah-rempah kuliner lokal, dan prosesi budaya yang penuh makna. Festival Tabot bukan hanya ritual sakral untuk mengenang gugurnya Imam Husein dalam tragedi Karbala, tetapi juga wajah budaya Bengkulu yang menyatu dari jejak sejarah India Muslim dan tradisi Melayu lokal.

Tradisi yang diwariskan sejak abad ke-17 ini telah menjadi identitas kultural masyarakat Bengkulu. Dalam beberapa tahun terakhir, Tabot terus tumbuh, bukan hanya dalam skala penyelenggaraan, tetapi juga dalam dampak sosial dan ekonominya.

Lonjakan Pengunjung dan Dampak Ekonomi

Festival Tabot 2024 berhasil menarik 63.571 pengunjung, termasuk ratusan wisatawan mancanegara dari Belanda, Malaysia, dan Hong Kong. Namun, angka itu melonjak drastis pada 2025: lebih dari 200.000 orang tercatat hadir, dengan estimasi perputaran ekonomi mencapai Rp 21 miliar.

Festival ini juga mencatatkan peran signifikan dalam pemberdayaan ekonomi kreatif yang melibatkan lebih dari 420 pelaku UMKM, 1.509 pekerja seni, dan 2.500 tenaga kerja lokal.
Menurut Wakil Menteri Pariwisata, Ni Luh Puspa, keberhasilan ini menunjukkan eksistensi Tabot sebagai event unggulan nasional.

“Kalau sekarang skalanya nasional, kami ingin dorong agar naik lagi skalanya menjadi skala internasional,” ujar Puspa.

Kekuatan Budaya yang Autentik

Festival Tabot memiliki keunikan tersendiri: ia memadukan ritual keagamaan oleh Kerukunan Keluarga Tabot (KKT) dengan beragam atraksi publik. Mulai dari arak-arakan, pertunjukan musik Dol, lomba seni, hingga bazar UMKM, semua menjadi bagian dari kekayaan narasi budaya yang memikat. Tak heran, festival ini masuk dalam daftar Kharisma Event Nusantara (KEN) yang dikeluarkan oleh Kemenparekraf.

Namun, di balik antusiasme itu, terdapat sejumlah tantangan serius yang perlu segera diatasi.

Minim Anggaran, Promosi Masih Lemah

Salah satu catatan kritis datang dari pihak penyelenggara: alokasi anggaran untuk Festival Tabot 2025 disebut hanya Rp 90 juta. Angka ini dinilai sangat minim untuk acara budaya dengan skala besar dan pengunjung ratusan ribu. “Rp 90 juta itu sedikit sekali… festival kami sepi pengunjung luar,” ujar seorang warga lokal yang berharap Tabot bisa lebih mendunia.

BACA JUGA:  Mengenal Ivan Eka Adityo Content Creator Asal Purwakarta

Promosi juga belum dilakukan secara maksimal. Publikasi di media nasional hingga internasional masih minim, dan kehadiran festival ini di platform digital kurang menggema. Padahal, di era media sosial, eksistensi budaya sangat ditentukan oleh visibilitas online.

Catatan Pengelolaan: Kemacetan dan Akses

Antusiasme pengunjung kerap tak diimbangi dengan manajemen pengelolaan lokasi yang baik. Kemacetan, antrean panjang, serta akses transportasi yang terbatas menjadi keluhan umum yang perlu segera dibenahi. Ini menjadi tantangan agar pengalaman wisatawan tidak hanya kaya secara budaya, tetapi juga nyaman secara fisik.

Rekomendasi Festival Tabot untuk Naik Kelas

Agar Festival Tabot benar-benar naik kelas menjadi agenda budaya global, sejumlah langkah strategis perlu ditempuh:

1. Promosi Digital Terpadu

Kolaborasi dengan influencer budaya, kreator lokal, hingga travel blogger di platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube penting dilakukan untuk memperluas jangkauan audiens.

2. Dukungan Anggaran dan Koordinasi Lintas Sektor

Kenaikan anggaran harus dibarengi dengan sinergi antara pemerintah daerah, pelaku budaya, dan sektor swasta agar penyelenggaraan lebih profesional dan berkelanjutan.

3. Pemberdayaan Komunitas dan Dunia Pendidikan

Melibatkan sekolah dan komunitas lokal dalam promosi maupun pengelolaan festival dapat memperkuat identitas lokal sekaligus menciptakan rasa kepemilikan bersama terhadap warisan budaya.

4. Pengelolaan Pengalaman Pengunjung
Penataan bazar, sistem parkir, transportasi umum sementara, hingga keamanan harus diprioritaskan agar Tabot tak sekadar ditonton, tetapi dinikmati dengan nyaman.

Menuju Festival Dunia

Festival Tabot telah membuktikan daya tariknya: dari puluhan ribu menjadi ratusan ribu pengunjung, dari lokal ke nasional. Kini saatnya memperkuat fondasi agar festival ini bisa bersaing di ranah internasional—seperti halnya Festival Guel di Bhutan atau Thaipusam di Malaysia.

Dengan dukungan promosi yang tepat, pendanaan yang cukup, dan pengelolaan profesional, Festival Tabot tak sekadar menjaga tradisi. Ia bisa menjadi duta budaya Indonesia, yang membawa nama Bengkulu dan nilai-nilai universal tentang perdamaian, penghormatan, dan keberagaman ke mata dunia.

Penulis adalah Mahasiswa UIN Raden Fatah Palembang 

Posting Terkait

Jangan Lewatkan