wordpers.id – Dari catatan Badan Geologi, potensi panas bumi di Indonesia sebesar 23,9 Giga Watt (GW) hingga Desember 2019, Hal tersebut menunjukan bahwa Indonesia memiliki potensi panas bumi yang melimpah, disebut 40 persen potensi panas bumi dunia ada di Indonesia. namun dari jumlah potensi tersebut baru dimanfaatkan sebesar 8,9% atau 2.130,6 MW.
Asosiasi Daerah Penghasil Panas Bumi Indonesia (ADPPI), menyebut ada sejumlah persoalan yang hingga kini belum terselesaikan sehingga pemanfaatan panas bumi di Indonesia terhambat. Dengan mengutip buku Rencana Strategis Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Tahun 2020-2024 yang dirilis April 2020, ADPPI menguraikan, ada lima permasalahan yang mengakibatkan kurang optimalnya pengembangan energi panas bumi.
Pertama, pengembang menanggung biaya infrastruktur yang sebenarnya menjadi tanggung jawab Pemerintah;
Kedua, upfront-risk dan kebutuhan investasi awal yang besar;
Ketiga, beberapa lokasi potensi panas bumi berada di kawasan konservasi,
Keempat, daya beli masyarakat yang relatif rendah,
Kelima, ketimpangan antara kebutuhan listrik setempat dengan sumber daya energi panas bumi yang ada.
“Itulah permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan panas bumi untuk energi listrik di Indonesia,” kata Ketua Umum ADPPI, Hasanuddin di Jakarta, Jumat (21/8/2020).
Selain lima permasalahan umum tersebut, lanjut Hasanuddin, pengembangan panas bumi di Indonesia juga harus menghadapi sejumlah resiko bisnis yang hingga kini masih belum ada solusinya.
Pertama, katanya, risiko sumber daya (resource-risk), merupakan risiko pengembangan yang disebabkan oleh ketidakpastian kondisi sumber daya panas bumi pada saat proses eksplorasi.
“Salah satu contoh dari risiko sumber daya ini adalah tidak ditemukannya sumur panas bumi yang produktif dengan temperatur tinggi. Hal ini disebabkan karena tingkat keberhasilan pengeboran sumur eksplorasi hanya sekitar 50%,” ujarnya.
Hasanuddin menjelaskan, tingkat risiko ini akan berkurang sejalan dengan progres kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan pengembang.
Kedua, risiko kenaikan biaya proyek. Artinya, tak semua proyek berjalan mulus sesuai target, bahkan kenyataannya banyak proyek terpaksa molor.
Hal ini, katanya, mengakibatkan durasi kegiatan memanjang yang akhirnya mengakibatkan pada bertambahnya cost.
“Penyebab utama adanya risiko kenaikan biaya adalah bertambahnya durasi kegiatan pengeboran panas bumi akibat permasalahan sumur dan ketidakpastian kondisi bawah tanah dari lapangan panas bumi,” paparnya.
Ketiga, lanjut Hasanuddin, risiko sosial. Risiko ini, katanya, berada di luar kendala teknis dan banyak menyebabkan kegiatan jalan di tempat.
“Risiko ini dihadapi pengembang terkait isu sosial yang berpotensi pada penolakan masyarakat di sekitar proyek pengembangan PLTP,” jelasnya.
Resistensi masyarakat dan isu sosial ini, papar Hasanuddin, dapat mengakibatkan keterlambatan penyelesaian proyek yang akhirnya akan berdampak pada keekonomian proyek.
Resiko keempat, tambahnya, perubahan kebijakan dan regulasi akibat munculnya peraturan baru yang sebelumnya tidak diperhitungkan oleh pengembang.
“Perubahan regulasi dapat mempengaruhi keekonomian proyek panas bumi,” jelasnya.
Sebagai contoh, katanya, terdapat peraturan-peraturan baru seperti penerapan Iuran Pemanfaatan Jasa Lingkungan Panas Bumi (IPJLPB), pengenaan Pajak Tubuh Bumi pada tahap eksploitasi, dan sebagainya. (Den/Pabum)