Menggugat Moral dan Etika Pejabat Negara Gangguan Kleptomania, Menolak Disebut “Bajingan” Anggaran?

Kleptomania merupakan suatu kondisi mental di mana orang dengan kondisi tersebut tidak mampu menahan dorongan untuk mengambil tanpa ijin suatu benda. Biasanya, benda yang diambil sebetulnya tidak dibutuhkan dan umumnya tidak bernilai tinggi. Kleptomania merupakan gangguan jiwa yang cukup jarang, tapi tergolong serius.

Kleptomania dan pencurian adalah dua hal yang berbeda dalam niat namun mirip dalam tindakan. Pencurian melibatkan tindakan sengaja mengambil barang orang lain tanpa izin, sedangkan kleptomania adalah kondisi mental yang ditandai dengan dorongan tak terkendali untuk mencuri barang tanpa motif atau niat yang jelas.

Kemiripan dengan mencuri Kleptomania adalah gangguan kebiasaan dan impuls (impulse control disorder) dengan ciri khas berupa kesulitan menahan dorongan untuk mencuri

Bajingan Pengertian Secara Umum

Menurut KBBI yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, “bajingan” diartikan sebagai penjahat, pencopet, atau seseorang yang memiliki perilaku kurang ajar. Meskipun seringkali dianggap sebagai kata kasar atau makian, KBBI mencatat makna ini untuk kata “bajingan.”

Pejabat negara adalah pejabat yang lingkungan kerjanya berada pada lembaga negara yang merupakan alat kelengkapan negara beserta derivatifnya berupa lembaga negara pendukung. Pejabat negara menjalankan fungsinya untuk dan atas nama negara. Pejabat negara merupakan pejabat yang terlibat dalam administrasi publik atau pemerintahan, baik melalui pemilihan, penunjukan, seleksi, atau pekerjaan. Seorang birokrat atau pamong praja adalah anggota dalam suatu birokrasi. Seorang pejabat terpilih adalah orang yang menduduki suatu jabatan berdasarkan pemilihan. Pejabat juga dapat ditunjuk secara ex officio (berdasarkan keputusan kantor lain, sering kali dalam kapasitas yang ditentukan, seperti ketua, penasihat, dan sekretaris). Beberapa posisi resmi mungkin diwariskan. Seseorang yang saat ini memegang jabatan disebut sebagai petahana.

Pejabat Negara menurut Undang-Undang Nomor 5 tentang Aparatur Sipil Negara adalah:

1. Presiden dan Wakil Presiden
2. Ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat
3. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
4. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah
5. Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc
6. Ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi
7. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan
8. Ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial
9. Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
10. Menteri dan jabatan setingkat menteri
11. Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh
12. Gubernur dan wakil gubernur;
13. Bupati/wali kota dan wakil bupati/wakil wali kota
14. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang.

Sementara itu, apa kaitan pejabat negara kleptomania kebijakan menolak disebut bajingan anggaran dalam pandangan filsafat, pertanyaan seperti ini mungkin melibatkan konsep etika dan moral. Filsuf mungkin akan berpendapat bahwa karakter dan tindakan seseorang harus dinilai berdasarkan prinsip-prinsip moral yang objektif. Dalam hal ini, pejabat negara dengan gangguan kleptomania mungkin membutuhkan pemahaman dan pendekatan yang lebih kompleks daripada sekadar menyebut mereka “bajingan”.

BACA JUGA:  Dampak Molornya Revisi Perda RTRW: Potensi Investasi di Mukomuko Terganggu

Beberapa filsuf mungkin menekankan pentingnya memahami penyebab dan mengatasi kondisi mental, sementara yang lain mungkin mempertimbangkan implisit moral dari tindakan mereka terhadap kebijakan kebijakan.
Terkait dengan pandangan filsafat terhadap situasi tersebut, beberapa konsep yang mungkin relevan adalah:

Etika Konsekuensialisme:

Konsekuensialisme adalah satu paham dari etika normatif yang menekankan bahwa kebenaran suatu tindakan haruslah dinilai dari akibat perbuatan tersebut. Dalam konsekuensialisme, tindakan yang dianggap benar adalah tindakan yang menghasilkan akibat keuntungan berupa kebaikan bagi masyarakat.
Filsuf yang mengikuti pendekatan ini akan menilai tindakan pejabat negara berdasarkan akibat atau konsekuensinya. Dalam hal ini, mereka mungkin akan membahas kebijakan kebijakan anggaran yang diterapkan oleh pejabat tersebut dan bagaimana dampak tersebut mempengaruhi masyarakat secara keseluruhan.

Etika Deontologi:

Pendekatan ini fokus pada kewajiban moral dan prinsip-prinsip yang harus diikuti oleh individu. Filsuf deontologi mungkin akan menilai tindakan pejabat berdasarkan apakah mereka bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang telah ditetapkan.
Contoh berpikir dari sudut pandang deontologis: – Jika seseorang diberi tugas dan melaksanakannya sesuai dengan tugas maka itu dianggap benar, sedang dikatakan salah jika tidak melaksanakan tugas. Artinya jangan melanggar, tetapi bertindak sesuai aturan yang sudah ditentukan.

Etika Keutamaan:

Etika keutamaan atau etika kebajikan adalah teori yang mempelajari keutamaan (virtue/Kebajikan), artinya mempelajari tentang perbuatan manusia itu baik atau buruk. Etika kebajikan ini mengarahkan perhatiannya kepada keberadaan manusia, lebih menekankan pada What should I be?, atau “saya harus menjadi orang yang bagaimana?”.
Pendekatan ini melibatkan penghakiman terhadap karakter individu. Pandangan etika keutamaan akan melihat bagaimana pejabat negara tersebut berusaha untuk mengatasi kelemahan mereka dalam situasi kleptomania. Apakah mereka mencoba memperbaiki karakter mereka dan berjuang melawan dorongan kleptomanianya? Filsuf yang menganut pandangan ini akan menilai tindakan mereka berdasarkan upaya untuk mengembangkan keutamaan moral/kebajikan.

Etika Kontrak Sosial:

Pendekatan ini mempertimbangkan apa yang dianggap adil dalam konteks masyarakat dan kontrak sosialnya.
Kontrak sosial adalah sebuah perjanjian antara rakyat dengan para pemimpinnya, atau antara manusia-manusia yang tergabung di dalam komunitas tertentu. Filsuf yang mengadopsi pandangan ini mungkin akan membahas apakah tindakan pejabat tersebut melanggar prinsip-prinsip yang diharapkan dalam kontrak sosial.

Namun, penting untuk diingat bahwa pendapat filsafat dapat bervariasi dan tidak semua filsuf akan memiliki pandangan yang sama terhadap situasi ini. Kesimpulannya, pendekatan filsafat akan mencoba menggali masalah ini dari berbagai sudut pandang etika dan moral, dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang terlibat dalam urusan pejabat negara dengan gangguan kleptomania yang menolak disebut bajingan dalam kebijakan anggaran. (Dirangkum dari berbagai sumber)

Penulis: Freddy Watania
Jurnalis, Pengamat Kebijakan Publik media online wordpers.id. Eksponen Pergerakan Mahasiswa 98 Perjuangan Orde Baru ke Orde Reformasi