Pelepasan Kawasan Hutan Demi Kesejahteraan Masyarakat, Pemprov Disorot Kelompok Sipil

Wordpers.id, Bengkulu – September 2019 lalu, UNESCO mengirimkan surat kepada Duta Besar Indonesia untuk Prancis yang juga ditembuskan kepada Indonesien National Commission for UNESCO, National Focal Point for World Heritage IUCN. Surat ini berkaitan dengan usulan pelepasan kawasan hutan Bengkulu yang merupakan buffer zone dari Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) seluas 53 ribu hektar yang disampaikan Gubernur Bengkulu kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Januari 2019 lalu.

Dalam surat tersebut meminta Indonesia, untuk memberikan tanggapan atas surat tersebut. Jumat (06/06/2020) lalu, pemerintah provinsi Bengkulu mengikuti rapat virtual yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO untuk memberikan jawaban atas usulan pelepasan kawasan penyanggah situs warisan dunia tersebut.

Pemerintah Provinsi Bengkulu, diwakili oleh Sekretaris Daerah, menyampaikan tanggapanya bahwa usulan pelepasan hutan tersebut semata-mata untuk kesejahteraan masyarakat. Terdapat pada link berikut : (https://bengkuluprov.go.id/pemprov-bengkulu-klarifikasi-usulan-perubahan-fungsi-kawasan-hutan-tnks-dan-tnbbs-ke-pusat-warisan-dunia/?utm_source=rss&utm_medium=rss&utm_campaign=pemprov-bengkulu-klarifikasi-usulan-perubahan-fungsi-kawasan-hutan-tnks-dan-tnbbs-ke-pusat-warisan-dunia)

Kelompok masyarakat sipil Bengkulu yang sejak awal menolak pelepasan kawasan hutan Bengkulu melalui revisi kawasan hutan ini menyatakan bahwa pelepasan kawasan hutan ini sebesar-besarnya mengakomodasi kepentingan korporasi. Hal ini ditunjukan dengan hasil analisis yang menunjukan beberapa kawasan hutan yang diusulkan untuk dilepaskan telah dibebankan oleh Izin Usaha Pertambangan dan Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan sawit.

Usulan ini juga tidak diketahui oleh warga yang hidup di sekitar kawasan hutan yang diusulkan untuk dilepaskan. Testimoni yang disampaikan warga dari Mukomuko dan Bengkulu Tengah misalnya, yang tidak mengetahui bahwa kawasan hutan yang secara administratif masuk dalam desa nya diusulkan untuk dilepaskan. Mereka mencurigai bahwa usulan pelepasan hutan itu akan menguntungkan perusahaan, sebab beberapa kali pertambangan ingin menguasai hutan di wilayah desa mereka. Testimoni ini disampaikan pada acara workshop PENGUATAN DOKUMEN ANALISIS TERHADAP PELEPASAN KAWASAN HUTAN SEBAGAI REKOMENDASI PERBAIKAN TATA KELOLA KEHUTANAN DI PROVINSI BENGKULU, yang diselenggarakan oleh kelompok masyarakat sipil, Desember 2019 lalu.

Uli Arta Siagian, Direktur Genesis Bengkulu membenarkan bahwa telah mengirimkan surat ke UNESCO terkait dengan pelepasan kawasan hutan yang merupakan buffer zone Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan buffer zone Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).

“Ada dua hal yang menjadi dasar kenapa kami menolak pelepasan hutan ini. Pertama, tidak ada keadilan dalam redistribusi pelepasan kawasan hutan antara masyarakat dan perusahaan. 40% dari kawasan hutan yang diusulkan tersebut telah dibebani oleh izin pertambangan dan izin perkebunan sawit skala besar, sedangkan 28% nya pernah dibebani oleh izin pertambangan. Fakta ini menunjukan bahwa usulan pelepasan hutan ini dicurigai besar ditunggangi oleh korporasi. Kedua, pelepasan hutan ini melanggar prinsip kelestarian keanekaraman hayati, fungsi penting layanan alam dan kesiagaan bencana. Perubahan peruntukan hutan akan menghilangkan fungsi hutan sehingga berpotensi meningkatkan kerentanan bencana. Pelepasan hutan ini juga akan meningkatkan konstalasi konflik satwa, sebab kawasan hutan yang diusulkan dilepaskan tersebut merupakan koridor dan habitat satwa dilindungi Harimau dan Gajah”, tutur Uli.

Direktur WALHI Bengkulu, Beny Ardiansyah juga menyampaikan bahwa usulan pelepasan kawasan hutan dengan fungsi konservasi, lindung dan produksi ini akan mengancam keselamatan Taman Nasional sebagai situs warisan dunia, sebab kawasan itu adalah benteng terakhir, “Komitmen untuk menyelamatkan situs warisan dunia itu seharusnya diwujudkan dengan menyelamatkan kawasan hutan lindung, bahkan produksi yang menjadi buffer zone warisan dunia itu sendiri”.

Usulan pelepasan kawasan hutan yang merupakan buffer zone dari Taman Nasional merupakan tindakan kontradiktif terhadap komitmen Indonesia untuk menyelamatkan situs warisan dunia. Hal ini diperparah bahwa usulan ini sarat akan kepentingan korporasi. Jika kawasan hutan diakomodasi untuk dilepaskan, maka ini akan semakin mengancam keselamatan situs warisan dunia. 

Kelompok masyarakat sipil juga akan melakukan komunikasi lebih lanjut kepada UNESCO, sebab klarifikasi yang diberikan pemerintah provinsi Bengkulu tidak sesuai dengan kenyataan.