Oleh: Cipto Adiguno
Di tengah berbagai produk film dan musik baru yang mendominasi media sosial dan pembicaraan hype terkini, video game adalah media hiburan yang relatif tenang, seakan memiliki dunianya sendiri. Namun ketenangan tersebut tidak menghalangi industri video game meraup angka pendapatan raksasa.
Meski pertumbuhan melambat dibanding masa pandemi, di tahun 2022 industri video game global mencatatkan penghasilan US$183 miliar, melampaui gabungan seluruh industri film (US$94,4 miliar) dan industri musik (US$26,2 miliar) sekaligus.
Selain lebih besar, pertumbuhan video game di angka 7,9% per tahun pun masih lebih tinggi dibanding kedua media konvensional tersebut.
Tidak hanya secara nilai bisnis, video game juga telah menjadi media nomor satu bagi anak-anak generasi terbaru untuk menghabiskan waktu mereka, mengalahkan media sosial dan streaming.
Strategi, karakter, alur cerita, dan pengalaman terbaru bermain video game merupakan topik pembicaraan sehari-hari di sekolah maupun tempat nongkrong.
Tidak jarang kita melihat adanya sekelompok orang, dari pengemudi ojek di yang bertengger di pos satpam hingga muda-mudi di kafe menengah atas, bercengkrama sambil bermain game.
Game as a Service (GaaS)
Paradoks tersebut antara lain muncul seiring semakin populernya produk game-as-a-service (GaaS) di pasar. Game di era 2000-an memiliki siklus peluncuran serupa dengan film dan musik, yaitu sebagai suatu produk yang berdiri sendiri, memiliki tahap “tamat,” dan mungkin ada sekuel yang menyusul beberapa lama setelahnya.
Berbeda dengan itu, produk GaaS terus menerus tumbuh seiring waktu melalui update dan expansion baru. Game seperti ini seringkali tidak gencar-gencaran membangun hype di awal peluncuran, namun terus-menerus berpromosi ke target pengguna spesifik yang sudah teridentifikasi. Mayoritas game terpopuler di dunia menggunakan sistem ini untuk menjaga pemain mereka tetap di dunia yang sama dan tidak berpindah ke game lain.
Tidak perlu jauh mencari contoh, lihat saja game battle royale atau MOBA yang telah lama menguasai jajaran game terpopuler di App Store atau Play Store Indonesia. Masing-masing diluncurkan lebih dari 5 tahun lalu, namun hingga sekarang tetap meraup puluhan milyar rupiah setiap bulan dari Indonesia saja, belum negara-negara lain tempat mereka juga beroperasi.
Kebutuhan Konten Semakin Menggelembung
Pergeseran model bisnis game dari tipe konvensional menjadi GaaS antara lain memunculkan kebutuhan produksi konten yang besar. Sebelum suatu game bisa populer di kalangan umum, ia harus terus melakukan perbaikan, penambahan konten, dan promosi agar semakin disukai pasar. Ketika berhasil mencapai popularitas, pemain akan terus meminta konten baru yang memberi angin segar.
Sedikit saja terbengkalai, dan pemain akan mulai merasa bosan dengan game yang begitu-begitu saja. Menjawab perubahan ini, kebutuhan produksi konten video game pun semakin membesar. Ratusan bahkan ribuan orang dikerahkan untuk menghadirkan konten baru setiap bulannya bagi game-game terbesar di pasar. Tekanan ini membuat para pengembang game tidak lagi mampu membuat semuanya sendiri, dan mencari bantuan dari pihak-pihak ketiga agar dapat mengatur skala produksi secara fleksibel.
Jasa Pengembangan Game Semakin Dicari
Di balik judul-judul raksasa produk video game masa kini, terdapat sejumlah perusahaan yang berfokus menyediakan jasa pengembangan kepada para pemilik game. Seringkali, perusahaan jasa seperti ini berpusat di negara-negara berkembang, seperti Eropa Timur dan Amerika Latin, di mana mereka memanfaatkan biaya sumber daya manusia yang relatif rendah untuk mendapat margin besar dari klien di negara-negara maju.
Karya yang dihasilkan, karena sepenuhnya digital, tidak terpengaruh kendala logistik atau cost of goods yang memberatkan. Salah satu perusahaan jasa terbesar memiliki karyawan belasan ribu orang yang terdistribusi di seluruh dunia, yang bisa bekerja berurutan dalam siklus 24-jam sehari.
Indonesia, sebagai negara berkembang dengan populasi keempat terbanyak di dunia dan bonus demografi usia kerja yang besar, berpotensi besar menjadi pusat pengembangan video game di kawasan Asia Tenggara dan diproyeksi sebagai salah satu negara di Asia dengan pertumbuhan pendapatan industri game terkuat.
Dengan 170 juta orang pemain game aktif saat ini, prospek menjadi pengembang video game pun bukan merupakan sesuatu yang asing, melainkan menjadi prospek masa depan yang sangat menarik bagi generasi muda.
Editor: ANAsril