Sayatan waktu menguliti masa ke masa. Detik tak pernah bosan berjalan entah sampai kapan. Seperti arakan awan yang juga tak bosan menghadirkan hujan.
Perenungan atas hidup dan kehidupan pun tetap berlanjut. Rasanya, “napas” terlalu sakral, menggebu, dan menggelisahkan pikiranku.
Akhir-akhir ini kegiatanku adalah mencari arti makna “jiwa” manusia.
Jawabannya: jiwa dibungkus oleh tubuh, bukan tubuh dibungkus oleh jiwa!
Hayoloh, ribet, kan? Jadi, penjabarannya: jiwa adalah inti hidup dan kehidupan, sedangkan tubuh hanya pelengkap yang menggerakkan. Tanpa jiwa, tubuh fana. Jiwa abadi!
Seperti saat kita memberikan kado untuk ulang tahun doi. Langkah pertama, kita akan membeli barang untuknya (misalnya doi suka sepatu). Kemudian, sepatu itu dimasukkan ke dalam kotak dan dibungkus sampul kado agar terlihat manis dan mengesankan. Pertanyaannya, apakah sepatu atau sampul kado yang diambil olehnya?
Tentu saja si sepatu, dong. Inti sesungguhnya kado itu yang ingin diberikan kepada doi adalah sepatu, bukan bungkusnya. Sampul kado mah bisa langsung dibuang ke tempat sampah atau dibakar.
(Sampai detik ini, aku masih tak habis pikir, kenapa harus memakai sampul kado jika ujungnya dibuang atau dibakar? Apakah pemanis dan supaya terlihat mengesankan harus sekejam itu?)
Ternyata, jiwa pun terus berproses dan belajar mencapai kestabilan. Untuk bagian ini, rasanya tak bisa diceritakan sampai tiap jiwa mengalaminya.
Di sini, aku ingin berbagi secuil kisah mengenai perjalanan jiwaku. Gundah gulana dan kering kerontang mencari makna hidup. Ya, aku gila dengan jawaban, “Untuk apa aku dilahirkan ke dunia?”
Awalnya, aku mencari tahu alasan rumitnya hidup dan kehidupanku. Dan, kutemukan bacaan di mesin pencari Google mengenai spiritual awakening atau kebangkitan spiritual.
Tergagap-gagap menelaahnya. Bagai petir di siang bolong. Bagaimana tidak, menurut bacaan itu, tiap jiwa yang dibangkitkan akan mengalami “pencerahan” hidup dan kehidupan. Eits, syarat dan ketentuan berlaku ya, sist/bro.
Jiwa yang akan dicerahkan oleh semesta akan mengalami fase perubahan hidup tiba-tiba. Dampaknya bisa menguras mental dan fisik. Sakit berdarah-darah di hati. Orang awam menyebut peristiwa ini sebagai ujian hidup. Atau, barangkali ada yang menganggap bualan belaka. Monggo.
Namun, setelah berhasil melewatinya, jiwa-jiwa yang dicerahkan pasti paham bahwa ini pelajaran jiwanya.
Kupikir aku hampir gila dan halusinasi saja. Sebab, apa-apa yang serbadadakan akan menyakitkan. Adaptasi tidak semudah membalikkan telapan tangan. Tapi, apakah semesta peduli? Tentu, semesta sangat menyayangi jiwa yang juga menyayanginya.
Semesta mengguncang hidupku dengan estafet perubahan hidup. Rentetan peristiwa yang membuat jiwaku compang-camping. Amburadul tak karuan. Bahkan, aku hampir sakit jiwa. Sakiiit, teramat sakit di jiwaku.
Ketika cerah tiba-tiba petir menggelegar, aku tak bisa menolak dan tiada persiapan atas badai kehidupan. Seharusnya, semesta juga memberikan pembekalan untuk jiwa (yang akan) mengalami kebangkitan spiritual ini.
Bravo bagi jiwa-jiwa tangguh yang lebih dulu berhasil melewati “penyucian” jiwanya. Aku cepat-cepat ingin menyusul mereka. Sekarang, jiwaku masih dalam pertapaan menyelesaikan “ujian”-nya. Demi misi dan separuh perjalanan, mau tidak mau harus kuselesaikan dan menunggu hasil memuaskan. Semoga saja.
“Menelanjangi” hidup dan kehidupan tak semua orang bisa melakukannya. Apa yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya? Tentu jiwanya.
Semua makhluk memiliki proses biologis yang rata-rata hampir sama. Kenapa manusia tidak meningkatkan kemampuan lebih dari makhluk lainnya?
Mempertajam dan mengasah jiwa memang penuh risiko. Tidak semua manusia bersedia melakukan ini dan memilih hidup biasa-biasa saja. Misalnya, mencari makan, berpasangan, dan bertahan hidup. Itu saja. Sampai akhirnya ajal menjemput hanya mengulang-ulang fase yang itu-itu saja.
Sebagai jiwa yang masih berproses, aku mulai menimbang-nimbang bahwa ini bisa dijelaskan secara nalar. Begini, perkembangan jiwa yang rumit bisa disederhanakan dengan self love atau cinta diri sendiri. Mencintai diri sendiri adalah bentuk kasar dari perjalanan jiwa.
Dua hal tersebut sangat berkaitan dan utuh. Ketika kita mencintai diri sendiri, maka akan peduli dengan kesehatan jiwa. Akan ada proteksi terhadap hal-hal toxic yang menghancurkan jiwa.
Mungkin, ada yang tidak betah ketika berdekatan dengan seseorang karena orang itu gemar bergosip. Tentu saja, secara nalar dapat dijelaskan karena bergosip termasuk kegiatan sia-sia dan tak bermanfaat. Tapi, secara kejiwaan, jiwa-jiwa yang telah stabil akan tahu jiwa orang tersebut memancarkan energi negatif yang bisa memengaruhi energinya.
Ini serius. Aku mulai tidak betah berdekatan dengan orang-orang yang mengalirkan energi negatif. Pusing dan sakit sekali kepalaku. Harus dibuang terlebih dulu energi negatif itu dan baru bisa merasa nyaman kembali.
Misalnya, kita tentu tidak nyaman berada di dekat perokok yang asapnya tidak baik untuk kita. Secara kasat mata, asap rokok mudah terlihat. Sama jelasnya, aliran energi negatif mudah terlihat bagi jiwa-jiwa yang stabil.
Tak jarang, mereka menjadi peka dan sangat intuitif. Tahu bagaimana menyalurkan energi dan cepat-cepat memangkas hal-hal tak bermanfaat.
Energi yang meluap-luap harus disalurkan secara positif, misalnya dengan berolahraga atau menyalurkan hobi lain. Jika tidak, maka akan berakibat buruk bagi kesehatan. Insomnia adalah salah satu bukti kelebihan energi dan dibiarkan begitu saja.
Sebelumnya, aku berpikir bahwa aku hampir gila. Tapi, setelah bisa dijelaskan secara rasional dan ada kaitannya dengan kesehatan, ternyata ini adalah kelebihan yang harus disyukuri keadaannya.
Terutama bagian intuitif. Sangat membantu hidup dan kehidupanku. Percaya tidak percaya, aku bisa menebak orang yang baru kukenal. Seluk-beluk wataknya langsung tergambar jelas di jiwaku. Oh, tentu saja bukan ilmu hitam, tapi hasil perjalanan jiwa menuju kestabilan.
Jarang salah tebakanku. Aku bisa merasakan ketika orang itu hanya akan memanfaatkanku. Nah, punya alarm pribadi gini tentu sangat mengasyikkan. Jangan coba-coba tidak memercayai intuisi sendiri, sebab intuisi itu adalah perisai dirimu. Tiada mungkin mencelakakan pemiliknya sendiri.
Tapi, jangan juga menelan mentah-mentah. Tetap waspada dan coba cari kebenarannya. Misalnya, berkenalan dengan orang baru dan intuisi mengatakan dia akan mencelakakan dirimu. Nah, berkenalan saja sewajarnya. Jika dia mulai menunjukkan hal-hal menjurus perkataan si intuisi, langsung pergi. Jangan dicoba lebih lanjut lagi pertemanannya.
Cukup aku saja yang pernah merasakan semua itu. Makanya kubagikan pengalaman tak mengenakkan itu agar aku saja yang merasakan. Jangan ada aku-aku yang lain lagi.
Suatu ketika, pernah ada temanku menitipkan temannya di rumahku. Pertama melihat dia, otomatis alarm bahayaku berbunyi nyaring. Bodohnya saat itu, aku diam saja dan tetap berpikiran positif. Dan, yang terjadi dia malah mencuri uangku. Air susu dibalas air tuba. So, tiada intuisi yang ingin mencelakakan pemiliknya!
Kebahagiaan lain ketika menuju kestabilan jiwa ialah mengejar materi sewajarnya. Analogi kasarnya, makan ya seperlunya saja. Fungsi makan toh untuk menambah tenaga supaya bisa beraktivitas, bukan? Nah, sama juga, materi adalah untuk menunjang kebutuhan hidup dan kehidupan.
Petuah yang ada: Segala yang berlebihan tidak baik.
Jangan sampai menumpuk materi, siang dan malam bekerja demi harta. Untuk apa? Jangan rakus. Hidup di dunia hanya satu kali dan material tak dibawa ke sana.
Santuy saja. Apalagi merendahkan orang lain perkara materi, plis jangan! Ketika dilahirkan tanpa sehelai benang pun dan dikuburkan dengan selembar kain kafan, haram hukumnya menilai materi seseorang.
Di mana letak “manusia” kita?
Tentu di antara jiwa yang beradab. Kalau hanya proses biologis semata yang dipikirkan, apa bedanya dengan kucing peliharaan di rumah?
Kepedulian dan kepekaan terhadap sekitar jauuuh dari “manusia”. Bagaimana bisa ketika beli di pinggir jalan masih ditawar, sedangkan beli di mall langsung ke kasir? Itu membeli dagangan penjual di pinggir jalan tidak akan membuat miskin dan tentu tak sebanding harga di mall yang selangit.
Ah, kita terkadang hanya mengaku-aku saja sebagai “manusia”.
Fitri Harianty
Pengajar